Kamis, 17 November 2011

kematian menurut heideger


KONSEP KEMATIAN MENURUT MARTIN HEIDEGGER DALAM PANDANGAN ISLAM
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia hidup di dunia di bedakan atas dua jenis yakni, laki-laki dan perempuan. Begitu halnya nilai dalam kehidupan berupa baik-buruk, indah-jelek, benar-salah, serta hidup dan mati. Dalam kehidupan di dunia manusia dibebaskan memilih untuk melakukan semua hal. Begitu halnya melakukan kebaikan dan keburukan setiap waktu. Banyak sekali manusia yang mementingkan kehidupan dunia dari pada kehidupan akherat. Dunia bagi mereka adalah yang terpenting dan utama untuk mewujudkan semua keinginan, tetapi bila sudah sampai pada pertanyaan, siapkah mati sekarang? Mereka terus berusaha untuk menghindar dan mencari cara untuk hidup abadi. Tidak sedikit dari mereka yang menuhankan sesuatu yang mistis dan keramat selain Allah. Maka dari itu, manusia diberi akal untuk berfikir dan memutuskan sesuatu sebelum melakukan sesuatu.
Dalam konteks ini, kematian sering menjadi momok yang menakutkan. Karena manusia berfikir bila sudah mati berarti akhir dari kehidupan dan sudah tidak ada kehidupan yang lainnya. Menurut agama pemikiran seperti itu salah besar, karena kematian bukanlah akhir dari kehidupan melainkan fase menuju kehidupan selanjutnya yakni alam akherat. Banyak yang mengertikan alam akherat adalah kehidupan yang sebenarnya. Di mana manusia mendapat balasan dengan apa yang telah dilakukannya selama di dunia. Mereka berfikir, bagi mereka yang beramal shaleh ditampakkan sebuah potret kebahagiaan dan kehidupan enak di surga. Sedangkan mereka yang sering melakukan kemaksiatan dan bergelimang dosa akan mendapatkan siksaan sampai hari kiamat kelak tiba. Masalah kebahagiaan dan siksaan di alam akherat natinya merupakan hal yang ghaib dan hanyalah Allah yang mengetahuinya.
Bagi mereka yang berfikir praktis dengan keilmuan yang terus berkembang, kematian adalah suatu siklus kehidupan yang akan dialami oleh semua mahluk yang hidup di dunia. Alam akherat merupakan alam dimensi lain yang abadi dan berbeda dari kehidupan di dunia sebelumnya. Manusia sangat menakutkan kematian karena mungkin mereka berfikir akan mengalami kehidupan yang berbeda dari dunia sebelumnya dan itu pasti. Mereka harus melupakan antara baik-buruk, indah-jelek, benar-salah. Mereka akan melupakan semua orang-orang yang didekatnya dan berfikir untuk dirinya sendiri.
Kematian merupakan konsekuensi kehidupan bagi manusia maupun mahluk lainnya yang ada di alam semesta dan jagat raya. Dalam kematian, manusia dihadapkan dua hal yakni, kematian merupakan resiko kehidupan dan karenanya tidak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Selanjutnya, makin banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, makin ringan sentuhan di hati mereka. Sedangkan, malapetaka kematian menyentuh semua orang dan seharusnya tidak menimbulkan kesedihan yang berlarut-larut.[1] Tidak hanya manusia yang mengalami kematian, jin dan semua mahluk Nya termasuk malaikat akan mengalami kematian. Hanya saja yang akan mendapatkan hisab hanyalah manusia dan jin. Kematian seseorang merupakan salah satu dari lima hal yang mutlak dan menjadi hak Allah, yakni:
1.      Pengetahuan tentang hari akhir,
2.      Turunnya hujan,
3.      Segala hal yang berkaitan dengan kandungan/rahim,
4.      Apa yang akan terjadi esok atau di masa mendatang, dan
5.      Tempat seseorang akan mati[2]
Manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya. Namun demikian mereka diwajibkan untuk berusaha.[3] Kematian manusia dibedakan menjadi dua hal yakni, kematian Su’ul khatimah dan kematian Khusnul Khatimah. Seperti halnya perbuatan baik buruk manusia mempengaruhinya dalam kematian nanti. Semua itu didasarkan pada keyakinan manusia itu sendiri. Banyak yang meyakini kematian Khusnul Khatimah akan mendapatkan kebahagiaan hingga tiba hari kiamat kelak. Begitu sebaliknya dengan Su’ul Khatimah siksaan dan penderitaan yang terus-menerus. Karena kebahagiaan yang akan diperoleh manusia kelak di akherat tidaklah gratis dan tidak mungkin mengandalkan doa dan kasih sayang Allah.
Persoalan kematian, dengan sebab dan akibatnya, serta surga dan neraka, harus terus-menerus diingat dan direnungkan agar menjadi pondasi kita dalam menjalani kehidupan. Kematian dan kehidupan di alam akherat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, serta mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kehidupan manusia di dunia. Selama kita masih di dunia, marilah kita terus berupaya untuk mendapat kehidupan yang bahagia di akherat nantinya. Dalam hidupnya Heidegger ingin mengetahui keadaan manusia sebelum keadaan itu sendiri, kemudian ia melakukan penelitian secara ilmiah dalam wujudnya yang belum ditafsirkan. Hasil usahanya ini menemukan dasein berarti “berada di dalam dunia”.[4] Maka dari itu manusia dapat memberi tempat pada benda-benda disekitarnya, dan dapat berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Keberadaan manusia ini merupakan sebuah “situasi terlempar” –nya itu ke dunia atau Gowerfenheid. Manusia yang lebih mementingkan kebahagiaan di dunia yang bersifat sementara dan selalu menyibukkan dengan kesibukan duniawi tanpa memikirkan kehidupan nantinya setelah mati. Sejalan pendapat dalam pemikirannya Harun Hadiwijono, kematian yang dikaitkan dengan eksistensi bukan berarti manusia itu akan mati, melainkan mendahului dari kematian itu sendiri.
“Jalan yang menuju kepada hidup yang sejati, kepada keputusan yang pasti, kepada pengetahuan yang benar, kepada eksistensi yang sebenarnya, terletak dalam suatu kepastian yang temporal, dalam menanggung kepastian yang terakhir, yaitu kematian.”[5]

Manusia harus menyadari akan kematian itu dengan merenungkan kematian itu sendiri. Maka dari itu Heidegger, memikirkan kematian hingga membuatnya harus meninggalakan Jerman setelah perang pada tahun 1945, dan tidak dibolehkan mengajar sampai tahun 1951. Hingga akhir hayatnya ia mengasingkan diri hidup dalam kesepian di sebuah pondok di Freiburg pada tahun 1976. Karena hanya dengan memikirkan kehidupan duniawi kita telah melupakan kematian yang tidak lain adalah kehidupan yang sebenarnya yang akan dijalani oleh setiap mahluk hidup. Pemikiran Heidegger yang diantaranya adalah kehidupan, kematian dan lahirnya manusia di dunia ini merupakan sebuah terlempar-nya, yang tidak mengetahui “dari mana” asal-nya dan “akan kemana” tujuannya. Semua itu akan terjadi bila kita (manusia) mulai berpikir, “dari mana” dan “akan kemana”. Pemikiran kematian dari Heidegger yang menurutnya sangat menakutkan setelah mati, peneliti akan meneliti dan membandingkan dengan keyakinan yang kita yakini sebagai jalan hidup untuk menghadapi setelah kematian itu sendiri.
B.     Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah yang dipaparkan diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1.      Apa arti kematian menurut Martin Heidegger?
2.      Bagaimana kematian menurut pandangan islam?
3.      Bagaimana pendangan islam menurut pemikiran Heidegger tentang kematiannya?
C.     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui arti kematian dari pemikiran Martin Heidegger.
2.      Mengetahui arti kematian dari sudaut pandang agama yakni islam.
3.      Mengetahui korelasi pemikiran dari Martin Heidegger dengan keyakian manusia atau sudut pandang agama.
D.    Manfaat Penelitian
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini, memberikan manfaat secara praktis maupun akademis bagi para pembaca maupun bagi peneliti sendiri. Adapun manfaat praktisnya dapat memberikan informasi dan masukan bagi pembaca dalam menggembangkan keilmuan dan memperkaya khasanah untuk memperbaiki kehidupan di masa depan. Selain manfaat praktisnya, penelitian ini juga memberikan kegunaan secara akademis untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kematian menurut Martin Heidegger dalam pandangan islam. Tidak hanya itu saja melainkan dapat membandingkan pemikiran seseorang yang kemudian dikaitkan dengan keyakian/kepercayaan.
E.     Tinjauan Pustaka
Berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengungkap makna kematian maupun kehidupan sering dilakukan oleh peneliti lain diantaranya:
Penelitian yang dilakukan oleh Syahirul Alim (2006) yang meneliti tentang Konsepsi Kebangkitan Manusia dari Kematian dalam Al Qur’an (Studi Tafsir Tematik). Penelitian ini lebih menekankan pada konsepsi kebangkitan manusia yang diawali dengan kiamat, sebagai keterangan surat at-Taqwir dan surat insiqaq ayat 1-5. Surat-surat ini menegaskan bagaimana hebatnya hari kiamat itu. Matahari yang berguling jatuh dari tempatnya, bintang-bintang berterbangan terpelanting kesana-sini, gunung-gunung pecah belah dan lautan naik meluap kedaratan, serta kubur-kubur terbongkar dan terbalik sehingga menjadikan kosong didalamya. Ketika itu semua manusia mati ketakutan sehingga berkumpul-kumpul selamanya. Waktu itu rubuhlah bumi dan bertukarlah alam yang lama dengan alam yang baru yaitu alam akherat, sehingga semua manusia musnah dan semua alam rusak binasa dan tiada yang tinggal melainkan Allah sendiri-Nya.
Penelitian Etik Listiana Rahmawati (2007) dengan judul Konsep Hidup Sesudah Mati (kajian Komparatif Normatif antara Islam dan Kristen). Tiada tempat tinggal bagi seseorang yang akan dihuni setelah kematiannya, kecuali tempat tinggal yang telah ia bangun sebelum kematiannya. Jikalau membangunnya dengan kebaikan maka indahlah tempat tinggal itu, namun jika dibangun dengan keburukan dan bergelimangan dosa-dosa niscaya merugilah pemiliknya. Jika seseorang itu terlalu mencintai dunia, padahal ia tahu zuhud di dunia adalah dengan meninggalkannya. Maka tanamlah pokok ketaqwaan itu selama kamu mampu. Ketahuilah kamu akan menjumpainnya setelah kematian.
Sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pada arti dari kematian dan korelasi pemikiran tentang kematian menurut tokoh filsuf barat kontemporer yakni Martin Heidegger. Kedua karya diatas yang berkaitan dengan kematian akan memberikan inspirasi peneliti untuk mengetahui gambaran dimensi tentang alam kubur setelah menghadapi kematian dan itu merupakan tempat tinggal di alam akherat nantinya.
F.      Landasan Teori
Kematian dan kehidupan merupakan dua kaitan yang tidak bisa di pisahkan, kedua kata ini mempunyai arti tersendiri. Kedua kata itu terdiri dari kata dasar yakni “mati” dan “hidup”. Keduanya mempunyai arti tersendiri dan bukan merupakan lawan kata, karena kata “hidup” bukan lawan kata dari “mati”. Sebab kata “mati” merupakan lawan kata dari “lahir” dan pengertiannya lahir adalah awal kehidupan sedangkan, mati merupakan akhir dari kehidupan.[6] Hidup dan kehidupan diartikan berbeda, karena hidup merupakan keadaan suatu benda yang karena kekuatan zat Yang Maha Kuasa benda itu dapat benafas. Seperti misalnya fungsi paru-paru dan peredaran darah bagi manusia. Dan kehidupan merupakan serba-serbi daripada hidup itu sendiri, mulai dari lahir sampai nanti matinya suatu mahluk. Seperti halnya perkawinan dengan segala serba-serbi seperti peminangan, pertunangan dan perceraiaan.[7] Hidup sejati menurut Siti Jenar, tak tersentuh kematian, badan yang berupa tulang sumsum, otot dan daging, hanyalah perangkap bahwa hidup di dunia ini tersesat. Hidup yang sebenarnya itu tanpa raga. Justru, dengan adanya raga ini menimbulkan banyak persesatan, godaan, iblis, dan setan. Raga adalah krangkeng bagi diri atau jiwa.[8] Menurut Siti Jenar, hidup ini tanpa raga. Bila orang itu hidup maka hanya diri pribadinya yang ada. Tidak merasakan haus, lapar, dan lesu, yang ada hanyalah selamat dan bahagia. Jadi, orang orang yang hidup sekarang ini hanyalah menyiapkan diri memasuki kehidupan yang sebenarnya.
Hubungan antara jiwa/roh dengan tubuh merupakan dua kaitan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Keduanya mempunyai hubungan yang saling menguntungkan dan merupakan substansi yang berbeda. Ahmad Ali Riyadi, menjelaskan tentang hubungannya jiwa dengan tubuh,
Pertama,jasad merupakan bagian dari alam, tersusun dan terbentuk dari tanah dan tidak sempurna. Kedua,yakni jiwa, merupakan substansi inmaterial yang berdiri sendiri, berasal dari ‘alam al-amr, tidak bertempat, mempunyai pengetahuan yang mengetahui dan menggerakkan, mempunyai sifat dasar kekal dan diciptakan.”[9]
Melihat kehidupan sehari-hari, mati adalah keniscayaan. Orang dapat menyadari bahwa dirinya akan mati dan akan meninggalkan kehidupan di dunia ini. Banyak yang mengatakan, yang akan meninggalkan kehidupan di dunia hanyalah roh, jiwa, atau nyawa. Dan raga atau tubuh tetap ada dan kembali pada asalnya. Orang zaman dulu mengartikan mati dengan menghilangnya denyut nadi seseorang. Ada yang mengartikan dengan berhentinya detak jantung seseorang. Pengaruh dari majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, mati diartikan dengan mendatarnya safar pada otak seseorang. Jadi bila pengertian mati dengan hilangnya denyut nadi zaman dulu, mungkin di zaman sekarang ini orang itu masih hidup. Semua orang berkeyakinan bahwa mati adalah perginya “diri” atau jiwa meninggalkan tubuh jasmani yang hidup di bumi ini.[10] Kematian atau mati merupakan suatu fenomena yang harus disadari karena adanya realitas itu sendiri. Kesadaran dalam hal ini diartikan kesadaran akan… sesuatu, yakni kesadaran akan kematian. Kesadaran berdasarkan kodratnya bersifat intensionalitas; intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Karena kesadaran ditandai dengan intensionalitas, dan fenomena harus di mengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Kedua istilah intensionalitas dan fenomena ini erat kaitannya, untuk memahaminya menggunakan “konstitusi”. Dalam arti, fenomena-fenomena mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Adanya korelasi antara realitas dan kesadaran dapat dikatakan konstitusi merupakan aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas.[11]
Dalam bukunya Heidegger tentang Dialektika kesadaran Presfektif Hegel, menjelaskan tentang adanya kesadaran pengetahuan fenomenal yang menuju pada jalan setapak kesadaran alamiah ke arah ilmu, sehingga menyajikan diri sebagai pengetahuan yang sejati. Makna itu berkaitan juga dengan kesadaran akan kematian pada diri seseorang menuju pada Yang Maha Kuasa. Kesadaran itu akan menimbulkan kesadaran yang palsu di sepanjang jalan, dan jalan setapak ini merupakan jalan pemurnian jiwa menjadi roh. Jalan setapak ini dideskripsikan berjalan sejajar dengan fenomena-fenomena, maka ia adalah jalan setapak pengalaman. Dan jalan setapak pengalaman ini mengantar secara tahap demi tahap masuk dalam wilayah ilmu filsafat. Merujuk pada apa yang diyakini ada di hadapannya pada saat tertentu dengan keyakinan yang relatif. Keyakinan relatif ini mengarah pada pengetahuan absolut. Karena, apa yang menyajikan dirinya di hadapan kesadaran alamiah dengan nama pengetahuan fenomenal belaka, yang diduga menghasilkan pengetahuan yang sejati, yakni kemiripan belaka. Semua diyakini dalam filsafat bahwa fenomenologi Roh merupakan suatu intinerarium, deskripsi sebuah perjalanan dan membawa kesadaran sehari-hari menuju pada pengetahuan filsafat yang ilmiah.[12]
Dalam kaitannya kematian yang dijalani setiap mahluk ialah dengan perginya diri, jiwa, maupun roh meninggalkan tubuh jasmani yang hidup di bumi ini. Roh disini diartikan tidak ada kaitannya dengan tubuh atau pun jasad. Karena dua unsur ini memiliki sifat yang berbeda. Sifat pertama: tubuh membutuhkan roh untuk hidup. Sifat kedua: roh tidak membutuhkan jasad untuk hidup, karena roh bisa hidup dan berdiri-sendiri.[13] Menurut pendapat Socrates mengenai roh, bahwa roh merupakan unsur yang dapat berdiri-sendiri, dalam arti tidak tergantung pada zat yang lainnya. Roh memiliki sifat Ketuhanan, ia mulia dan tinggi, misalnya dalam pemerintahan ia laksana seorang raja yang memerintah, sedangkan tubuh adalah obyek yang diperintah. Badan bisa rusak sedangkan roh tidak bisa sekalipun ia berpisah dengan jasad. Kalau pada masa kehidupannya jasad sering melakukan kejelekan (tentunya bersama roh), maka nantinya roh yang akan menerima kesengsaraannya.[14]
Setelah nantinya manusia itu mati dan meninggalkan kehidupan di dunia, maka selanjutnya ia akan hidup di alam kubur, dalam arti alam barzah. Allah telah membagi kehidupan menjadi tiga tempat tinggal yakni, hidup di dunia, hidup di alam barzah dan hidup di alam akherat yang kekal abadi. Alam barzah merupakan rumah akherat yang pertama, manusia akan ditempatkan disana selama hari kiamat tiba guna merasakan nikmat dan azabnya alam barzah. Barzah berarti pemisah atau batas di antara dua benda, yaitu waktu sesudah mati dan sampai datangnya hari kiamat. Orang yang sudah mati, ruhul ma’ani-nya masuk dalam alam barzakh, disinilah tempat adanya pertanyaan, siksaan, serta nikmatnya kubur.[15]
Kematian dan kehidupan tidak dapat dihindari oleh semua mahluk dan harus menerima apa adanya. Seperti yang dimaksudkan oleh filsuf barat kontemporer yakni Martin Heidegger yang tidak lain seorang tokoh yang akan di bahas oleh peneliti dalam konteks kematiannya. Menurut Heidegger, manusia di dunia begitu saja tanpa tahu dari mana dan ke mana? Pernyataan itu bisa disebut juga dengan istilah faktisitas kenyataannya bahwa manusia bersifat niscaya. Manusia tidak pernah ditanya, apakah dia ingin hidup atau mati. Manusia “begitu saja”, “ada di sana” ada di dalam dunia. Dan Martin Heidegger menyebutnya sebagai “keterlemparan” (gowerfentienteit). Manusia tidak diakibatkan oleh diriya, malainkan ia muncul dari asalnya, yaitu terserah kepada dirinya, untuk meng-ada sebagai diri ini atau itu. Ia dilemparkan ke dalam keberadaan itu sebagai yang bertanggung jawab atas adanya dirinya yang tidak diciptakan dengan sendirinya itu.[16] Menurut Heidegger, kematian adalah merupakan segala kemungkinan kita dan kemungkinan itu yang kita sadari dalam arti memahami (verstehen) kematian itu sendiri. Kematian merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipatahkan dengan keberadaan kita sebagai manusia. Manusia tahu bahwa ia akan mati, dan kematian di sini bukan akhir dari kehidupan seperti halnya buku yang sampai pada penutupnya, yakni tamat. [17]
Manusia dapat dipahami hanya sebagai ada-di dunia, dan bahwa kebebasan yang dimilikinya merupakan kebebasan yang dibatasi oleh ruang hidupnya. Kebebasan itu sendiri merupakan pendirian mereka yang berbeda-beda. Mungkinkah kebebasan merupakan sesuatu yang tertinggi, sehingga manusia yang ada di dunia ini semata-mata demi kebebasan? Hal ini menyebabkan Sartre menyimpulkan bahwa hidup ini sesungguhnya bersifat ganjil (absurd). Menurut Heidegger, ingin menyumbangkan dualism ajaran Descartes sampai pada akar-akarnya; sementara itu Sarte mengembangkan dan menjabarkan seluas-luasnya. Dasar itulah memunculkan perbedaan yang menyangkut masalah kesadaran. Menurut Sartre kesadaran mempunyai arti yang sama, seperti yang diajarkan oleh Descartes. Sementara itu Heidegger menghindari pemakaian kata tersebut, karena didalam sejarah terlampau beraneka warna pengertian yang dikandungnya.[18]
Kematian pada hakekatnya berarti berpisahnya ruh dengan tubuh dan berubahnya keadaan semata-mata karena disiksa atau mendapat kenikmatan. Kematian dalam hal ini menurut pandangan agama, dirampasnya semua harta-hartanya dan diusir kealam lain yang tidak sesuai dengan alam dunia.[19] Terputusnya tindakan manusia dari tubuh sebagai alat yang dipakai dalam menjalani kehidupan di dunia, maka akan lupuh semua seluruh tubuh itu dan tidak bisa berfungsi sebagaimana sebelumnya. Banyak yang mengartikan kematian yang ditinjau dari sudut pandang agama berbagai macam pengertian. Hakekat kematian merupakan akhir ataupun kesimpulan dari pengertian kematian itu sendiri. Pandangan agama lebih menjelaskan kematian sebagai jalan menuju kehidupan ke-dua setelah di dunia. Kematian merupakan jalan dimana manusia telah berpindah alam dari alam yang sebelumnya kealam yang selanjutnya, yakni alam akherat.


G.    Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian bahasa inklusif atau analogal yang akan menjelaskan tentang arti secara implisif dengan mengekspresikan fakta dan arti nilai. Penggunaan metode ini mengacu pada tujuan penelitian yang akan mengungkapkan makna arti kematian tersebut.
2.      Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan buku-buku sebagai sumber data primer untuk mendukung penelitian tentang Konsep Kematian Menurut Martin Heidegger Menurut Pandangan Islam, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.       Data Primer
Penelitian ini menggunakan buku karya asli yang sudah diterjemahkan, bukunya adalah Heidegger, Martin. Dialektika Kesadaran Presfektif Hegel. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
b.      Data Sekunder
Karya-karya penulis lain yang berhubungan dengan pembahasan dan tentang karya dari penulis yang menjadi dasar pemikirannya. Data yang peneliti ambil dengan menggunakan studi pustaka atau literatur ini menyajikan tentang arti hidup dan mati. Serta memahami karya asli dari tokoh itu sendiri yang digunakan peneliti sebagai acuan dan ada kaitannya dengan kematian itu sendiri.
3.      Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan membaca semua buku yang ada kaitannya dengan kematian. Metode yang digunakan ialah studi literature maupun pustaka, maka pengumpulan data pun dilakukan dengan mencari buku-buku yang berkesinambungan maknannya dengan penelitian ini. Sumber data sekunder sebagai acuan untuk melengkapi data setelah data-data tersebut tersedia, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pembahasan dalam penelitian untuk mendapatkan sintesa yang akurat dan kesimpulan.
4.      Metode Analisi Data
Analisa data mengartikan bagaimana cara menafsirkan setiap hasil pengamatan yang telah dilakukan . Penafsiran itu berupa rangkaian kata yang natinya akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan. Analisa data dalam penelitian ini mengacu pada buku-buku yang telah dicari peneliti yang kaitannya dengan kematian. Tidak hanya itu, peneliti juga berusaha dalam mencari karya asli seorang tokoh yang menjadi pusat penelitian tersebut. Dengan cara itu akan menghasilkan analisa yang lebih koherensi dari makna satu dengan yang lainnya. Peneliti juga membandingkan penelitian ini dengan keyakinan. Agar dalam penelitian ini tidak terjadi kesalah pahaman dan pengartian makna tersebut. Yakni metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahasa inklusif dan mendekati hermenetuik atau penafsiran suatu makna. Agar dapat menghasilkan penelitian yang akurat dan mendalam serta dapat dipahami semua orang.








Daftar Pustaka

Ali Riyadi, Ahmad. Psikologi Sufi Al-Ghazali. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Chodjim, Ahmad. Syech Siti Jenar Makna “Kematian”. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Defgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.
Etik, Listiana Rahmawati. “Konsep Hidup Sesudah Mati (Kajian Komparatif Normatif antara Islam dan Kristen)”. Skripsi S1 Jurusan Ushuluddin STAIN Surakarta, 1987.
H.F. Ramaldlan, Abu. Terjemahan Duratun Nassihin. Surabaya: Mahkota, 1987.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Heidegger, Martin. Dialektika Kesadaran Presfektif Hegel. Yogyakarta: Ikon Teralita, 2002.
MZ, Labib. Kehidupan Manusia di Alam Akherat. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003.
Quraisyhab, M. Tafsir Al Syihab. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Sahirul, Alim. “Konsepsi Kebangkitan Manusia dari Kematian dalam Al Qur’an (Studi Tafsir Tematik)”. Skripsi S1 Jurusan Ushuluddin STAIN Surakarta, 2006.
Sholihin, Muh. Sambut Kematian dengan Tersenyum. Solo: Tiga Serangkai, 2009.
Syafi’ie, Inu Kencana. Filsafat Kehidupan. Jakarta: Bumi Aksara, 1945.



KONSEP KEMATIAN MENURUT MARTIN HEIDEGGER DALAM PANDANGAN ISLAM


logo iain.JPG


Dosen pengampu : Dra. Waryunah I, M. Hum

AWANG YULIAS SUPARDI
26.09.4.2.008


JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2011


[1] Muhammad Sholikhin, Sambut Kematian dengan Tersenyum (Solo: Tiga Serangkai,2009), h. 22.
[2] QS. Al Luqman [31]:34 juz 21.
[3] M Qurasyhab, Tafsir Al Syihab (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisus, 1980), h. 150.
[5]  ibid.
[6] Inu Kencana Syafi’ie,  Filsafat Kehidupan (Jakarta: Bumi Aksara, 1945), h. 5.
[7] ibid.
[8] Ahmad Chodjim, Syech Siti Jenar Makna “Kematian” (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 9.
[9] Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi Al-Ghazali, (Yogyakarta:  Panji Pustaka, 2008), h. 67.
[10] Ahmad Chodjim, h. 9.
[11] K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 112.
[12] Martin Heidegger,  Dialektika Kesadaran Presfektif Hegel (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002), h.28.
[13] Labib Mz, Kehidupan Menusia di Alam Akherat (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003), h. 61.
[14] ibid.
[15] Muhammad Sholihin, h. 153.
[16] Harun Hadiwijono, h. 156.
[17] Ibid, h.152
[18] Bernard Dewafgaauw, Filsafat Abad 20 terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), h.
[19]  Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin Jilid IX, terj. Moh. Zuhri, (Semarang: Asy Syifa’, 2003), h. 490.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar