Kamis, 17 November 2011

konsep cinta tasawuf


. Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf

Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta,

yang senantiasa kuikuti ke mana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku”

(Ibnu Arabi 1165-1240 M)[1]



A.    PENDAHULUAN

Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[2] Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.[3] 

Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.



B.     DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH

1.      Dasar Syara’

Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[4]

a.       Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

1)      QS. Al-Baqarah ayat 165

šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ä‹Ï‚­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#y‰Rr& öNåktXq™6Ïtä† Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ‹©9$#ur (#þqãZtB#uä ‘‰x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur “ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#x‹yèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $Yè‹ÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>#x‹yèø9$# ÇÊÏÎÈ

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).



2)      QS. Al-Maidah ayat 54

$pkš‰r‘¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ’ÎAù‘tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk™:Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A‘©!ÏŒr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcr߉Îg»pgä† ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur ììÅ™ºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.



3)      QS. Ali Imran ayat 31

ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.





b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka. [5]  



….. وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا …

….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …[6]

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين

Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.[7]



2.          Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 

a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)

Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia. [8]

b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan

Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.



Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. 

c.       Manusia tentu mencintai dirinya

Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

 Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta.[9] Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup

Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.

b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik

Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.

Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.

Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.

c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan

Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.

Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.



d.      Cinta kepada setiap keindahan

Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.

Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.

e.       Kesesuaian dan keserasian

Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.

Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.

Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.



C.    RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA

Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.[10]

Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.[11]

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”[12]   

Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[13]



D.    DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH

1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.[14] Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.

Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[15]

Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan.[16] Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[17]

2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah

Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.[18]

Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki.[19] Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.[20]

3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal

Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.[21] 

Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain.[22] Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.[23]

Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.[24] 

4.      Tingkatan Cinta

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[25]

Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[26]

Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[27]

  

E.     PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH

 Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.

Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.

Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.



F.     PENUTUP

Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.

Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.[28] Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat. Wallahu a’lam.    



DAFTAR PUSTAKA





Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book dalam Program Syamilah). 

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985).

Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt). 

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).

Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993).

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah)



Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).

Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book dalam Program Syamilah).

______, Dzakhair al-A’laq Syarh Tarjuman al-Asywaq, seperti dikutip oleh Syamsuddin Arif, “Ibnu Arabi dan Pluralisme” dalam www.hidayatullah.com

Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).


[1] Muhyiddin ibn al-Arabi, The Tarjuman al-Ashwaq, (London: Theosophical Publishing House Ltd, 1978), hal. 19.

[2] Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).

[3] Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya. 

[4] Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.

[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.

[6] Ibid., juz 5, hal. 2384.

[7] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt), juz 1, hal. 67.

[8] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.

[9] Lihat, ibid., hal. 300-307.

[10] Ibn al-Mulqin, Thabaqat al-Auliya, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 68.

[11] Ibid., hal. 85.

[12] Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman., op. cit., hal. 86.

[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.

[14] Ibid.,  hal. 70.

[15] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 296.

[16] Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 278-279.

[17] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.

[18] Al-Ghazali, Ihya., op. cit., juz 4, hal. 301.

[19] Ibid.

[20] Ibid., juz 4, hal. 307.

[21] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-66.

[22] Al-Ghazali, Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 294.

[23] Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), juz 3, hal. 465.
[24] Abu al-Qasim al-Qusyari, ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (format e-book Program al-Maktabah asy-Syamilah), hal. 143. 
[25] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit., hal. 86.
[26] Ibid., hal. 87.
[27] Ibid., hal. 88.

[28] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.
llah swt berfirman:

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(QS. al-Hadid:20).

Sunnah datang dengan gaya dan tipe yang sama, dimana kita dapati hampir semua perkataan Rasulullah saw diarahkan ke sana. Kemudian diperkuat dengan prilaku nyata Rasulullah saw sendiri yang melahirkan kehidupan zuhud, penuh kesederhanaan, jauh dari kehidupan yang penuh gelamor, dan kemewahan. Diriwayatkan, suatu hari Rasulullah saw bersama para sahabatnya melewati seekor domba betina yang mati, kemudian Rasulullah saw bertanya kepada para sahabatnya: “Tidkkah kalian melihat domba ini hina bagi pemiliknya?”, Mereka menjawab: “ya”, kemudian Rasulullah berkata: “Demi Allah dunia ini lebih hina bagi Allah dari pada domba yang mati itu bagi pemiliknya ketika dibuang”. (HR. Ahmad)

Semua para shabat berjalan mengikuti manhaj Allah dan Rasul-Nya. Mereka mewariskan sifat zuhud, dan senang dengan hidup yang penuh kesederhanaan dan apa adanya. Semua ini dapat dilihat pada perjalanan hidup para shahabat, seperti: Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Abdul Rahman bin Auf. Zuhud adalah prilaku hidup pada masa shahabat. Orang-orang yang datang sesudah mereka mengakui hal itu, mereka mangatakan: Sesungguhnya zuhud para shabat pada hal-hal yang halal lebih besar dari zuhud orang-orang yang datang setelah mereka pada hal-hal yang haram.


2. Faktor Politik.

Yang dimaksud dengan faktor ini adalah dampak dari peperangan yang terjadi di tengah kaum muslimin sekitar memperebutkan kedudukan khilafah atau kepemimpinan. Perang yang diawali dengan fitnah pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan r.a. dan berakhir dengan terbunuhnya Ustman bin Affan r.a. Kemudian semakin membesar di masa khalifah Ali bin Abu Thalib ra, dan berakhir dengan terbunuhnya beliau. Akhirnya kaum muslimin terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling bersengketa. Sebagian ada yang mendukung Ali, sebagian lagi ada yang mendukung Mu’awiyah, dan yang lainnya mendukung Tolhah bin Zubeir. Setelah peristiwa tahkim kekuatan Ali r.a terbagi, dan muncullah kelompok khawarij. Namun di tengah-tengah peristiwa itu terdapat satu kelompok dari pembesar sahabat berpandangan untuk menjauhkan diri dari golongan-golongan yang bersetru untuk menghidari fitnah, mengutamakan keselamatan, mencari ketenangan, dan khawatir terjebak ke dalam pembunuhan sesama muslim. Kelompok ini terdapat di masa Ali ra sendiri, kemudian sebagiannya muncul setelah terbununya Ali bin Abu Thalib ra.

>
             
Recommendation        Sponsored Ads
             
 December 12, 2008, 01:39       #107
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            3. Faktor Sosial.

Maksudnya adalah bentuk-bentuk prilaku dan tipe hidup baru yang menimpa kehidupan sosial yang sebelumnya tidak dikenal di masa Sahabat, para Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti cara hidup mereka. Ketika itu kehidupan mereka dikenal dengan penuh kesederhanaan dalam perkara makanan, minuman, tempat tinggal, dan seluruh urusan kehidupan mereka. Tanpa terasa secara gradual kehidupan sosial itu mengarah kepada perubahan yang sedikit-demi sedikit mulai menjauh dari tauladan hidup masa pertama Islam. Ketika itu kita menemukan satu gaya hidup yang tidak dikenal sebelumnya. Kita dapatkan bermacam-macam corak makanan, minuman, dan perjamuan, serta aneka ragam permainan di tempat-tempat nyanyian, biduanita, dan minuman.

Rupanya interaksi dengan sebagian bangsa seperti Parsia memiliki pengaruh besar perhadap perubahan tersebut. Kehidupan hura-hura dan glamor tampak sangat menyakiti perasaan yang sensitif dan menyinggung orang-orang yang tak punya, fakir serta miskin. Terkadang kita mendengar perayaan-perayaan resepsi pernikahan dan khitanan yang menghabiskan biaya ratusan ribu, bahkan jutaan dinar dan dirham. Dan kita mendengar pada masa khalifah al-Makmun ada yang membayar mas kawin istrinya sebesar seribu kantong permata, menyalahkan lampu lilin dengan minyak wangi dan setiap satu lilin menghabiskan dua ratus liter minyak wangi serta dihampar permadani dengan tenunan emas dan dimahkotai dengan permata yaqut.

Kondisi ini sepenuhnya banyak memotifasi orang untuk mengetuk pintu zuhud, karena barangkali diri mereka merasa puas dengan sebuah selogan masyhur: “Jika yang engkau inginkan tidak ada , maka ambillah apa yang ada”. sebagian mereka memilih sifat zuhud karena motifasi agama, melawan syahawat, menjauhi haram, mengutamakan akhirat, dan mencari ridha Allah swt. Berkaiatan dengan hal ini sebagian mereka ada yang berkata: “Dunia menurut pandangan kami ada tiga tingkatan, halal, haram, dan syubuhat. Haramnya akan dihisab, haramnya akan mendapat siksa, dan syubuhatnya akan mendapat celaan Allah Swt. Karena itu, ambillah dunia itu yang engkau butuhkan saja”.

Begitulah, zuhud merupakan sebuah reaksi penolakan pada gaya hidup yang menyimpang dari kehidupan pertama Islam, dan upaya meniru gaya hidup para shahabat dalam hal zuhud, dan wara’. Dari uraian diatas jelaslah bagi kita bahwa fenomena zuhud adalah sebuah konsekwensi dari sejumlah faktor tersebut, baik agama, politik, dan sosial. Patut disinggung disini bahwa zuhud itu sendiri bukanlah tujuan, akan tetapi ia adalah sebuah sarana untuk mengapai tujuan lain yang harus dijalani guna merealisasikan seluruh nilai-niai luhur, serta mendapatkan muroqobah dan musyahadah Allah. Kemudian pada masa itu orang-orang yang zuhud mendapatkan bermacam-macam sebutan (gelar) seperti ‘ubbad, nussak, fuqora, dan qurroo’, mereka adalah para ulama atau orang-orang yang memahami Al-Quran dengan baik.

>
             
 December 12, 2008, 01:39       #108
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            KEDUA: SEJARAH MUNCULNYA TASAWUF ISLAM

Di tengah-tengah kelompok tersebut dan di kalangan para ahli zuhud, zuhud mulai menyaksikan perkembangan baru yang membawanya kepada nama baru, yaitu Tasawuf, serta kelompok baru bernama As-sufiyah. Perkembangan ini tidak terlepas dari sebagian faktor atau fenomena internal dan eksternal. Faktor eksternal terpulang kepada permulaan atau pertengahan abad kedua –di mana bahwa para zuhud waktu itu lebih meng-utamakan berpakaian sof (wol) sebagai selogan tawadlu, pakaian orang-orang soleh, simbol keprihatinan serta unjuk protes terhadap kemegahan serta kegelamoran dunia, bahkan pakaian itu telah menjadi pakaian khas mereka.

Dari sini para Sufi itu satu sama lain mulai berkumpul; mulai memilih orang yang patut di antara mereka menjadi pemimpin atau pembimbing atau para syekh, Yang di dalam kepribadiannya telah terkumpul sifat-sifat atau karakteristik yang menjadikan mereka layak berdiri didepan saudara-saudaranya. Diantara salah satu kelebihan atau keistimewaan yang terpenting adalah mereka mampu merenungkan, menyimpan pengalaman spritual mereka, dan mampu mendeskripsikan serta mengekspresikan kembali pengalaman spritual tersebut. Deskripsi spritual ini tidak mereka ambil dari orang-orang sebelum mereka akan tetapi benar-benar bersumber dari pengalaman dan petualangan spiritual yang mereka alami sendiri.

Pengalaman itu memberikan ilmu khusus dan pengetahuan pribadi bagi mereka, terkadang sebagian mereka ada yang merasa terpaksa untuk mengungkapkan pengetahuan itu dan sulit disembunyikan gejolak perasaan yang memenuhi qalbunya, seola-olah –dalam kondisi seperti itu- ia seperti tengah terjadi al-wajdu al-fana (megalami satu kondisi kebersamaan kepada Allah yang kuat dalam dirinya) atau dilanda perasaan seperti yang melanda para seniman atau penyair, oleh karena itu mereka mendapatkan kebebasan dalam mengungkapka apa yang tengah bergejolak dalam dadanya, dalam hal ini imam al-Hakim at-Tirmidzi berkata: “Tidaklah aku menyusun satu huruf tentang sebuah perancangan, tidak juga agar sesuatu itu dinisbatka kepada diriku, namun ketika aku merasa sempit aku menjadi terhibur “.

Mulailah mereka mencatat khawatir (lintasan pikiran dan jiwa sebagai apresiasi kondisi spiritual yang bersih) mereka, menyusun pengalaman-pengalaman mereka, serta berbicara tentang zauk, dan mawajid mereka. Bermunculanlah sebagian artikel-artikel yang berbicara tentang pengalaman spritual. Tidak hanya itu, bahkan sebagian mereka sudah ada yang mendiskusikannya atau berbicara tentang tasawuf di masjid-masjid. Orang pertama diantara mereka adalah Abu Zakaria Yahya bin Muaz Ar-Razi (W : 275 H), dan Abu Hamzah Al-Bagdadi yang sebelum bicara di masjid Madinah ia telah berbicara di Bagdad terlebih dahulu.

>
             
 December 12, 2008, 01:40       #109
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            Dan kewajiban para syekh adalah menjelaskan pesan-pesan kepada para pengikutnya, membatasi kaidah-kaidah suluk serta etikanya (adab) dan menulis buku-buku dan artikel-artikel yang berhubungan tentang tasawuf. Dari sini mulailah dikenal sejumlah tokoh-tokoh sufi pada abad ketiga hijriyah dan setelahnya, di-antarnya: Imam Muhasibi, Sahal at-Tusturi, al-Junaidi al-Bagdadi, Imam al-Ghazali, dan Abdul Qodir al-Jilani. Sebagian mereka ada yang merasa cukup mengajarkan ilmu tasawuf secara lisan, oleh karenanya mereka tidak menulis buku-buku, bahkan mereka mengatakan: “Buku-bukuku adalah para sahabatku (murid/pelanjutnya)”

Diantara moti-motif terpenting penulisan karya-karya tasawuf adalah untuk mengkanter para penyeleweng yang dilakukan oleh para pengaku-aku tasawuf. Tujuan ini sangat jelas sekali terdapat pada setiap muqoddimah buku-buku tasawuf, seperti buku Atta’arruf karya al-Kalabadzi, Alluma’ karya imam at-Thusi dan Ar-risalah karya imam al-Qusyairi. Begitu pula diantara tujuan-tujuan terpenting mereka adalah menghadapi serangan-serangan yang diarahkan kepada kaum Sufi semenjak kelompok ini memiliki label khusus dalam pakaian, dan manhajnya, kemudian sebagaian para penysusun buku-buku tasawuf berupaya menjelaskan dasar-dasar tarbiyah tasawuf (tarekat), membatasi unsur-unsurnya secara umum, juga berusaha memunculkan pandangan kelompok sufi terhadap ilmu-ilmu kelompok lain yang semasa dengan mereka, seperti para fuqoha, mufassirin, mutakallimin, dan , ulama-lain yang sepadannya. Diantara mereka misalnya Abu Thalib al-Makki dalam bukunya qutul qulub (konsumsi pokok qalbu).

Ibnu Khaldun berkata: ketika ilmu pengetahuan ditulis dan dibukukan, para fuqoha menyusun fikih, serta usulnya, ahli kalam meyusun ilmu kalam, mufassirin menulis tafsir, dan lain sebagainya, para tokoh sufi juga melakukan hal yang sama, menulis dan menyusun buku-buku tasawuf setelah sebelumnya thoriqoh hanya sebuah ritual ibadah saja dan hukum-hukumnya hanya bersumber dari dada (hafalan) para tokohnya, sebagaimana halnya terjadi pada semua ilmu yang dibukukan, seperti tafsir, Hadis, fikih, usul dan lain sebagainya.

Ibnu Taimiyah menyebutkan, ilmu tasawuf pertama kali muncul di kota Bashroh, hal itu ditandai dengan adanya sifat zuhud, ibadah dan rasa takut yang berlebihan serta hal ini tidak dialami seluruh penduduk kota besar, karenanya, pada saat itu dikenal fikih ahli Kufah dan ibadah ahli Bashrah.

Dapat dikatakan bahwa tasawuf muncul secara alami dalam lingkuangan Islam sebagai dampak dari beberapa faktor yang ada di dalam lingkungan tersebut. Dan ilmu ini tetap akan terwujud, walaupun kaum muslim tidak memiliki kontak langsung dengan kebudayan asing, atau bentuk-bentuk tasawuf yang lain. Tokoh-tokoh tasawuf sering kali menjelaskan bahwa tasawuf mereka bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Mereka sering kali mengulang-ngulang dalam berbagai kesempatan serta kukuh dengan sikap itu di berbagai kondisi agar hal itu melekat di dalam jiwa pengikutnya. Sebagaiman imam Junaidi bertutur: “Mazhab kami ini berpegang teguh dengan dasar-dasar Al-Qur’an dan Sunnah”. Ia berkata lagi: “Semua jalan (manhaj) terhalang bagi makhluk kecuali orang-orang yang meneladani Nabi serta mengikuti Sunnah dan tetap konsekwen dalam manhajnya”. Ketika salah seorang tokoh sufi ditanya tentang bid’ah, ia menjawab: “bid’ah itu adalah melanggar hukum, mengabaikan Sunnah, mengikuti jalan pikiran manusia dan hawa nafsu, serta tidak meneladani dan mengikuti Nabi saw”.

Maka pada akhir abad ini, serta pada abad ketiga dan keempat Hijriyah tasawuf menurut tokoh-tokohnya adalah “sekumpulan etika, akhlak, dan keyakinan-keyakinan yang sangat dipegang teguh oleh para sufi dan kalangan elit ulama”.
>
             
 December 12, 2008, 01:40       #110
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            Dapat kita katakan terhadap tasawuf macam ini adalah Tasawuf Sunni, yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, bersumber serta tidak keluar dari batas-batasnya, mengontrol prilaku, lintasan hati, dan pengetahuan mereka dengan dua neraca itu. Selama para tokoh tasawuf ini mengumandangkan loyalitas mereka kepada Syari’ah Allah, maka kita harus meyidang mereka menurut dua standar di atas, karena itu adalah standar apa yang mereka ridlai. Jika perkataan dan perbuatan mereka sesuai dengan Syari’ah maka kita terima, sementara jika melanggarnya, maka kita harus menolak dan meninggalkannya.

Salah seorang syekh tasawuf mengatakan hal ini secara terang-terangan. Syekh Abul Hasan syazili pernah berkata kepada salah seorang muridnya: “Apabila Kasyafmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka engkau harus tetap komitmen terhadap keduanya dan tinggalkanlah kasyafmu itu, dan katakanlah kepada dirimu bahwa Allah telah menjamin keselematanku dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sementara aspek kasyaf, ilham, dan musyahadah tidak memberikan jaminan kepadaku”.

Sementara dikalangan kaum muslimin sendiri juga terdapat tasawuf lain yang berbeda dari apa yang telah kita bicarakan. Yang kita kenal dengan nama tasawuf asing (mistis) atau tasawuf filsafat. Maksud tasawuf filsafat ini adalah tasawuf yang membahas tentang pemikiran-pemikiran, atau tema-tema yang memiliki kesamaan pada apa yang kita dapati di sebagian formulasi ajaran kerohanian yang ada di luar lingkuangan ummat Islam, contohnya seperti kerohanian hindu, masehi, atau Flato modern.

Keberadaan tasawuf ini dikalangan ummat Islam disebabkan beberapa faktor. Secara umumnya dapat dikatakan bahwa sebagian kelompok sufi telah mendapat kesempatan berkomunikasi atau mengenal langsung macam-macam ajaran mistis asing. Hal itu terkadang berpulang pada tarjamah-tarjamah yang menjadi sebuah faktor umat Islam mengenal turos bangsa-bangsa lain. Faktor lain juga disebabkan setelah futuhat Islam kaum muslimin menjalin kontak langsung dengan bangsa-bangsa yang memang sudah mempunyai akar kuat pada ajaran mistis seperti Hindu, dan Persia. Barangkali juga asal-usul sebagian kelompok sufi tersebut berasal dari bangsa-bangsa ini. Tidak salah kalau kita megatakan bahwa agama-agama minoritas juga memiliki pengaruh terhadap masalah ini, hal itu merupakan dampak dari adanya komunikasi dengan para pendeta Nasrani, atau Yahudi, terlebih lagi di antara mereka ada yang dikenal sebagai orang yang sering menta’wilkan teks-teks agama.


Buah dari komunikasi dengan sejumlah referensi ini, maka kita sering mendapati diantara orang-orang yang memliki loyalitas kepada tasawuf ada yang berbicara tentang ittihad, wihdatul wujud, atau suqut at-taklif (terbebas dari taklif agama) dari para wali, dan tema-tema lain yang tidak mudah dirujuk kepada Islam, namun lebih mudah dikembalikan pada sumber-sumber asing di luar Islam.

>
             
 December 12, 2008, 01:41       #111
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            Oleh karena itu, tasawuf digambarkan sebagi sebuah bid’ah, atau kependetaan, padahal para pembaharu tasawuf Sunni terus mengawasi teori asing ini dan mengkanter para tokohnya serta menjelaskan hal-hal yang menyimpang dari Syari’ah Islam. Di samping mereka juga melakukan hal yang sama menjelaskan aqidah mereka, dan menjelaskan dasar-dasar Syari’ah yang menjadi landasan berdirinya torekat (tarbiyah) mereka. Karena itu tidak heran bila kita temukan di sejumlah buku-buku tasawuf dimulai dengan menjelaskan aqidah sufi yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, keNabian dan karekteristik serta kedudukannya. Semua itu telah dijelaskan dalam kitab at-Ta’aruf, al-Luma’, Qutul Quluub, Risalah Qusyairiyah, dan karya-karya Sufi lain yang berbicara tentang hal itu.

Ketika kelompok sufi pertama telah membagi antara ilmu Syari’ah (ilmu zhohir) yang tampak pada lahiriyah, dan ilmu hakikat (ilmu bathin) yang stresingnya adalah hati, maka mereka mulai menysusun terminologi-terminologi khusus untuk kalangan mereka sendiri serta simbol-simbol tertentu yang hanya dapat dipahami dengan betul oleh seorang yang belajar langsung dengan mereka. Maka berbondong-bondonglah orang mendatangi mereka untuk bergabung dan menimba ilmu, namun metoda kelompok Sufi pertama ini belum sempurna dan terorganisir dengan baik, sebagaimana metoda sufi belakangan. Di mana mereka masih individual yang terpisah-pisah dan tidak memiliki ikatan diantara mereka. (belum terorganisir).

Pada abad kelima muncullah Imam Ghozali r.a (w: 505 H) kita dapati bahwa ia memiliki pemahaman tasawuf yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dipahami oleh para sufi di masa pertama. Ia berpendapat, bahwa tarekat tarbiyah tasawuf merupakan persembahan mujahadah dan penghapusan sifat-sifat tercela. Tarbiyah ini berpulang kepada semata-mata upaya pembersihan jiwa dari seorang salik (seorang insan tarbiyah), penjernihan dan pencerdasan, kemudian penyiapan dan penyerahan diri kepada Allah. Imam Ghozali telah menjelaskan kaidah-kaidah suluk (tarbiyah ruhiyah) secara terperinci, seperti hubungan seorang murid dengan Syekh (murobbi), menjelaskan tentang tata cara uzlah, dzikir, dan semua yang berhubungan dengan kaidah-kaidah tersebut. Bahkan Ia juga melandasi kaidah-kaidah taswuf Sunni yang memperhatikan sisi pendidikan akhlak dalam dunia Islam, meyatukan antara ilmu syari’ah (ilmu lahiriyah) dan ilmu hakikat (bathin), serta menolak bentuk-bentuk tasawuf lain yang menyimpang, seperti tasawuf filsafat yang berdiri atas pemikiran hulul dan ittihad.

Tidak lama kemudian bermunculanlah para pembesar Tasawuf yang mengagumi konsep dan orientasi Imam Ghozali ini, kami sebutkan di antara mereka adalah: Syekh Abdul Qodir Jailani (W:561 H) pendiri thoriqoh Qhodiriyah, dan Syekh Ahmad Rifai (w:578 H) pendiri thoriqoh Rifaiyyah, kemudian terus bermunculan pembesar Syekh tasawuf di beberapa negara Islam dan thoriqoh sufiyyah itu terus berkembang dan tersebar sejak abad ke IV Hijriyah sampai saat ini.

>
             
 December 12, 2008, 01:41       #112
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            Sejak abad itu kata tasawuf dilekatkan kepada: “sekumpulan individu-individu kaum sufi yang berafiliasi kepada syekh tertentu, dan patuh terhadap sistem suluk (tarbiyah ruhiyah) secara detail, dan mereka hidup secara kolektif di berbagai zawiyah, rubbat, dan khanoqoh, atau mengadakan perkumpulan rutin pada kesempatan-kesempatan tertentu, serta mengadakan majlis-majlis ilmu dan zikir secara teratur”. Toriqoh ini setelah berjalan secara individu akhirnya menjadi sebuah tarbiyah tasawuf kolektif seperti madrasah spritual dalam dunia Islam. Dan dapat dinamakan sistem ini dengan “Tasawuf Amali (praktis) atau Thoriqoh Sufiyah. Syekh Abdul Qodir Jilani dalam hal ini merupakan orang pertama yang mendirikan metoda Thariqoh praktis ini


Ketiga: MACA-MACAM TASAWUF ISLAM

Kita perhatikan bahwa tasawuf Islam sejak munculnya sampai hari ini terbagi kepada empat macam.

1.Tasawuf Sunni.

Yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.

Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsef yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metoda tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.

Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.

>
             
 December 12, 2008, 01:42       #113
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            2.Tasawuf Falsafy

Adalah Tasawuf yang di dalamnya bercampur zauq kaum sufi dengan pandangan-pandangan logika. Pemilik aliran ini bersengaja memadukan zauq sufiyah itu dengan pandangan logika, dalam ungkapan-ungkapannya mereka menggunakan istilah filsafat yang disadur dari berbagai sumber. Ketika tasawuf ini telah diwarnai dengan filsafat, berarti sejumlah filsafat asing, Yunanai, Persia, Hindia, dan Masehi telah merembas kedalam tasawuf ini.

Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada filsafat. Artinya, pada fase pertama tasawuf ini membentuk konsef dan metoda dasarnya dari Al-Quran dan Sunnah, yaitu sebuah fase praktis, kemudian beralih kepada fase tasawuf, yaitu fase praktis plus teoritis. Maka para sufi itu telah berbicara tentang azwaq, mawajid, lintasan-lintasan hati, dan fase-fase perjalanan sufi. Kemudian mereka mulai membatasi berbagai interpretasi kandungan-kandungan agama sebagai lawan dari interpretasi fuqoha, dan para mutakallimin.

Tasawuf terus berjalan, kemudian berubah menjadi akhlak pada ahli Sunnah waljamaah, dan berubah menjadi filsafat pada kelompok yang mencampurkan tasawuf dengan ilmu-ilmu Yunani, pidanta Hindu, Yoga, dan semua peninggalan Hindu. Mereka meramu semua itu pada filsafat, penampilan luarnya Islam, sementara bathinya non Islam. Akhirnya mereka berakhir pada akidah-akidah yang diperselisihkan terutama akidah hulul dan Wihdatul wujud (reingkarnasi).

Buah dari adanya interaksi terhadap beberapa faktor ini, maka kita sering dapati diantara orang-orang yang berloyalitas kepada tasawuf ada yang berbicara tentang fana, ittihad, hulul, wihdatul wujud, atau suqut taklif (terbebas dari beban agama). Contoh-contoh seperti ini adalah tema-tema yang sulit dirujuk kepada Islam. Meskipun sangat mudah jika dikembalikan kepada sumber-sumber asing.

Keberadaan tasawuf seperti ini di kalangan ummat Islam telah membawa kepada bahaya pengkaburan konsef tasawuf yang shahih secara umum, semua itu adalah dampak dari pengaruh tasawuf asing tersebut (mistis), karenanya tidak heran kalau tasawuf ini dikatakan sebagai sarang bidah dan kependetaan, meskipun tokoh-tokoh besar tasawuf Suni tetap mengawasi teori-teori asing ini dengan ketat. Bahkan mereka mengkanternya, dan menjelaskan hal-hal yang menyalahi Syari’ah dan aqidah-aqidah mereka. dan menjelaskan dasar-dasar hukum yang menjadi pijakan dasar cara mereka. Tokoh-tokoh tasawuf ini adalah: Sahrowardi yang terbunuh (550 H - 587 H), Ibnu Arobi (560 H - 638 H), Ibnu Sab’iin (614 H – 669 H), dan lainnya.


>
             
 December 12, 2008, 01:42       #114
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            3. Tasawuf Amali atau Tarekat Sufiyah.

Yaitu tasawuf yang penganutnya melatih dirinya dengan mengedepankan mujahadah, menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan seganap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah suluk (perjalanan tarbiyah ruhiyah), macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti hubungan anatara murid dengan syekh, ‘uzlah dengan kholwah, tidak banyak makan (ju’), mengoptimalkan waktu malam (sahar), diam, zikir, dan semua yang berkaiatan dengan kaidah-kaidah suluk dan adab.

Pada hakikatnya metoda kaum sufi ini hanyalah sebuah lanjutan atau pengembangan dari tasawuf nazhori (tasawuf Sunni). Dinamakan tasawuf amali adalah karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi nazhori (teori), akan tetapi tidak berarti tasawuf ini kosong dari teori, bahkan sisi ini lebih sempurna dan konfrehensip dari sisi pertama. Istilah amali di sini menunjukkan bahwa tasawuf ini telah menjadi sebuah madrasah torekat (tarbiyah ruhiyah kolektif) yang terorganisir.

Tasawuf ini berawal dari sifat zuhud, kemudian tasawuf dan akhlak (Sunni), berakhir kepada sistem tarbiyah kolektif (tarekat jamai). Inilah akar perkembangan tarekat yaitu semenjak abad keenam dan ketujuh hiriyah. Maka kita dapati tarekat ini adalah sebuah janji antara syekh dan muridnya untuk bertaubat, istiqomah, masuk kepada jalan Allah dan senantiasa mengingat-Nya (dzikir), serta beramal dengan etika dan dasar-dasar tarekat yang harus diikuti oleh seorang murid di samping melaksanakan wirid-wirid (rutinitas ibadah), serta hizib-hizib (gubahan do’a) syekh tarekat pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

Tasawuf ini menjadi bentuk kolektif setelah sebelumnya berjalan secara individu-individu yang terpisah dan tidak terorganisir. Akhirnya tasawuf ini mereka namakan: “kumpulan indifidu-indifidu sufi yang berloyalitas kepada syekh tertentu, dan patuh terhadap syistim tarbiyah ruhiyah, hidup secara kolektif di zawiyah-zawiyah, rubbat, dan khanoqoh, mengadakan perkumpulan rutin pada kesempatan-kesempatan tertentu, serta mengadakan majlis-majlis ilmu dan zikir secara teratur.

Imam terbesar tasawuf ini, yang telah menyatukan antar teori dan amali adalah Imam Abdul Qodir al-Jilani r.a, dia adalah orang pertama yang mendirikan madrasah ini. kemudian diikuti oleh Imam Ahmad ar-Rifai, Imam Abu al-Hasan as-Syadzili, dan Imam Bahauddin Muhammad An-Naqsyabandi, dan yang serupa mereka. Mereka adalah ulama-ulama dalam ilmu-ilmu Islam, dan teladan yang baik dalam akhlak yang mulia, serta para Mursyid yang membimbing untuk sampai kepada makrifat Allah swt dengan Al-Quran dan Sunnah.

>
             
 December 12, 2008, 01:42       #115
militiaman
Registered User



Join Date: Aug 2008
Posts: 2,588
WebPoint: 0
GaulPoint: 4270
            4. Tasawuf Salafi.

Tasawuf ini mirip dengan tasawuf Sunni dalam berbagai hal. Atau merupakan tasawuf dari sisi teori, bahkan ia adalah pengejawantahannya. Diantarnya bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, mencela ittihad, hulul, wihdatul wujud, syatahaat (telepani), berbagai celoteh dan lain-lain yang termasuk ke dalam katagori tasawuf filsafat.

Tasawuf ini juga brbeda dengan metoda, dan kaidah-kaidah tasawuf sebelumnya, yaitu tasawuf amali atau tarekat sufiyah yang telah terformat secara kolektif. Dan dia berusaha mengembalikan tasawuf kepada metoda salaf yaitu tasawuf Sunni yang berjalan secara individu. Yaitu, tasawuf yang berawal dari sifat zuhud, kemudin tasawuf, kemudian kembali ke awal lagi yaitu sifat zuhud, dan akhlak.

Orientasi ini jelas sekali pada kelompok al-Karamiyah, imam al-Harowi al-Ansori, kemudian tasawuf ini muncul lagi pada abad kesembilan ditangan imam Ibnu Taimiyah r.a Lalu muncul secara sempurna dan konsisten ditangan muridnya, Ibnu Qoyyim al-Jauzi, kemudiaan muncul secara organisasi pergerakan di tangan Imam Syahid Hasan al-Banna dalam jamaahnya”Ikhwan Muslimin”.

http://www.rohimuddin.com/?p=486
             
 December 12, 2008, 09:55       #116
k3nj1
Registered User

Join Date: Dec 2008
Posts: 6
WebPoint: 0
GaulPoint: 2
            Ushuludin itu IMAN
Fiqih itu ISLAM
Tasawuf itu IHSAN

Selanjutnya Tasawuf sebagai salah satu sisi mata berlian Islam yang kemilau berusaha dihapuskan oleh kelompok WAHABI yang sekarang memakai topeng bernama SALAFY.
             
 December 12, 2008, 18:15       #117
mank
Registered User

Join Date: Nov 2008
Posts: 32
WebPoint: 0
GaulPoint: 0
            Tasawuf merupakan sentuhan yg bersifat ruhaniah dan bertujuan agar dpt sampai pd kehadirat Allah SWT. Adalah suatu kewajiban atas seorang sufi agar ia meletahkan amal perbuatan sesuai dengan tempatnya...
             
 December 13, 2008, 11:06       #118
mahrus
Registered User

Join Date: Apr 2007
Posts: 432
WebPoint: 0
GaulPoint: 12
            tasawuf itu sulit di capai dengan teori namun teori itu juga di butuhkan untuk membimbing seorang pemula mengenal dunia tasawuf, tetapi tidak akan bisa membimbing seorang untuk menjadi tasawuf karena akan tersesat jauh.
muslimin atau orang yang berserah diri kepada ALLAH menjadi langkah awal, mukhlishin yang selalu ikhlas akan mempercepat sampainya langkah seseorang ke dunia tasawuf yang sebenarnya dan sholihin , yang gemar berbuat kebaikan dan pahala adalah tempatnya berkumpul.
titik utama dari tasawuf bukan setumpuk teori tetapi lebih kepada hubungan rahasia antara sang Pencipta dengan mahluk ciptaanNYA secara(teori/ilmu) Islam yang di bawa nabi besar Muhammad s.a.w.
             
 December 28, 2008, 03:21       #119
syahrul husni
Moderator



Join Date: Jul 2008
Posts: 1,312
WebPoint: 0
GaulPoint: 2160
Blog Entries: 2
            Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang
diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat
tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang
Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya
kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak.
Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala
awal.Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila.
Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama
Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna
belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan
atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir.
Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak
mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang
disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
           
















Memahami Sufi                                    
Ditulis oleh http://memahamisufi.wordpress.com   



Tidak sedikit yang menentang adanya istilah SUFI.

SUFI dianggap sebagai bid’ah, tidak ada dalam kehidupan rosulullah saw, sebagai ajaran yang mengada-ada dalam melaksanakan aturan ibadah dlsbnya.
Saya tidak membahas itu, tapi lebih suka menjelaskan tentang keberadaan SUFI pada sekarang ini. SUFI adalah seseorang yang mendalami tentang ajaran TASAWUF, yang penekanannya adalah “bagaimana mensucikan qalbu” dengan maksud sampai kepada tatanan “wahai jiwa-jiwa yang tenang datanglah kamu kepada-KU“.  Untuk mendapatkan kearah situ maka seseorang yang mempelajari TASAWUF (SUFI) berpendapat bahwa diri haruslah dilatih, guna memperoleh tanjakan-tanjakan bathin menuju kearah maqam TAWAKAL (penyerahan diri secara total kepada ALLAH), itulah semurni-murninya TAUHID.

Perkembangan SUFI
Ketika Islam berjaya dan Rasulullah saw telah wafat, begitu juga satu persatu para sahabat dan khulafaur rasyidin pergi meninggalkan mereka, ada gejala kecenderungan hidup berfoya-foya, yang mana hidup berfoya-foya itu dinilai oleh ulama sebagai penyimpangan dari ajaran islam. Oleh kerana itu, sebahagian ulama berpendapat bahwa gerakan sufi sesungguhnya adalah gerakan pengembalian Islam secara benar.
Munculnya gerakan sufisme juga didorong oleh kehidupan beragama yang terlalu umum dan mengabaikan aspek batiniyah. Sepeninggal Rasulullah saw seluruh jazirah Arab telah menyatakan tunduk kepada pemerintahan Madinah. Tidak terlalu lama kemudian, daerah kekuasaan politik Islam berkembang dengan cepat, meluas sampai meliputi daerah yang terbentang dari sungai Nil di bagian barat dan sungai Oxus di timur.
Ketika itu umat Islam di Madinah benar-benar berjaya dengan luar biasa. Berjaya di bidang politik dan ketenteraan ternyata membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya adalah sistem hukum sebagai salah satu alat untuk pengatur masyarakat. Aturan hukum yang kemudian dikenal dengan istilah fiqh. Lama-kelamaan istilah figh kemudian menjadi sentral dalam pemikiran agama. Dengan begitu, seringkali agama dikenali sebagai fiqh. Kerana yang demikian itu, maka pandangan terhadap keIslaman seseorang hanya diukur bersadarkan kepatuhannya terhadap aturan fiqh.
Padahal, istilah fiqh mengandung makna asli pemahaman mendalam yang dikenal dengan syari’ah, yang secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Pada mulanya istilah syari’ah digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjuk pada suatu konsep yang luas mencakup kebenaran spiritual sufi (hakikat), kebenaran akal pada filosof dan teologi, serta kebenaran hukum (fiqh).
Selain hal tersebut, negara yang dibentuk oleh tatanan Islam di Madinah sangat memerlukan fiqh (hukum) karena seringkali terancam oleh berbagai tindak pembunuhan dan kekacauan. Negara tidak saja mengunakan ketertiban dan keamanan, tetapi juga kepastian hukum. Dalam keadaan seperti ini, kesalehan seseorang dalam beragama diukur berdasarkan kepatuhan terhadap hukum (fiqh). Konsep yang berkembang seperti ini perlahan-lahan membawa seseorang memahami agama sebatas aspek lahiriah saja (tinglah laku saja). Kemudian mengabaikan hal-hal yang berkenaan dengan batiniah (spiritual). Keadaan yang demikian inilah oleh golongan sufi dianggap sebagai pengamalan agama sebatas pada luaran saja, pengamalan agama yang hanya mengutamakan segi tingkah laku dan lahiriah.
Orang-orang yang cenderung kepada fiqh yang berpusat pada masalah-masalah fiqiyah menyebut dirinya sebagai faham keagamaan (fiqh) dan jalan yang benar (syari’ah). Sedangkan sufi (yang sering dikenal dengan sebutan orang-orang zuhud) yang berorientasi pada pengamalaman spiritual juga mengatakan bahwa dirinya sebagai pengetahuan (ma’rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (tariqah).
Sesungguhnya faham sufi (sufisme) itu berkembang dari waktu ke waktu mengikuti keadaan zaman. Sejak zaman Rasulullah saw hingga sekarang, banyak diwarnai dengan keragaman. Adapun keragaman tersebut muncul dalam beberapa tahapan perkembangan.
Sebahagian ulama berpendapat, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun di Mekkah -ayat Makkiyah- sudah menekankan betapa pentingnya kerohanian, dalam kaitannya tentang perjalanan kenabian dan tentang wahyu. Dikisahkan pengalaman kerohanian kenabian yang dilalui Rasulullah saw (dikenal dengan Isra’ Mi’raj), misalnya :
“Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?” (QS. An Najm 1-12)
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Isra’ 1)
Sebagian ulama filosof mengatakan, bahawa pengalaman isra’ mi’raj Nabi lebih kepada pengalaman kerohanian. Para yang mendapat cerita tentang isra’ mi’raj langsung menerima dan mereka tidak bertanya mengenai pengalaman-pengalaman tersebut. Ada sejumlah alasan mengapa demikian, kerana mereka dilatih untuk suatu tujuan moral atas dasar keagamaan. Lagi pula aktiviti mereka telah membuat mereka cenderung untuk tidak bertanya-tanya tentang rahsia metafisik itu. Kedua, mereka menganggap bahawa pengalaman-pengalaman kerohanian Nabi saw tersebut merupakan ciri khas seorang rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka hanya mengimani dan melaksanakan apa yang diyakininya itu.

Dalam masa ini, Rasulullah saw menanamkan kepada umatnya walaupun pada tingkatan yang berbeda, suatu keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya, ke maha kuasaanNya, serta perasaan mendalam pada pertanggungjawaban dihadapan pengadilan Tuhan menyangkut perilaku selama di dunia.
Ajaran Rasulullah ini mendapat sambutan yang mendalam oleh para sahabat, terutama yang sangat dikenal adalah Abu Dzar Al Ghiffari. Dimana sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar merupakan tokoh penting yang dikenal kesalehannya dimata penduduk Madinah. Kesalehan Abu Dzar inilah yang kemudian menjadi pondasi bagi perkembangan zuhud (sufi) dua abad pertama Hijriyah.
Pada perkembangan berikutnya, kesalehan beragama secara kerohanian ini muncul dalam bentuk kehidupan zuhud. Kemunculan kehidupan zuhud dipengaruhi oleh keadaan umat islam disaat itu yang tenggelam dalam menikmati kemewahan duniawi. Kemewahan duniawi itu dipengaruhi oleh keberhasilan pemerintahan Islam dalam mengembangkan politik dan ketenteraan hingga ke seluruh jazirah Arabia.
Menurut sebahagian ulama, kehidupan zuhud semata-mata merupakan reaksi terhadap kehidupan sekular dan sikap penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap kurang keagamaan. Artinya, Dinasti Umyyah telah meninggalkan kesalehan dan kesederhanaan hidup sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat empat.
Dua abad sesudah hijriyah, kemudian bermunculan tokoh-tokoh (ulama) zuhud mengembangkan konsep spiritual (batiniah) dalam beribadah disamping konsep syariat. Lalu muncullah istilah sufisme (gerakan sufi) sebagai protes terhadap kehidupan umat Islam yang dianggap kurang mengamalkan Islam kerana tenggelam dalam kemewahan duniawi. Diantara dari para ulama zuhud itu, salah satu yang sangat terkenal adalah Hasan al-Bashri. Pengaruh konsep ajarannya demikian kuat selama berabad-abad.
Setelah itu, tradisi hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu konsep ulama zuhud yang sangat popular adalah pemahaman tentang tawakkal (berserah diri kepada Tuhan). Kemudian berubah menjadi doktrin-doktrin yang sangat mencolok. Mereka menempuh jalan sufi dengan menyerahkan diri secara keseluruhan kepada Allah.
Dari sini kemudian muncul ulama-ulama sufi besar seperti Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi’ah al Adhawiyah dan masih banyak lagi.
Kencenderungan pengaruh ajaran sufi pada saat itu misalnya dapat dijumpai dalam cerita tentang bagaimana Malik bin Dinar mencari nafkah (rezeki).
Malik bin Dinar memilih hanya memiliki sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah itu dia mengusahakan kehidupan tanpa menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sementara Wasi’ lebih menyukai menjadi orang yang jika makan tidak peduli dari mana dia akan memperoleh makanan lagi nanti.
Ciri khas gerakan pada masa itu hanyalah pada zuhud dan rajin beribadah yang bertujuan untuk membersihkan jiwa secara lahir bathin. Belum ada teori-teori khusus yang menonjol.
Dan pada abad ketiga hijriyah, muncul ulama-ulama besar dalam tradisi sufi, diantaranya ialah Al Muhasibi, Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al Bistami, Junaid Al Baghdadi dan Abu Manshur al Halajj.
Ulama-ulama sufi tersebut menggunakan kebiasaan (tradisi) berfikir yang berkembang pada masa itu. Dzun Nun Al Misri memiliki konsep sufi yang dikenal “al ma’rifah” (pengetahuan). Abu Yazid al Bistami merumuskan konsep yang disebutnya “Al Ittihad (penyatuan hamba dengan Tuhan). Adapun Abu Manshur al Hallaj yang dikenal dengan Al Hallaj merumuskan konsep yang disebut “Al Hulul” “(Tuhan mengambil tempat dalam diri seseorang).
Sesungguhnya konsep-konsep tersebut semula tidak dikenal dalam Islam. Konsep tersebut hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada. Namun dengan konsep tersebut, para sufi meyakini boleh memperoleh pengetahuan tidak dengan alat indrawi atau akal sebagaimana yang ditempuh oleh para filsof dan teologi, melainkan dengan hati dan perasaan.

Permasalahan antara Sufi dan Fiqh
Pada perkembangan berikutnya, konsep sufisme tersebut kemudian menimbulkan konflik tajam antara tradisi fiqh dengan tradisi sufisme. Para elit birokrat dan ulama-ulama (fiqh) melarang ajaran sufi kerana dianggap sebagai bukan ajaran agama Islam. Pemikiran dan ajaran “Ittihad” dan “hulul” menjadi sasaran kritik. Dianggap sebagai ajaran sesat oleh ulama-ulama yang cenderung kepada tradisi fiqh. Bahkan konflik tersebut pada ujungnya meminta korban nyawa Al Halajj. Kita tahu bahawa Al Halajj dianggap telah menyimpang dari ajaran islam (fiqh) kemudian dihukum oleh penguasa Baghdad pada tahun 922 Hijriyah. Hal itu kerana pernyataan Al Halajj sendiri “Ana al-haq” (Aku adalah Tuhan). Inilah yang semakin memancing emosional ulama dan penguasa sehingga Al Halajj berikut konsep ajarannya harus dimusnahkan.
Pasca tragedi Al Halajj, maka para ulama fiqh menjaga jarak dengan ulama sufi. Ulama fiqh menilai bahawa ulama sufi semakin liar, baik dalam ajaran mahupun dalam cara ibadahnya.
Oleh kerana antara keduanya berkonflik dan menjaga jarak, maka muncullah ulama-ulama yang berusaha menjadi penengah dan mendamaikan dua aliran keilmuan itu. Ada nama-nama besar yang menciptakan karya tulis dengan tujuan mencari titik temu antara kedua aliran itu. Di antaranya ialah al Sarrajj menulis kitab “Al Luma’”, al Kalabadzi dengan kitabnya “al-Ta’arruf li Madzab Ahl Al Tashawwuf”, dan Imam Qusyairy dengan kitabnya “al-Risalah fi ilm al-Tashawwuf”.
Bersamaan dengan itu, muncul konsep tentang perjalanan sufi dalam mencapai tingkat ma’rifatullah. Konsep itu kemudian dikenal dengan istilah “maqamat” dan “ahwal“.
Halaqah dan Tradisi Pembacaan Zikir
Konsep ajaran maqamat dan ahwal mendapat sambutan dari ahli sufi. Perlahan-lahan terbentuklah suatu kelompok atau organisasi. Kelompok tersebut sebagai media pertemuan dalam rangka majlis ilmu. Didalamnya terdapat diskusi-diskusi yang membicarakan tentang bentuk-bentuk ibadat, bentuk latihan spiritual yang disebut halaqah. Kemudian berkembang lagi dengan adanya acara tradisi pembacaan zikir. Ketika itu pembacaan zikir dilakukan dimana saja, termasuk di surau atau di masjid.
Tradisi pembacaan zikir dan halaqah kemudian menjadi seragam. Lalu muncullah bentuk tariqah (jalan spiritual sufi). Semakin lama kelompok ini semakin sempurna sehingga ulama sufi yang dijadikan sebagai guru dinobatkan menjadi pemimpin. Kelompok mereka pun diberi nama. Anggota-anggotanya dibai’at. Bahkan merumuskan zikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada sahabat Nabi saw. Sufi yang mula hanya sebagai amalan orang perseorangan (individual) kini berkembang menjadi sebuah organisasi. Pergerakan sufi yang sangat pesat, sehingga menurut tarikh, sejak abad 12 masehi, islam didominasi oleh tarikat, yang sangat berperanan dalam kehidupan sosial dan politik.
Kemudian muncullah ulama besar yang bernama Abu Hamid Al Ghazali yang sangat dikenal dengan sebutan Imam Ghazali. Dimana, Imam Ghazali menyusun kitab tasawuf yang sangat terkenal yaitu Ihya Ulumudin. Imam Ghazali sangat besar sumbangnya terhadap perkembangan sufi di dunia.
Sepeninggal Imam Ghazali, lalu tampil seorang ulama besar bernama Abdul Qadir Al Jailani. Ia dikenal sebagai pendiri tarikat Qadariah dan mulai menyiarkan ajarannya di wilayah Baghdad. Disusul Tarikat Maulawiyah yang dipimpin oleh Jalal al-Din al-Rumi. Sementara Syekh Bahaudin Naqsabandy mendirikan tarikat Naqsabandiyah.
Wass.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar