Sains Berparadigma Baru
Tentang Tuhan
A.
PENDAHULUAN
Islam sering kali diberikan gambaran
sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Islam juga dikatakan tidak
menggalakkan umatnya menuntut dan menguasai berbagai lapangan keilmuan.
Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan saja tidak benar tetapi
bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya.
Sejarah telah membuktikan betapa dunia
Islam telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat
dalam bidang falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan, dan sebagainya. Salah
satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan
Islam
ialah mereka tidak sekedar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda,
tetapi dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara
bersamaan. Dalam situasi yang dikuasai oleh arus pemikiran tersebut, dapat terjadi
arus balik secara terang-terangan menabrak arus yang sedang bergerak. Pada
hakekatnya merupakan implikasi dari sains yang berparadigma baru tentang dunia
sains dalam membangun sebuah tradisi ilmiah yang kemudian menimbulkan sebuah
problema metafisik dan ketuhanan.
Ketertinggalan dan kelemahan bangsa-bangsa Muslim
tersebut terbukti semakin membelenggu kemerdekaan dan kemandirian bangsa-bangsa
muslim baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya, sejak era kolonialisme-imperialisme
sampai ini era postkolonialisme kini. Dampak ikutan lainnya ialah ketika
filsafat dan paradigma sains-teknologi modern, yang dikembangkan dunia Barat
dan Timur Non-Islam itu, ternyata telah membawa juga ekses negatif dalam pola
pikir dan budaya, kerusakan di bidang lingkungan hidup dan tragedi kemanusian
secara global.
B.
PEMBAHASAN
1. Tokoh
Sains dalam Islam
Salah satu tokoh terkemuka sainstis dari dunia Islam
di akhir abad 20 yang sangat memprihatinkan kondisi sains-teknologi umat Islam
ini adalah Prof. Dr. M. Abdus Salam (wafat 21 November 1996 dalam usia 70
tahun). Menurutnya pengakuannya ada beberapa hal yang menyebabkannya begitu
mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan di dunia
ke-tiga (yang mayoritas adalah bangsa-bangsa Muslim). Hal itu: pertama, karena
ia adalah seorang muslim. Baginya persaudaraan sesama Muslim sangatlah penting,
dan yang kedua karena sejak usianya yang masih muda ia sudah terlibat dalam
kerangka kerja PBB.
Yang harus
mendapat perhatian adalah jurang perbedaan antara Utara dan Selatan, atau
negara maju dan negara berkembang. Kedua belah pihak memiliki masalah yang
berbeda. Negara-negara Utara menghadapi ancaman perlombaan senjata dan perang
nuklir, sedangkan Selatan menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan yang
akut. Masalah ini timbul, menurut Abdus Salam, karena satu pihak memiliki jalur
ilmu pengetahuan sedangkan yang lainnya tidak.
Kunci
permasalahannya adalah harus ada pemerataan ilmu pengetahuan secara adil. Bukan
sekedar alih teknologi. Menurut satu-satunya Muslim pemenang hadiah Nobel
bidang Fisika ini, teknologi hanyalah aplikasi pengetahuan ilmiah terhadap
masalah-masalah manusia. Keliru kalau ada asumsi bahwa alih teknologi akan
dapat menyelamatkan dunia ketiga. Dunia ketiga seharusnya lebih meminta alih
atau merebut ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang dapat menumbuhkan teknologi
sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang asli dan domestik.
Abdus
Salam memberi contoh Jepang misalnya. Bertahun-tahun lamanya mereka menyerap
ilmu pengetahuan dasar dari dunia Barat. Sekarang kita dapat melihat bagaimana
Jepang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Kecenderungan yang sama tengah
berlangsung di Brazil, Korea Selatan, India, Argentina dan Cina.
Abdus
Salam adalah fisikawan Muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang
pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima
gaya dasar yang berperan di alam ini, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya
gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam
inti, serta gaya (arus) lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap
lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama
berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil
dan postulatnya yang berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya
dirumuskan oleh trio Abdus Salam, Seldon Lee Glashow dan Steven Weinberg dalam
terorinya “Unifying the Forces.” Menurut teori yang diumumkan 1967 itu,
arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing
memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang
melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi
tiga partikel telah dibuktikan secara eksperimental tahun 1983 oleh tim riset
yang dipimpin oleh Carlo Rubia, direktur CERN (Centre European de Recherche
Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata rintisan Abdus Salam itu kemudian
mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi
mutakhir seperti Grand Unifying Theori (GUT) yang dicanangkan ilmuwan AS
dan Theory Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah para
fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia
penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
2.
Keberadaan
Tuhan Menurut Saintisisme[1]
Para
ilmuan memberikan tanggapan yang berbeda tentang sains dan dalam menanggapinya
berbagai macam pendapat tentang alam semesta dan keindahannya. Bahkan mereka
pun mempunyai firasat bahwa alam semesta itu terlalu sederhana untuk
diterangkan sebagai sebuah realitas yang didalamnya berlangsung interaksi
bersifat kebetulan saja. Dari berbagai definisi, persepsi dan tolok ukur
mengenai keindahan dari satu mesyarakat ke masyarakat lain berbeda, namun tetap
konsensus terhadap apa yang disebut sebagai keindahan, keelokan atau segala
sesuatu yang meninggalkan pesona, lebih sering dapat dicapai kesepakatannya.
Keindahan ini menjadi faktor intuitif yang penting yang menunjukkan adanya
Tuhan. Kita semua pasti pernah terpesona dengan keindahan matahari yang
terbenam, keelokan gunung-gunung yang dilatari oleh langit biru, atau gerhana
matahari yang diselimuti dengan suasana mistis. Demikian pula menyaksikan alam
semesta ini yang begitu cantik, serba teratur, yang mampu memelihara dirinya
sendiri dengan mengatasi berbagai gangguan lewat hukum-hukum fisikanya yang
sederhana tetapi berlaku universal. Tidak mengherankan apabila banyak orang
yang berintuisi akan adanya sang arsitek dari kosmos ini.
Harus
diakui bahwa segala argument mengenai keindahan, keteraturan, dan kebesaran
dari alam semesta ini pada dasarnya belum begitu meyakinkan untuk membuktikan
adanya Tuhan. Meski demikian semunya tetap mengisyaratkan akan suatu kekuatan
yang begitu superior dalam diri manusia dan segala sesuatu yang ada disekitar
manusia. Bagaimana pun juga pendekatan intuitif dapat dijadikan titik pijak
untuk melangkah lebih jauh.
3.
Tuhan-Pencipta
Menurut Para Ahli Sains
Paham
tentang Tuhan-pencipta ini bisa dilihat dalam masalah asal mula alam semesta
dan batas-batas metodologi sains. Pada abad 20, sains bercirikan pada
determinisme, yang mana abad ini nampak adanya dua posisi yang dominan.[2]
Pertama, bila hipotesis Tuhan tidak diabaikan. Bagian ini para ilmuan
cenderung menyamakan Tuhan dengan tukang arloji, yang mempertanggung jawabkan
aturan-aturan tertentu yang dalam arloji (alam semesta). Posisi Tuhan hanya
sebagai pengamat atau penonton saja tanpa adanya daya inofatif dan yang
berlangsung berdasarkan suatu proses yang mutlak. Kedua, jika hipotesis
Tuhan ditolak. Penolakan ini dikarenakan adanya pendapat bahwa materi bersifat
kekal dan mutlak. Seperti yang dijelaskan oleh Engels, bahwa materi
tetap tinggal untuk selama-lamanya ditengah semua transformasinya, dia tidak
bisa kehilangan satu pun dari semua atribut-atributnya. Teori ini bisa
diintegrasikan dalam konsepsi kuno tentang suatu alam semesta yang kekal dan
siklis, dan yang menciptakan dirinya sendiri.
Kedua
paham tersebut mampu menjadikan adanya ciri khas bagi ahli sains, dimana kata
Tuhan menunjukkan dunia sendiri misalnya dalam istilah Roh Utama, Realitas
dalam dirinya sendiri, Alam, Kesadaran. Gnose dari Princeton adalah salah satu
contoh tipikal dari kecenderungan yang ekstrim tersebut.
Terdapat
sejumlah ilmuan yang memunculkan secara eksplisisif tentang asal mula kosmos, dalam arti suatu permulaan waktu
tertentu. Gagasan tentang sesuatu permulaan yang mutlak tersebut terdapat
diluar sains dan tidak dapat dijangkau oleh akal. Beberapa ilmuan Hawking
misalnya, menambahkan bahwa: “selama kosmos mempunyai suatu asal mula, kita
boleh mengandaikan bahwa kosmos itu mempunyai seorang Pencipta.”
Disisi
lain beberapa ilmuan ingin menghindari suatu paham yang sangat religious
seperti ilmuan sebelumnya. Mereka berpaling pada gagasan yang “samar samar
kuantik”, tetapi pembuktiannya tentang alam semesta mengalami ketidakpastian.
Karena alam semesta yang tidak bisa diukur dan dideskripsikan gerakannya
sebagaimana mengukur gerak atom secara pasti. Walaupun menggunakan alat yang
sangat canggih sekali pun, karena ketidakpastian tersebut terikat pada kegiatan
pengukuran itu sendiri.
C.
PENUTUP
Berbagai
pendekatan untuk memahami femomena keberadaan Tuhan, secara ,meyakinkan
dijelaskan berbagai fakta dan data yang terus mendesak dari berbagai sudut-dari
yang bernada intuitif dan terlepas dari uraian yang begitu mempesona yang baru
saja kita bahas. Jadi menurut para sains menjelaskan Tuhan-Pencipta tidak
serupa sebagaimana menjelaskan gerak atom yang dapat dideskripsikan geraknya.
Argument teologis secara gambalang menjelaskan Tuhan, bahwa secara tidak kita
sadari kita sudah mengakui bahwa Tuhan itu ada dan yang menciptakan alam
semesta ini. Dengan keindahan, keelokan dari alam itu sendiri yang tidak bisa
dijelaskan secara pasti walaupun menggunakan alat yang sangat canggih. Karena
pada dasarnya kemampuan manusia yang sangat terbatas dan akal yang tidak bisa
menjangkau akan keberadaan Tuhan itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Leahy,
Louis, Jika Sains Mencari Makna, Yogyakarta: Kanisius. 2006
Ahwani,
Ahmad Fuad al, Filsafat Islam. Pustaka Firdaus. 1996
Sains Berparadigma Baru
Tentang Tuhan
Tugas ini disusun guna memenuhi
matakuliah
Perkembangan Teologi Modern
Dosen pengampu: Drs. H. Kasmuri, M. Ag
Disusun oleh:
Awang Yulias Supardi
Khoirun Nisa’
Siti Munirotun Na’im
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar