KONSEP AJARAN
MANUNGGALING KAWULA GUSTI MENURUT SYEKH SITI JENAR
- PENDAHULUAN
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak
menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik,
seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara
pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan
"ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang
ketat, dan menekankan pada konsep "keseimbangan".
- PEMBAHASAN
1. RIWAYAT
SYEKH SITI JENAR
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348
C/1426 M dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yang
sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu
lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan
serta peradaban berbagai suku.
Syekh Siti Jenar memiliki nama kecil San Ali dan
kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil merupakan putra seorang ulama asal
Malaka. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina
Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yang ada,
diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah
Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin
dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh
adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman
politik di Kesultanan Malaka pada akhir tahun 1424 M.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta
istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam
kandungan ibunya 3 bulan. Setelah itu San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil
diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran
Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk
Kahfi. Saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh
seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah menjadi salah
satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf.
Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh
hati, disertai pendidikan otodidak bidang spiritual.
2.
AJARAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI
Dalam
ajaran Kejawen ada istilah “Manunggaling Kawula Gusti”. Hal ini sering
diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan
bahwa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun)
yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), atau (emanasi,
pancaran) Tuhan. Konsep
dan ajaran Kenetralan sebagian
atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial
terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta
tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan
manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum
sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan
abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di
dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum
negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang
ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran
Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang
lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru
akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti
Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam “budi”.
Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip
dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah
perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang
berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Adapun ajaran yang diberikan oleh Syekh Siti Jenar,
berupa:
1. Syariat,
dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
2. Tarekat,
dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan
tertentu,
3. Hakekat,
di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
4. Makrifat,
kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan
tersebut, maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang
bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun
setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman
dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat
awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya
masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh
memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label
sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila
harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa
pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja
masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan menjalankan
ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing
pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agama
yang dianutnya adalah yang paling benar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar
seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah.
Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.
3.
KEMATIAN SYEKH SITI JENAR
Dalam ajarannya ini, para muridnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar
tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling
Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari
roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia.
“Ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad:
71-72”
Dengan demikian, roh manusia akan menyatu dengan roh
Tuhan ketika terjadi penyembahan terhadap Tuhan. Perbedaan penafsiran ayat
Al-Quran dari para murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa
di dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan.
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk
menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang
kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana
Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu
antara kelima wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar,
kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa
meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan
yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti
Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya,
serentak keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki
Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan
cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
- PENUTUP
Pada
dasarnya ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini bersadarkan iman tauhid
seseorang dalam keyakinannya. Sebenarnya ajaran tauhid yang diberikan oleh
syekh siti jenar tidak sesat, hanya saja dalam mempelajarinya bukan sembarang
orang bisa mempelajari dan mengamalkannya, melainkan dengan penuh keteguhan
hati dan keyakinan iman dalam diri yang kuat tanpa tergoda dengan keindahan
dunia. Dengan kata lain orang itu harus bisa memiliki ilmu ikhlas yang
mendalam, dalam mempelajari aliran Manunggaling Kawula Gusti disini.
Daftar
Pustaka
Purwadi.
Tasawuf Jawa, Yogyakarta: Narasi. 2003.
Simuh.
MIstik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita, Jakarta: Universitas
Indonesia-Press. 1998
Chodjim,
Ahmad. Syekh Siti jenar, ‘Makna kematian’, Jakarta: Srambi Ilmu. 2002
KONSEP AJARAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI MENURUT SYEKH SITI JENAR
KONSEP AJARAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI MENURUT SYEKH SITI JENAR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah
MISTISISME ISLAM JAWA
Dr. H. Umar Ibrahim, M. Ag
Disusun Oleh:
AWANG YULIAS SUPARDI
KHOIRUN NISA’
NASRUDIN
AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar