PERAN DEISME TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA ZAMAN MODERN
Istilah Deisme berasal dari bahasa Latin: deus yang berarti Tuhan. Paham ini meyakini bahwa Tuhan adalah first cause, yang menciptakan alam semesta ini dengan penuh perancangan rumit. Oleh karena itu, setelah alam ini terbentuk Tuhan sudah tidak perlu lagi ikut campur memeliharanya. Cukup hanya diatur oleh hukum alam (sunatullah) alam ini sudah bisa dengan mandiri melanjutkan kehidupannya. Bahkan karena Tuhan telah menetapkan hukum alam itu, akhirnya Tuhan pun tak lagi kuasa untuk mengubahnya.
Menurut paham deisme Tuhan berada jauh di luar alam (transenden), yaitu tidak berada dalam alam (immanen). Tuhan menciptakan alam dan sesudah menciptakannya, Ia sudah tidak memperhatikannya lagi. Alam berjalan dengan peraturan-peraturan yang sesempurna-sempurnanya. Dan karena demikian, Tuhan tak perlu lagi mencampuri urusan alam, termasuk juga urusan manusia. Singkatnya, alam semesta ini tidak berhajat kepada Tuhan dan Tuhan pun tak perlu mengurus alam lagi….
Tuhan dalam hal ini bukanlah Tuhan yang sebagaimana dikenal oleh kaum agamawan: Tuhan yang harus disembah, yang memberi rizki ataupun yang menentukan takdir. Melainkan sesuatu yang menjadi sebab pertama (first cause) Alam semesta yang menakjubkan ini adalah Tuhan sang penciptanya. dalam rangkaian kausalitas terbentuknya alam semesta ini.
Paham deisme pertama kali muncul di Inggris sekitar akhir abad XVI, yang digagas oleh para pemikir seperti; John Toland (1670-1722) dan Metthew Tindal (1656-1733) yang menulis buku “Cristianity as old as creation”, Giordano Bruno (1548-1600), Lucilio Vanini (1584-1619), Barukh Spinoza (1632-1677), Hermann Samuel Reimarus (1694-1768), Gotthold Ephraim Lessing (1729-1781) dan Moses Mendelssohn (1729-1786). Pada waktu itu, deisme menjadi suatu fenomena baru dan penting dengan gagasannya yang sangat rasilonal. Deisme adalah sebuah agama yang menolak agama, tepatnya menolak semua doktrin agama (doktrin gereja pada saat itu) terutama yang berkaitan dengan wahyu dan kehidupan akhirat. Karena alasannya sederhana: tidak rasional.
Sumber kebenaran adalah akal manusia, bukan wahyu. Namun mereka tetap meyakini akan keberadaan Tuhan. Tiga kebenaran utama dari “teologi natural” yang ditegakkan dengan akal manusia itu adalah keberadaan Tuhan, nilai-nilai moral, dan kekekalan jiwa. Dalam sejarahnya, mereka mengembangkan argumen-argumen deisme dalam rangka mengkritik gereja. Karena menurut mereka gereja telah mengajarkan hal-hal yang aneh dan bahkan mengerikan. Oleh karena itu, ajaran gereja harus digantikan. Karena itulah gagasan deisme dimunculkan sebagai muara dari kritik mereka.
Deisme adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa Tuhan itu ada, Maha Esa, Maha Baik (God is Good), Tuhan selalu dilekati dengan sifat yang baik-baik. Namun demikian, seorang deis menolak gagasan bahwa Tuhan ikut campur di dalam dunia dikarenakan jika Tuhan ikut campur terhadap urusan duniawi, sebagaimana yang dikenal dalam ajaran gereja, berarti Tuhan tidak lagi baik. Tuhan telah berbuat otoriter karena membelenggu kebebasan manusia dalam berkarya. Sifat ke-baik-an Tuhan ini hanya dapat dikenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal yang ajaib (wahyu) dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki pengenalan akan Tuhan.
Kita dapat melihat bahwa antara pantheisme dan deisme terdapat dua kunci konsep mengenai Tuhan yang berbeda, yaitu immanental dan transendental. Tuhan yang immanental adalah Tuhan yang mempunyai sifat sebagai penghibur, penasehat, dan penggugah. Sedangkan Tuhan yang transendental adalah Tuhan yang merupakan objek yang dihormati dan dipuja oleh manusia karena manusia tidak seberdaya Tuhan. Pantheisme melihat keberadaan Tuhan di dunia ini ada dalam berbagai kehidupan manusia, sedangkan deisme melihat status Tuhan di atas dan di luar kehidupan yang diciptakanNya, tidak berubah-rubah diantara berbagai perubahan dan kemusnahan.
Tuhan harus dipahami sebagai sesuatu yang sangat transenden. Sebab jika tidak, justru akan menodai ketuhanan-Nya. Menurut mereka, gereja telah melecehkan Tuhan karena turut campur tangan dalam kehidupan manusia. Tuhan sudah bukan Tuhan lagi, tapi sudah menjadi manusia. Bagi para deis tidak mungkin jika Tuhan yang maha baik membatasi kebebasan manusia untuk berkarya.
Deisme dan Ilmu Pengetahuan
Dengan munculnya aufklarung, di sisi lain, runtuhnya dominasi gereja, ilmu pengetahuan menjadi berkembang pesat. Teori Galilei Galileo tentang Heliosentris misalnya, menjadi diakui dalam ranah ilmiah meski ia sendiri telah menjadi korbannya. Warga eropa betul-betul mengalami zaman modern, semua sektor kehidupan manusia sampai sektor keagamaan pun berubah. Orang-orang Eropa yang tadinya rajin ke gereja, dan punya banyak waktu luang, kini telah disibukkan oleh berbagai yang rasional dan realistis; ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Lambat laun, agama kristen dengan ritual-ritualnya sudah mulai ditinggalkan. Setelah kecenderungan orang berubah menjadi rasional dan empiris, gagasan-gagasan tentang deisme mulai dilirik dan hangat dibicarakan. Disamping gagasannya yang rasional, deisme merupakan agama yang tidak memerlukan ritual dan karena itulah deisme hadir memberikan sebuah alternatif bagi orang modern. Standar validitas keilmuan yang awalnya dipegang gereja kemudian diganti dengan konsep yang positivistik. Gereja sudah tidak memiliki wewenangnya kembali untuk menentukan sah dan tidaknya suatu penemuan ilmu. Orang eropa sudah memiliki kesepakatan umum bahwa penemuan ilmiah adalah yang logis dan empiris.
Berawal pada abad ke-18, dimulainya zaman baru yang memang berakar dari renaisance, yang disebut sebagai Pencerahan (Aufklarung), semboyannya adalah “Beranilah Berpikir”. Sikap pencerahan terhadap agama pada umumnya memusuhi atau sekurang-kurangnya mencurigai. Salah satu alirannya adalah Deisme di Inggris yang menentang kepercayaan berdasarkan agama. Deisme memberikan kritik akal dan menjabarkan ilmu pengetahuan bebas dari segala ajaran gereja.
Abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Positivisme, terutama di bidang ilmu pengetahuan. Abad positivisme ditandai oleh peranan yang menentukan dari pikiran-pikiran ilmiah. Tokohnya adalah August Comte (1798-1857) yang terkenal dengan hukum tiga tahap pemikiran manusia: Teologis, Metafisik, dan Positivisme yang bermakna real dan ilmiah. Positivisme memberikan inspirasi yang luar biasa bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-19 hingga abad ke-20.
Namun pada awal abd ke-20, berkembang aliran-aliran pragmatisme, dengan tokohnya William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) di Amerika Serikat. Fenomenologi dengan tokohnya Edmund Husserl (1859-1938) dan kemudian Eksistensialisme yang dibintangi oleh Soren Kierkegard, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jasper dan Gabriel Marcel yang menekankan pada eksistensi manusia dengan seluruh otonaminya yang tak terbatas. Aliran-aliran pemikir ini kemudian dikenal dengan Post-modernisme. Inti dari pemikiran abad Post-Modernisme adalah kritik terhadap pemikiran abad modern yang memposisikan rasionalitas di atas segala-galanya.
Oleh karena itu, paska runtuhnya pemikiran modern dan bergantinya kecenderungan post-modern, hal-hal yang berbau irrasional dan eksistensial dimunculkan. Gagasan eksistensialisme misalnya, yang pada masa modern dianggap tidak mungkin karena bertentangan dengan objektivisme lalu dapat diterima. Seorang eksistensialis kerap mengemukakan bahwa pengalaman kebertuhanan manusia adalah pengalaman yang sangat individual dan tak mungkin untuk diatur sedemikian rupa.
Dan seseorang menganggap Tuhannya dengan anggapan apapun, bukanlah suatu masalah karena itu hak dia. Ataupun seseorang mau bertuhan atau tidak, itu juga hak azazi manusia. Hanya sayangnya, manusia selalu tidak mungkin untuk berpikir mandiri, manusia dalam berpikirnya selalu mengikuti para pendahulunya. Dan karena itulah dibutuhkan suatu metode kritis dalam berpikir.
Dengan kata lain dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara deisme dengan perkembangan ilmu pengetahuan sangat erat. Deisme telah mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, tidak dibatasi oleh agama maupun Tuhan. Adanya kebebasan manusia dibuktikan dengan akal yang menusia miliki. Dengan akal itulah, manusia harus menggunakan pikirannya dalam menyikapi hidup ini. Dan hasil dari bauh karya pikiran manusia adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bebas, tidak boleh dibatasi oleh nilai-nilai tertentu (bebas nilai). Meski kemudian filsafat abad modern mendapat kritik tajam dari para pemikir aliran Post-Modernisme.
Manusia modern produk renaisance juga melupakan satu hal penting, yakni kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dicapai bukanlah satu-satunya unsur terpenting dalam membangun kehidupan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tanpa memperhatikan unsur-unsur lain dalam kehidupan manusia, spiritualitas misalnya, sama artinya dengan mengingkari hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Penutup
Dalam faktanya, paham deisme (bukan sebagai sebutan) senantiasa hidup sampai saat ini, hidup dalam setiap kemunitas keberagamaan yang mendambakan ide-ide segar dalam beragama. Selama para pemikir masih ada, paham deisme tak akan pernah mati dan bahkan akan selalu tampil segar dan meyakinkan meskipun pro dan kontra selalu menyertainya. Dan justeru dengan begitu berarti manusia hidup.
Kita akui bahwa paham ini telah membawa perubahan yang begitu besar terhadap pemikiran dunia, terutama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Karena pemikiran, manusia menjadi berubah dan berkembang meski sebetulnya, manusia tidak bisa melepaskan agama begitu saja. Dan hadirnya gagasan deisme, dalam hal ini, telah membawa angin segar bagi para penganut agama yang sudah terlalu bosan dengan kejumudan doktrin-doktrin agama. Dalam konteksnya deisme adalah pahlawan yang membebaskan umat manusia dari penjara penjajahan halus yang dimunculkan oleh komunitas agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar