A.
Pendahuluan
Berbicara masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya,
seberapapun lamanya tidaklah cukup untuk membahasnya. Mengingat begitu banyak
sekali kajian-kajian Islam berikut pemikiran-pemikiran para tokohnya yang telah
berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat Islam.Dalam
kajian ini penulis akan membahas tentang tokoh yang monumental diabad kedua
puluh, yaitu Muhammad Iqbal. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi dan
dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual dan cendikiawan muda yang
haus akan ilmu pengetahuan.
Dr. Mohammad Natsir didalam bukunya Kapita Selekta
mengungkapkan bahwa Iqbal telah membangkitkan semangat rakyat dengan memompa
kepercayaan diri ('Izzatunnafs) sambil beliau menyitir sebuah sajaknya
dengan tema Khudi (pribadi) sebagai berikut:[1]
Khudi
ko kar buland itna keh har taqdir se pahley
Khuda
bandey se khud puchhey bata teri raza kia hai.
"Binalah
pribadimu demikian hebatnya sehingga sebelum Tuhan menentukan taqdirmu
Dia
sendiri akan mengarahkan Tanya padamu: Apakah yang kau kehendaki yang
sebenarnay".
1. Biografi Singkat
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah
di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/ 2
Dzulqa'dah 1294 dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Ia terlahir dari keluarga
miskin, tetapi berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah menengah
dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan
dasarnya selesai di Sialkot ia masuk Government College (sekolah tinggi
pemerintah) Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas
Arnold. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta
dua medali emas karena baiknya bahasa inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia
mendapatkan gelar M.A dalam bidang filsafat.[2]
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga
sejak masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh
Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya. Pendidikan dasar sampai tingkat
menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan
Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan
mengajukan tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya
dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat
menjadi pengacara.
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya
dikatakan bahwa gagasan-gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh
pemikir-pemikir sebelumnya. Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris.
Pada masa ini pemikiran kaum muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi
oleh seorang tokoh religius yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad
Khan. Keduanya adalah sebagai para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa
kaum muslimin tengah menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam
mendapat tantangan serius dari Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir
di India ini mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga
sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris dan bahkan pada tahun
1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris
bertanggungjawab atas pemerintah imperium India.[3]
2. Karya-karya
Muhammad Iqbal
Adapun karya-karya Iqbal diantaranya adalah:
Bang-i-dara (Genta Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur),
Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia
Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan
Tongkat Nabi Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang
Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap
Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment of
Metaphyiscs in Persia, Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in
Islam Ilm al Iqtishad, , A Contibution to the History of Muslim Philosopy,
Zabur-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan
Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri)[4]
B.
Pemikiran
Muhammad Iqbal
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika
Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa
pemikiran yang fundamental yaitu intuisi, diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal
sangat berpengaruh di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan
dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.
Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, yang
diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa
literature-literatur yang beredar luas, justru dia adalah sebagai negarawan,
filosof dan sastrawan. Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang
gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji,
pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah
yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan
dunia timur ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai
agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.[5]
Dengan latar belakang itu pula maka dalam makalah ini
penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya
tentang politik dan tentang Islam.
1. Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia
politik dan bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia
terpilih menjadi anggota legistalif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai
Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin
harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah kerajaan Inggris
di London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak
terjang Iqbal[13] di bidang intelektual dan
politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari kerajaan inggris atas kemampuan
intelektualitas dan memperkuat bargening position politik perjuangan
umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang
pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day.
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam
ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia
memandang bahwa tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh
persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya
ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia
lontarkan keberbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat
dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah
(yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan
didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak
saat menghadapi front melawan Inggris.[6]
Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas
republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salat satu
republik itu.[7]
Sebagai seorang negarawan yang matang tentu
pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal,
budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh
dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat.
Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati
dirinya. Dengan pemahaman seperti itu yang ia landasi diatas ajaran Islam maka
ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap umat Islam dan identitas
keislamannya. Umat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya
Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu
imperialis.
Muhammad Asad[8]
mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan umat Islam kepada Barat
baik secara personal maupun social dikarenakan hilangnya kepercayaan
diri, maka pasti akan menghambat dan menghancurkan peradaban Islam.
Diantaran paham Iqbal yang mampu mambangunkan kaum
muslimin dari tidurnya adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya
terhadap umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup
adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeeru kepada
umat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai
gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-lah orang kafir yang aktif kreatif
"lebih baik" dari pada muslim yang "suka tidur".[9]
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih
menentang nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras).
Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang
bebas dan jauh dari sentiment nasionalisme.
M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure
of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya:
Didalam
agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah,
dan fitrat suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan
oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak
kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal
perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika
amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak
terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang
disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai
"negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar
kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang
yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan
seperti itu.[10]
Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa dalam Islam; politik
dan agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua
keseluruhan yang tidak terpisah.
Dengan
gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal
dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami
dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu dapat dirasakan
kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kedirian inilah yang pada
akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
2. Pemikirannya Tentang Landasan Islam
a. Pemikiran Tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat
memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat
Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an
Is a book which emphazhise deed rather than idea (Al-Qur’an adalah
kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat
bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran
Al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak
pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia
yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an
tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk
mengembangkannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam
pandangan Iqbal sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu
Al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan
progresif. Oleh karenanya, walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk
memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani
mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan
yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka
ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[11]
Iqbal juga mengeluh tentang ketidak mampuan masyarakat India
dalam memahami Al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah
mengimpor ide-ide India (hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal
begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis
dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena
berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat
manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan
legalita kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan
nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan
terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut
menurut Iqbal Al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mengajarkan
keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa mebeda-bedakannya. Baginya antara
politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang
dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan
diri dari India yang mayoritas Hindu.
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah bahwa
ia sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur'an
dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran
pada manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol. Iqbal
menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: "Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (Qs.
30:22)
b. Pendapat tentang Al-Hadits
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi
mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi
sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal
ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari
prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang
hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan
kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu
juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat.
Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan
social bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi
peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk
generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari
pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak
mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan
kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan,
karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun
sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang
tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka.
c. Pandangannya Tentang Ijtihad
Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an
independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk
suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang
baik hadits maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut.
Disamping ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan
ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan
dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan
masyarakat yang muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab).
Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan
yaitu:
1)
Otoritas
penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas
pada pendiri mazhab-mazhab saja.
2)
Otoritas
relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab
3)
Otoritas
khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu,
dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja.
Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh
ulama ahl-al-sunnah tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak
berdirinya mazhab-mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang
hampir tidak mungkun dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil
dalam suatu system hukum Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.
Akibatnya ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima
ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang[12].
Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah
teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja.
Demikian juga ijma hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam
konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma
tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya
kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun
statis tidak berkembang selama beberapa abad.
C.
Penutup
Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan telah
melahirkan pemikiran dan peradaban besar bagi generasi setelahnya . Iqbal
merupakan sosok pemikir multi disiplin. Ia adalah seorang sastrawan, negarawan,
ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang
multidisiplin itu, pak Natsir mengatakan "tentulah sukar bagi kita
untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak
saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui".[13]
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan
manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan
tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan
kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum islam memberi jawaban yang
cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini? Dengan tepat Iqbal
menjawab “bisa kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir Umar
bin Khattab”.
Akhirnya, tidaklah lengkap rasanya menulis tentang Iqbal
tanpa menutupnya dengan salah satu syair nya berikut ini:
Apakah
kamu berada dalam tingkat "kehidupan", "kematian", atau
"kematian dalam kehidupan"?
Memanggil
tiga saksi untuk memberitahu dimana tempat "perhentianmu".
Saksi
pertama adalah kesadaran batinmu sendiri-
Lihat
dirimu sendiri dengan cahayamu sendiri.
Saksi
kedua adalah kesadaran ego yang lain-
Lihat
dirimu, lalu sinar ego yang lain daripada milikmu
Saksi
ketiga adalah kesadaran Tuhan-
Lihat
dirimu, lalu dengan cahaya Tuhan,
Jika
kamu berdiri tidak bergerak di depan cahaya ini,
Anggaplah
dirimu sendiri seperti hidup dan abadi layaknya Tuhan!
Bahwa
manusia sendiri adalah sejati yang berani-
Berani
untuk melihat Tuhan berhadapan muka!
Apakah
"Mi'raj"? Hanya pencarian seorang saksi
Yang
akhirnya dapat menegaskan realitasmu-
Seorang
saksi yang dengan kesaksiannya membuatmu abadi.
Tak
seorangpun dapat berdiri tanpa bergerak oleh keberadaannya;
Dan
dia yang dapat, sesungguhnya, dia emas murni.
Apakah
engkau hanya butiran debu semata?
Ketatkan
simpul egomu;
Dan
pegang cepat makhlukmu yang kecil!
Betapa
cemerlangnya memancarkan ego kita
Dan
menguji kilauan ini dari keberadaan Matahari!
Bersihkan
ragamu yang lama;
Dan
membangun makhluk baru.
Suatu
makhluk yang sesungguhnya;
Atau
egomu hanyalah gumpalan asap semata![14]
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998
Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th.
2003
H.A
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung,
Mizan 1998, Cet. III hal.174.
Harun,
Pembaharuan dalam Islam, hal 185 dan W.C. Smith, Modern Islam in India (Lahore
: Ashraf, 1963)
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.
2003, cet. XIV
Ishrat Hasan Enver, Metafisika
Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th. 2004
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta; Lazuardi, cet. 1, th. 2002
M.
Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta,
cet. 2 th. 2008
[1]
M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan
Yayasan Kapita Selekta, cet. 2 , th. 2008, hal. 138-139
[2] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan
Pakistan, Bandung, Mizan 1998, Cet. III hal.174.
[3] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam,
Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal.51
[4] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, cet. 1, th. 2004, hal. 128
[5] Didin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, hal. 44
[6]
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan
Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998,
hal. 168-170
[7] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, th. 2003, cet. XIV, hal 186
[8]
Nama asalnya adalah Leopold Weiss, lahir di kota Livow
(Austria) pada tahun 1900 dan wafat tahun 1992. Pada umur 22 tahun ia
mengunjungi Timur Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari
harian Frankfurter Zeitung. Pada tahun 1926 ia memeluk Islam dan
beberapa tahun mempelajari Islam. Setelah itu ia bekerja di berbagai dunia
Islam dari Afrika Utara sampai Afghanistan di bagian Timur. Ia termasuk
intelektual muslim terkemuka abad 20. Karya-karyanya antara lain: Islam in
the Cross Roads (Islam di Persimpangan Jalan), Road to Mecca (Jalan
ke Mekah) dan The Principles of States and Government in Islam (Asas-asa
Negara dan Pemerintahan dalam Islam, serta sebuah kitab tafsir dengan nama The
Message of the Qur'an. (Muhammad Asad, Asas-asas Negara dan Pemerintahan
dalam Islam (terj. Muhammad Radjab), Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H,
halaman sampul.
[9] Harun, Pembaharuan dalam Islam, hal 185 dan W.C.
Smith, Modern Islam in India (Lahore : Ashraf, 1963) hal. 111
[10]
Natsir, Kapita Selecta, hal. 147
[11]
Harun, Pembaharuan Dalam Islam,hal. 185
[12]
Harun, Pembaharuan Dalam Islam,hal. 185
[13]
Natsir, Kapita Selecta, hal. 146
[14] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam,
Jogjakarta,Penerbit Lazuardi, cet. 1, th. 2002, hal. 280-281.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar