Kamis, 17 November 2011

sumarah


A.    Pendahuluan
Sumarah merupakan suatu bentuk meditasi yang awalnya berasal dari Jawa. Praktek ini didasarkan pada pengembangan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran. Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang di dalam diri kita, batin dan kesunyian, yang diperlukan untuk mewujudkan jati diri. Sumarah  didirikan pertama kali di Yogyakarta pada tanggal 08 September 1935. R.Ng. Soekirnohartono ialah seorang pendiri dan sekaligus guru pertama Sumarah.
Dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan sejarah turunnya wahyu sumarah, paham sumarah hingga perkembangan paguyuban sumarah.
B.     Pembahasan
1.      Riwayat Turunnya Wahyu Sumarah
Riwayat turunnya wahyu sumarah ini dimulai dari ketika R. Ng. Soekinohartono datang ke Yogyakarta untuk berguru kepada Wignyosoepartono. Beliau saat itu adalah orang yang sangat masyhur sebagai orang ahli ngelmu kebatinan maupun sebagai dukun yang sakti. Ketika berguru kepada Wignyosoepartono pak kino sangat tekun sekali, sehingga ia mengalami perkembangan yang pesat dalam mendalami ilmu kebatinan.
Tanggal 5 septembar 1935 ketika pak kino melakukan meditasi, ia memohon kepada Tuhan supaya bangsa Indonesia diberi kemerdekaan. Pada saat itu pak kino merasa mendapat perintah dari Tuhan untuk menutup iman kepada umat, karena sebagian besar dari umat itu tidak bulat lagi imannya kepada Tuhan. Perintah tersebut oleh pak kino melalui hakiki, yang menurut aliran sumarah, merupakan sumber dari otoritas dan otentisitas spiritual, sebagai saluran yang mengalirkan bimbingan spiritual yang langsung dari Tuhan kepada Individu.[1]
Awal Perkembangan Sumarah
Ajaran  sumarah ini dirintis  oleh R. Ng. Soekonohartono, dibantu oleh kedua temannya yaitu R. Soehardo dan R. Hirban Soetadi. Periode 1935 – 1949 ajaran sumarah ini belum terbentuk organisasi, atau disebut juga pra-organisasi. Pada periode ini pengembangan sumarah hanya dikembangkan oleh tiga tokoh (pinisepuh) diatas, dengan cara sering mendatangi pertemuan – pertemuan yang diselenggarakan oleh orang – orang aliran kebatinan. Berkat ketiga tokoh diatas sumarah dapat menyebar ke daerah Solo, Klaten Cepu, dan Madiun dengan jumlah anggota yang cukup banyak.
Mulai pada tahun 1950 sumarah ini mulai membentuk organisasi, organisasi ini dirintis dan sekaligus diketuai oleh Dr. Soerono Projohusodo dengan persetujuan para pinisepuh dan para anggota, beliau merasa mendapat perintah dari Tuhan melalui hakiki sewaktu merenung, supaya paguyuban diatur lagi dengan organisasi. Organisasi ini resmi didirikan pada tanggal 27 Maret 1950. [2]
 Inti kegiatan Organisasi Paguyuban Sumarah, tak lain mempelajari, mempraktekkan, sekaligus memerdalam ke-sumarah-an bagi seluruh anggotanya melalui bentuk ritual peribadatan rohani dan secara bersama-sama. Perkembangan selanjutnya, Sumarah juga melahirkan banyak tokoh, baik pusat (sentral) maupun daerah. Tokoh-tokoh itu adalah sebagai berikut:
a.       Tokoh sentral Organisasi:
Dari tahun 1935 - 1950 : Bp. R. Ng. Soekino Hartono, Pak Suhardo, Pak H. Sutadi
b.      Tokoh daerah :
1.      Bapak Soewondo (Surakarta) bersama Bapak Sri Sampoerno tokoh penghimpun WNA
2.      Bapak Kyai Abdoel Hamid (Banjarsari - Madiun)
3.      Bapak May. Purn. Soekardji (Jawa Timur)
4.      Bapak Moestar (Gresik)
5.      Bapak Sichlan dan Bapak Suyadi ( Ponoro)[3]
2.      Sumarah dan sumeleh
Sumarah berasal dari kata srah (serah) dalam bahasa Jawa yang  berarti pasrah/menyerah, mendapat sisipan um yang punya makna melebihkan sehingga kata sumarah kurang lebih artinya adalah sangat pasrah atau serah diri yang total. Apabila hal ini dihubungkan dengan sikap terhadap Tuhan YME seperti halnya kata sumarah ing Allah , maka makna yang terungkap adalah Serah Diri Total atau kepasrahan dalam arti meliputi segala aspek lahir maupun batin di dalam Kuasa Allah (Tuhan YME).
Sumarah yang dalam bahasa Jawa  mengandung arti pasrah, sikap atau perasaan ini bisa ditimbulkan oleh adanya pemahaman akan kekalahan, kekurangan atau kelemahan diri kita terhadap sesuatu sehingga membuat kita tunduk , takluk dan juga menjadi penurut/patuh. Demikian pula halnya dalam kaitannya Sumarah terhadap Allah Tuhan YME, karena kita mengetahui betapa Maha Kuasa -Nya Allah Tuhan YME sekaligus memahami betapa tidak berdaya dan tidak berharganya kita manusia di hadapan Allah Tuhan YME, maka semakin pasrah, tunduk , takluk dan semakin patuhlah kita kepada Tuhan YME. Di sinilah semua harus hati-hati, sebab di kala hati kita sudah merasa paling paham tentang Tuhan YME kebanyakan menilai orang lain atau kelompok lain menjadi berada di bawah kita.
Rasa percaya insani manusia bisa timbul dalam hati terhadap sesama manusia, apabila sudah memenuhi beberapa syarat yakni sudah pernah ketemu, kenal dan menjalin hubungan.rasa percaya itu merupakan kodratnya sendiri tetapi harus ada syarat-syarat dalam mempercayai tuhan.[4] Karena itu dalam hidup berilmu penyerahan diri adalah sumarah ing karep, tetapi semua itu membutuhkan waktu untuk menjalannkannya tanpa ada penyerahan kehendak dalam melakukan sesuatu maka akan mengalami kerugian. Kepercayaan terhadap tuhan yang bebas dari keraguan itu, bukan dengan penyerahan kehendak saja tetapi memberhentikan semua kesibukan pemikiran terhadap tuhan. Sumarah di sini merupakan penyerahan diri dalam kehendak, sedangkan sumeleh berarti menghentikan pemikiran. Dengan keperyaan seperti itu kita dapat menyimpulkan tuhan sebagai tuhan, karena tuhan itu adalah tuhan.
Misalnya, ada seorang anak yang menanyakan “mengapa dia itu bapakku?” mereka menerima orang tuanya sebagai mana mestinya. Kepercayaan anak terhadap orang tuanya tidak ada batasnya, mereka menggantungkan semua kebutuhannya hidupnya kepada orang tua. Inilah pandangan kepercayaan menurut pandangan ilmu yang harus kita miliki. Semua pemahaman kepercayaan kepada Tuhan yang timbul karena pemikiran, tentu akan mengandung unsur kurang percaya. Hanya dengan kepercayaan sederhana (murni) yang dapat menerima Tuhan sebagai Tuhan dan memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan tanpa memikirkan komentar. Karena sikap jiwa ini merupakan suatu kenyataan rohani dalam hati kita, yaitu kuasa mutlak atas kehendak kita (manusia).[5]
Sumarah dan sumeleh dapat membawa manusia kedalam suatu penerapan hidup atau mengubah diri. Jiwa raga yang kita ubah untuk menjadi manusia berilmu. Dengan kecerdasan otak manusia tidak mungkin bisa meraba mana yang dinamakan arti kehidupan.
Tataran tertinggi ilmu sumarah adalah tumbuhnya iman tauhid, kesadaran yang tetap di dalam diri seseorang bahwa dia adalah makhluk ciptaan yang sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya tidak dapat apa-apa, tidak mempunyai apa-apa, dan tidak kuasa apa-apa, yang seharusnya dan sepantasnya hanya melulu taat, patuh, bersembah sujud, dan mengabdi hanya kepada Allah Swt semata, yang menciptakannya, yang sebenar-benarnya dan yang sesungguh-sungguhnya yang dapat melakukan apa saja, yang mempunyai apa saja, dan yang berkuasa apa saja.
3.      Perkembangan Paguyuban Sumarah
Aliran sumarah dapat dikatakan sebagai “wajibul wujud”, istilah ini diartikan mengetahui apa-apa tanpa ada perintah (tanpo dawuh). Perbuatan ini bisa dicapai apabila orang itu sudah mencapai pada taraf/tingkatan “Jumbuhing Kawula Gusti” atau “Gambuh” di dalam sujudnya. Gambuh merupakan sujud dengan taraf/tingkatan yang tertinggi dalam aliran sumarah dan sangat sulit untuk mencapainya. Melainkan gambuh disini lebih bersifat anugerah yang dating secara tiba-tiba. Dengan ditandai seperti rasa persekutuan dengan Tuhan turun dari sanubari menuju ke jantung yang bertempat dalam Qalbu dan biasanya hanya terasa sebentar saja, kemudian hilang. Apabila orang sudah mencapai pada tingkatan seperti ini maka akan timbul kemampuan-kemampuan untuk melakukan hal yang luar biasa baik secara rohani maupaun jasmaninya.[6]
Hidup berilmu kita juga mengenal meditasi dan renungan yang merupakan penyerahan diri. Dalam renungan ini yang terpenting bukan pensucian pikiran tetapi mengosingkan pemikiran. Tanpa ada pengosongan pikiran dari persoalan dunia tidak mungkin bisa mencapai taraf tersebut. Dalam tehnik ini lebih mementingkan perhatian-perhatian baru yang masuk dalam pikiran bukannya mengontrol atas pikiran.[7] Bahan-bahan yang digunakan dalam renungan disini harus tumbuh disekitar lingkungan dan tidak bisa dicari dalam buku-buku. Melainkan bahan-bahan yang tumbuh dari jiwa manusia dan merupakan meditasi yang kita sajikan kepada diri kita sendiri adalah karwuh, tetapi bahan renungan yang mengada sendiri adalah kejadian disekitar alam yakni ilmu. Dalam sumarah dan sumeleh merupakan suatu usaha, tetapi berlakunya sumarah dan sumeleh dalam diri manusia adalah karunia.
C.    Penutup
Sumarah merupakan sikap penyerahan diri atau bisa dikatakan bersifat sabar. Sabar yang kuat imannya, luas pengetahuannya, tidak picik pikirannya dan pandangannya, sehingga layak untuk dijadikan samudera pengetahuan. Dia tidak lagi membedakan antara emas dan tahan liat (kencana dan wingka), kawan dan lawan diangga sama saja. Diibaratkan sebagai samudera karena muat untuk di isi dari semua aliran sungai dari yang pahit sekali rasanya yang hanya kuat diminum oleh orang yang kokoh pribadinya, tetapi itu akan membuat diri manusia menjadi kuat.[8]


Daftar Pustaka

Romdon, MA , Tasawuf dan Aliran Kebatinan ( Perbandingan antara Aspek – Aspek Mistisisme Islam dengan Aspek – Aspek Mistisisme Jawa), (Yogyakarta : LESFI, 1995),
Rahmat   Subagya,    Kepercayaan    Kebatianan   Kerohanian   Kejiwaan   Dan   Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1993),
Tanpoaran, Sangkan Paraning Dumadi
Purwadi, Tasawuf Jawa. (Yogyakarta:Narasi, 2003).


SUMARAH DAN SUMELEH


logo iain.JPG


Dosen pengampu : Dr. Wardoyo, M. Ag
ARIF SETIAWAN : 26. 09. 4.2. 007
AWANG YULIAS SUPARDI: 26.09.4.2.008
HASNA MASITA AMALIA: 26.09.4.2.011
SITI MUNIRATUN NA’IM: 26.09.4.2.024

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2011


[1] Romdon, MA , Tasawuf dan Aliran Kebatinan ( Perbandingan antara Aspek – Aspek Mistisisme Islam dengan Aspek – Aspek Mistisisme Jawa), (Yogyakarta : LESFI, 1995), h : 110 - 111
[2] Ibid, h : 111- 113
[3] Rahmat   Subagya,    Kepercayaan    Kebatianan   Kerohanian   Kejiwaan   Dan   Agama
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 44

[4] Tanpoaran, Sangkan Paraning Dumadi, h. 95
[5] Ibid, h. 98
[6] Tasawuf dan Aliran Kebatinan. h. 127
[7] Sangkan Paraning Dumadi, h. 105
[8] Purwadi, Tasawuf Jawa. (Yogyakarta:Narasi, 2003). h.145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar