Kamis, 17 November 2011

as syariyah


A.    Pendahuluan
Munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada beberapa factor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini mu’tazilah termasuk juga asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam arti khusus adalah mahzab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan mu’tazilah. Selanjutnya, term ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran sy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang aliran mu’tazilah. Harun Nasution dengan meminjam keterangan Tasy Kubro Zadah menjelaskan bahwa aliran ahlussunnah muncul atas keberanian Abu Al Hasan Al Asy’ari sekitar tahun 300 H.
Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah, dalam dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab dengan istilah ahl al Shunnah wa al Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif dapat disebut sebagai ahl al Shunnah wa al Jama’ah. Kemunculan madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi berbagai faham yang berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat menyebabkan Asy’ariyah disebut sebagai madzhab Ahli shunnah.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam Asy’ariyah adalah al-Qur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah ilmu kalam. Oleh karena dasar yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam maka muncul beberapa penilaian terhadap konsekuensi penggunaan ilmu kalam tersebut. Ada pun penilaian konsekuensi tersebut antara lain sebagai berikut :[1]
1. Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan.
2. Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah.
Karena menurut Asy’ariyah, hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan sebagian dari kalangan Asy’ariyah dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf didahulukan atau nash dibelokkan agar sesuai dengan kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku’.
B.     Pembahasan
1.      Sejarah perkembangan Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Al Hasan Al Asy’ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. bertepatan dengan tahun 935 M. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun.
Al Asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir yang melatarbelakangi Al Asyari meninggalkan faham mu’tazilah adalah pengakuannya telah bermimpi bertemu dengan Rosulullah sebanyak tiga kali, dimana Rosulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu’tazilah dan mmbela faham yang diriwayatkan dari beliau.[2]

Nama tokoh-tokoh aliran Asy’ariyah yang terkenal antara lain :
a.      Al Baqilani (wafat 403 H)
b.      Ibnu Faruak (wafat 406 H)
c.       Ibnu Ishak al Isfarani (wafat 418 H)
d.      Abdul Kahir al Bagdadi (wafat 429 H)
e.       Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H)
f.       Abdul Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H)
g.      Al Ghazali (wafat 505 H)
h.      Ibnu Tumart (wafat 524 H)
i.        As Syihristani (wafat 548)
j.        Ar Razi (1149-1209 M)
k.      Al Iji (wafat 756 H)
l.        Al Sanusi (wafat 895)

2.      Corak Pemikirannya
Adapun formulasi pemikiran Al asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodokx ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat reaktif terhadap mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M). dua corak pemikiran yang kalihatan berlawanan dari Al Asy’ari tetapi saling melengkapi;
a.       Berusaha mendekali orang-orang yang beraliran fiqh Sunni.

Sehingga orang-orang yang mengikuti alirannya sedikit mengalami kesulitan, karena banyak yang menfsirkan bahwa ia bermazhab Syafi’I, ada juga yang mengatakan bermazhab Maliki. Dan tidak luput juga mengatakan mazhab Hanbali. Dari sinilah semua orang yang mengikuti alirannya merasa kebingungan.
b.      Adanya keinginan untuk menjauhkan aliran-aliran fiqh.

Dua hal tersebut, merupakan akibat pendekatan diri kepada aliran-aliran fiqh sunni dan menyakini adanya aliran tersebut. Maka dari itu, Al Asy’ari berpendapat bahwa orang yang sedang melakukan berijtihat adalah benar.

Abul Hasan Al Asy’ari juga dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujasimah dan musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan daam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat , tetapi substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebut dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah. Selanjutnya Al asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

3.      Perkembangan Ijtihadnya dalam Masalah Akidah.[3]
a.      Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b.      Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
Al-Hayah (hidup), Al-Ilmu (ilmu), Al-Iradah (berkehendak), Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama' (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Kalam (berbicara).
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
Al Juwaini (419 478H/1028-1085M)
Imam Abul Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwayni an-Naisaburi, lahir tahun 419 H / 999 CE dari garis keturunan Arab kembali ke suku Tai. Al-Juwayni dikenal karena kecerdasannya, kefasihan, dalam belajar. Dia mulai mengajar setelah kematian ayahnya. Ia melanjutkan pemikiran dan mengikuti jejak al Baqilani dan Al Asy’ari dalam menjunjung kekuatan akal pikiran setinggi mungkin. Pada usai 20, ia mengajar di madinah dan mekah untuk melanjutkan pembelajarannya disana selama 4 tahun. Kemudian ia mendapat gelar “Imam al-Haramain” (Imam masjid 2 dari tanah suci). Beliau seorang ulama yang ahli di Ilmu Kalam dan menetapkan aqidahnya setelah tiga generasi utama. Tetapi sebenarnya keahlian beliau dalam ilmu fiqh. Dia juga menulis banyak buku yang beberapa di antaranya masih ada seperti, Ghayyath al-Umam (sebuah risalah Politik), al-Burhan (Fiqh Prinsip) dan Nihayatul Matlab fi Dirayatul Math-hab (Shafi'ee Sekolah). Karena pengetahuannya yang komprehensif murid-muridnya melebihi 400 dan diantaranya seperti al-Ghazali, al-Farawi, as-Suhami dan al-Masjid.
Pada tahap terakhir hidupnya ia menyadari bahwa esensi Islam yang sebenarnya adalah dalam perbuatan kata-kata, sudut pandang. Selain itu, ia menulis sebuah Nithamiyyah Disertasinya untuk mempertahankan dan mengungkapkan keyakinan kebenaran. Pada usia 59, setelah kehidupan yang berlimpah dalam penelitian, pendidikan, nasihat dan bimbingan, ia diserang penyakit parah yang akhirnya menyebabkan kematiannya pada tahun 478 H. Meninggalkan banyak sekali pemikiran dalam sejarah Islam, penuh dengan ilmu agama, kebenaran dan kesalehan.
1.      Akal dan pemikiran al juwaini
Menurut yang dinukilkan oleh Fauqiah, al-Juwaini melihat peranan akal cukup menentukan dalam masalah-masalah keagamaan. Al-Juwaini yakin dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal. Ia memandang dalil akal (al-adillah al-aqliyah) itu mutlak. Bahkan, menurut sebagian ahli, keyakinan al-Juwaini terhadap dalil-dalil pikiran itu merupakan suatu keyakinan yang membuatnya tampak tidak perlu bersandar pada syara’. Sepanjang dalil-dalil tersebut akan dapat menuntun dan membawa kepada apa yang ingin dicapai. 
Meskipun demikian, dalam masalah-masalah akidah, ia memandang bahwa cara yang tepat adalah bersandar pada dalil akal dan naql (nash wahyu) serta perpaduan antara keduanya. Karena itu, ia membagi dalil-dalil tersebut kepada dalil akal dan dalil tradisional (al-sam’iy). Tentang dalil akal, ia berpendapat bahwa pada diri dalil akal tersebut sudah terdapat petunjuk yang membenarkannya. Ia melihat dalil akal itu sebagai sesuatu yang perlu. Artinya, seseorang tak mungkin membayangkan bahwa dirinya akan terisolasi dari pengetahuan akal tersebut.
Keyakinannya akan dalil-dalil pikiran tampak jelas pada pandangannya tentang ilmu. Manusia akan yakin pada kekuatan dalil yang datang dari penggunaan akal. Sebab, keyakinan yang demikian akan memberi kemantapan jiwa. Dalam soal pengetahuan akal ini, ia berbeda dengan orang-orang yang mempertanyakan (meragukan) pengetahuan akal tersebut. Sebab, baginya, pengetahuan akal itu adalah perlu, demikian pula kebenaran yang dikandungnya adalah jelas. Oleh karena ia melihat bahwa penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan yang mantap, ia pun tiba pada pendirian, bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syara’. Alasan lain yang dikemukakan oleh al-Juwaini mengenai wajibnya penalaran tersebut menurut syara’ adalah karena penalaran akan membawa kepada pengetahuan tentang yang wajib, yang jika penalaran tersebut diteruskan, akhirnya tiba pada pengetahuan tentang Yang Wajib Wujud-Nya (Wajib al-Wujud), yaitu Tuhan. Sekali lagi dijelaskan di sini, bahwa dalam soal akidah, seperti penetapan keesaan dan wujud Tuhan, serta penetapan baru dan sifat-sifat Tuhan. Al-Juwaini tetap menggunakan dalil-dalil syara’, di samping dalil-dalil akal, atau menggunakan kedua pendekatan tersebut. Tentang sifat Tuhan menurut al Juwaini dibagi menjadi dua bagian:[4]
1.      Sifat Nasfiyah, yaitu sifat yang ada pada Tuhan tanpa ada cela.
2.      Sifat Ma’nafiah, yaitu sifat karena ada sifat nasfiyah.
Sifat-sifat Tuhan ialah, diantaranya:
a.       Wujud (ada)
b.      Baaqin (kekal/ada)
c.       Tidak ada yang menyamainya
d.      Tidak berukuran (imtidad)
Sifat-sifat Tuhan, yang tidak dapat disaksikan, tidak dapat diketahui, kecuali melalui alam yang kita saksikan. Ia mengemukakan soal yang dapat berlaku pada kedua alam tersebut, yaitu:
1.      Pertalian celah dengan ma’ul, misalnya pengetahuan (ilmu) menjadi celah seseorang untuk mengetahui.
2.      Peralihan syarat dengan masyrut, misalnya hidup menjadi syarat seseorang untuk tahu.
3.      Hakikat atau tabiat, misalnya hakekat orang yang mengetahui adalah orang yang mempunyai ilmu (pengetahuan).
4.      Dalil: kalau suatu dalil  mengharuskan akal untuk menujukkan sesuatu pada alam lahir, maka dengan demikian alam yang bukan lahir, seperti penciptaan menunjukkan adanya penciptanya.
C.    Penutup
Dengan demikian al juwaini membuktikan wujud Tuhan dengan wujudnya mahluk. Dari yang disebutkan diatas kita mengetahui bahwa, semua persoalan yang berkaitan dengan kepercayaan telah diuraikan atas dalil akal pikiran dan dalil naqal. Dengan pemikiran tersebut ia menduduki tempat yang terpenting dalam sejarah ilmu kalam, disamping kedudukannya sebagi guru dari Imam besar Al Ghazali.
Daftar Pustaka
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Islam. (Bulan Bintang, Jakarta, 1975). Hal. 54-55.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang. Jakarta:2001.

Tokoh Asy ‘ariyah
Al Juwaini (419-478H/1028-1085M)

LOGO



Dosen : Drs. H. Amir Gufron, M.Ag

Disusun Oleh :
Awang Yulias Supardi                        : 26.09.4.2.008
Farid Hermanto                                   : 26.09.4.2.009


AQIDAH FILSAFAT
USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


[2] Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang. Jakarta:2001.
[3] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Islam. (Bulan Bintang, Jakarta, 1975). Hal. 54-55.

[4] Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang. Jakarta:2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar