Kamis, 17 November 2011

grebeg 1 suro


KONTEKS KETUHANAN DALAM KIRAP PUSAKA 1 SURO
Oleh : Awang dan Musta’in

A.    Pendahuluan
Kehidupan masyarakat tidak bisa lepas dari kebudayaan yang ada. Melihat pengertian budaya itu sendiri diciptakan karena suatu kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat, baik itu pedalaman, pesisir maupun perkotaan. Agar suatu budaya yang ada tidak dapat hilang dan lenyap, sebagai warisan dari para leluhur sebellumnnya. Kebudayaan atau tradisi sering dilakukan oleh masyarakat untuk melestarikan dari kehidupan orang zaman sekarang dengan teknologi keilmuannya yang terus maju dan berkembang. Apabila kebudayaan itu tidak dilestarikan, maka jangan berharap kelak keturunan dari kita yang akan dating akan bisa menikmati indahnya kebudayaan tersebut. Seperti dalam hal ini yang akan dibahas, yakni kebudayaan dari keratin Surakarta ialah Grebeg Suro, atau lebih dikenal dengan tradisi Malam 1 Suro. Hal ini berkaitan dengan pandangan hidup seseorang terhadap keyakinannya.

B.     Bulan yang Sakral
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yang sakral karena dianggap bulan yang suci, bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yang dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Pasa (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yang memeluk agama Islam. Laku yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak caranya. Ada yang melakukan laku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenung diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung; tepi laut; makam; gua; pohon tua; dan sebagainya, dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan (berjaga hingga pagi hari). Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi beteng kraton sambil membisu.
Begitu pula untuk menghormati bulan yang sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yang baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam Imogiri, dan sebagainya. Ada juga yang melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowong, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yang dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan. Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yang sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yang awam terhadap budaya tradisional tidak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi beteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka tidak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro tidak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya.
Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yang bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, kita tidak tahu. Namun yang jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa tidak berani menikahkan anak di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan (Samudra Hindia). Konon ceritanya setiap bulan Suro Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (tidak diketahui jumlah anaknya berapa) sehingga masyarakat Jawa yang punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya tidak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Kita bisa membuktikan kejadian ini kepada penjual jasa, seperti penyewa alat-alat resepsi atau sejenisnya, mereka pasti akan mengatakan sepi order. Kalaupun seandainya disewa pasti untuk kegiatan lain seperti sunatan, kelahiran, atau kematian. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.

C.    Kirap 1 Suro
Setiap pergantian tahun seperti halnya orang jawa yang meyakini bahwa pergantian tahun baru Jawa mempunyai pengaruh yang besar. Misalnya; dalam beribadah untuk lebih baik dan khusyuk. Biasanya masyarakat dalam menyambut tahun baru banyak melakukan kegiatan. Kegiatan tersebut tidak terlepas dari upaya introspeksi dan harapan-harapan. Introspeksi dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu telah bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat atau justru merugikan orang lain. Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya akan diperbaiki pada tahun baru ini, itulah harapan-harapannya. Namun tidak sedikit pula masyarakat yang merayakan tahun baru hanya bertujuan ingin bersenang-senang. Memang akhirnya harus dikembalikan kepada masyarakat sendiri sebagai pencipta budaya untuk memahami sebuah arti tahun baru. Begitu juga ketika menjelang Tahun Baru Jawa, tentunya masyarakat Jawapun ingin mempunyai harapan-harapan yang lebih baik di tahun baru yang akan datang dan tentunya juga melakukan introspeksi terhadap tindakan di masa silam. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bulan Suro, baik menjelang maupun selama bulan Suro jelas tidak terlepas dari introspeksi dan harapan-harapan itu. Namun dalam perkembangannyapun bisa saja mengalami pergeseran persepsi.
Ritual malam 1 Syura sebagai manifestasi dari rasa syukur orang-orang Jawa dan malam penuh harapan agar kehidupan di setahun ke depan lebih baik, kirab malam 1 syura adalah medan gaib yang dipercaya mampu mendatangkan berkah. Apa saja yang diperoleh dari Karaton, baik berupa percikan air dari jamasan pusaka, kotoran kerbau bule yang menjadi cucuk lampah, atau apa saja lambang-lambang yang diterima setiap orang yang datang ngalap berkah malam itu, semua pribadi memperolehnya dengan cara yang unik.
Setiap malam satu Syuro, di Pura Mangkunegaran menyelenggarakan Kirab Pusaka Malam 1 Sura. Dalam ritual ini Mangkunagaran melepas kirab pusaka dengan berjalan dari Pringgitan menuju teras Pendhapa Ageng, ratusan warga yang berkumpul di Pendhapa Ageng saling berebut bunga yang disebarkan. Demikianlah, selalu saja muncul peristiwa yang seakan-akan hendak menembus batas logika berpikir setiap kali peringatan malam 1 Sura digelar di Pura Mangkunegaran. Menariknya, berebut bunga atau udhik-udhik itu hanyalah salah satu di antaranya. Di luar itu masih ada peristiwa lain yang tak berbeda jauh. Misalnya saat usai kirab pusaka. Sebuah pemandangan menarik kembali terjadi, ketika rute kirab itu kemudian disusuri kembali oleh puluhan warga, baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Dengan berjalan kaki, mereka berlaku diam saat menyusuri rute kirab mengelilingi beteng Pura.
Tidak hanya itu saja,beberapa ekor kerbau ambil alih dalam upacara tersebut. Karena Kerbau juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak di Karaton Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara material ia menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan oleh Raja beserta rakyatnya. Kyai Slamet adalah sebuah visi Raja. Secara harfiah, visi Karaton Surakarta adalah ingin mewujudkan keselamatan dunia yang sempurna.
Kehadiran Kebo-kebo bule di tengah Kirab malem 1 Syuro oleh Karaton Surakarta Hadiningrat melahirkan beragam pertanyaan baik bagi turis asing maupun orang-orang di luar etnis Jawa, bahkan orang-orang Jawa sendiri. Stasiun TV nasional dan kantor berita asing pernah menanyakan kepada saya tentang makna apa yang termuat atas kehadiran kerbau-kerbau yang menduduki posisi terdepan dalam ritual kirab melem 1 Syura. Bagi orang-orang Solo sendiri, Kebo Bule Karaton yang berjumlah 12 ekor tersebut dipercaya mempunyai mukjisat atau kekuatan gaib, termasuk binatang yang dikeramatkan. Banyak cerita seputar Kebo-kebo bule itu yang dianggap bukti adanya kekuatan gaib dan punya mukjisat dan keramat itu.
Kebo Bule itu dulunya memang dibiarkan hidup secara bebas, bergerak dari alun-alun Kidul sampai ke berbagai penjuru dan pelosok kota. Menurut kisahnya, orang-orang Pekalongan melihat Kebo Bule tersebut dan melaporkan ke Karaton, bagaimana mungkin sampai di sana yang jaraknya lebih dari 250 Km dari Karaton Solo. Juga pernah ada yang melihatnya sampai di Ponorogo Jawa Timur yang jaraknya lebih dari 100 km dari Karaton, di Wonogiri dan kota-kota lain.
Gaibnya adalah ketika ia mengembara ke berbagai tempat, tetapi mereka tidak pernah lupa akan tugasnya di malem 1 Syura. Tanpa diundang sebelum malam 1 Syura tanpa diketahui datangnya, mereka sudah berada di Karaton menunggu tugasnya yang mulia, Sang Penuntun (cucuk lampah) dalam kirab Karaton. Entah datangnya darimana dan sejak kapan pulangnya, tahu-tahu Kebo-kebo Bule itu, sudah berada di tempatnya.

D.    Konsep Ketuhanan dalam Ritual 1 Suro
Kita yang berada di Indonesia, saat ini paling tidak mengenal 4 macam tahun yang berbeda-beda, misalnya Tahun Masehi, Tahun Hijriah, Tahun Jawa, dan Tahun Imlek. Tahun Masehi didasarkan atas perputaran bumi mengitari matahari yang dikenal dengan Tahun Matahari (dan berkaitan dengan musim), sementara Tahun Hijriyah dan Tahun Jawa didasarkan pada perputaran bulan mengelilingi bumi dan tidak berkaitan dengan musim. Tahun yang berdasarkan perputaran matahari dan bulan memiliki perbedaan jumlah hari setiap tahunnya. Untuk Tahun Matahari setiap tahunnya berjumlah 365/366 hari, sementara untuk Tahun Bulan per-tahunnya memiliki 354 hari.
Tahun Masehi mengawali tahun barunya setiap tanggal 1 Januari sementara Tahun Hijriyah mengawali tahun barunya pada tanggal 1 Muharram dan Tahun Jawa pada tanggal 1 Suro. Tahun Jawa memiliki kesamaan dengan Tahun Hijriyah terutama dalam mengawali tanggal dan bulannya. Perbedaannya terletak pada istilah penyebutan nama bulan. Tahun Hijriyah menyebut bulan Muharram atau Asyuro, sementara Tahun Jawa menyebut bulan Suro.
Keyakinan bahwa bulan suro adalah bulan yang sacral itu boleh saja. Kita tidak boleh melarang seseorang untuk meyakini hal-hal yang dianggapnya itu dapat mempengaruhi kehidupannya. Kita diharuskan untuk berpikir dan memilih mana itu yang benar atau salah. Setiap orang mempunyai keyakinan tersendiri dan janganlah mengganggu atau mencampuri keyakinan yang lainnya dengan mengatakan itu salah dan tidak benar. Maka dari itu pandangan islam terhadap Ritual 1 Suro, itu boleh-boleh saja. Karena mereka meyakini bahwa itu ada dan nyata. Dan sudah merupakan prinsip agama ini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang diibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah SWT adalah ibadah yang batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya. Allah SWT berfirman:
(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62)
Semua itu dikembalikan pada diri kita sendiri, karena kita mempunyai keyakinan yang menurut kita benar maka kita harus mempercayai keyakinan itu tanpa ragu. Bagi mereka yang memperccayai hal yang mistis itu juga tidak salah menurut mereka, karena keyakinan itu adalah benar dan nyata, termasuk meyakini Ritual 1 Suro. Bagi mereka, kegiatan-kegiatan menyambut bulan Suro sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Kegiatan-kegiatan yang berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan. Itulah yang kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), kedudukannya sebagai makhluk Tuhan, tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta, sehingga dapat menjauhkan diri dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Khalik). Dalam hal ini bayak orang yang meyakini bahwa sebagai jalan menuju kesempurnaan hidup.
E.     Penutup
Bisa dikatakan setiap hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan adalah mitos belaka yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya dengan berpikir secara rasional. Banyak yang meyakini adanya kirab pusaka disaat malam 1 suro itu membawa berkah. Sebenarnya, kita tidak boleh berpikiran seperti itu karena dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tidak mengetahuinya. Mempercayai hal semacam itu sudah mendekati dengan kesyirikan. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa dan penerus bangsa kita harus mempertahankan budaya kita sendiri dengan membandingkan pada agama sebagai keyakinan kita dalam menyingkapinya. Agar kita tidak jauh menyimpang dari keyakinan kita sendiri. Kita harus bisa berpikir secara rasional dan mengurangi hal-hal yang bersifat mistis atau sryirik dalam upacara kirap pusaka tersebut. Kirap pusaka bukanlah ajang untuk melakukan pemujaan, melainkan seuatu acara yang mungkin mempunyai makna tersendiri. Tidak mungkin leluhur kita melakukan upacara seperti itu untuk hal-hal yang menyesatkan. Kita harus menempatkan tujuan utama dalam acara itu yakni intropeksi diri dan menjauhkan dari sifat pemujaan, yang kini menjadi keyakinan mereka yang mengikutinya.










KONSEP KETUHANAN DALAM KIRAP PUSAKA 1 SURO



logo iain.JPG

Di susun oleh:
Awang Yulias Supardi
Musta’in




AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


Lampiran
Daftar Gambar
Gbr. 1: Kirap Pusaka
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHu8EfBaoBtRGnqMJYK2yrtJAuFSD6-CpN6JSlXM7kdq41-rYolUAJHSVdLOlz-vh5Hibx6OTJIT_ZBbjHT9rV__ArCBNU0NLiYGdlPUEscqBVEfJ2RC86icJ_hyuN5TKrUrgUSldug7cZ/s400/2.-Suasana-Kirab-di-Mangkunegaran.jpg
Gbr. 2: kirap kebo bule (kiyai slamet)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1ZxoKAqGFfvVBBZqmm_Mvu6tnmYnGbIx_lcNrnCKFhGdATO9fyNTHG8AeUviiK2dhPKzWGm-1ltIlNnIHrgMglvPDeNHYdyJ2ws75SD5vTlNG4STO0nYVP0pNggUQu-oOUE1qk3ZQwGR7/s400/18.-Kebo-Bule.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar