PENDAHULUAN
Aliran
kebatinan merupakan agama orang jawa yang bersifat mistis selain agama yang
diakui oleh pemerintah. Aliran ini disamakan dengan kepercayaan masyarakat yang
menganggap bahwa agama yang terdapat di Indonesia selain yang sudah diakui oleh
pemerintah.
Konsep
mistisisme jawa dalam hakikat tujuan hidup manusia adalah mencapai penghayatan Manunggaleng
Kawulo Gusti (bersatu dengan Tuhan). Yaitu Tuhan imanen dalam diri manusia
dan bersemayam dalam diri manusia. Maka dengan demikian dapat di katakana juga
bahwa ajaran mistisisme jawa mengarah pada manunggaleng kawulo gusti.
Kata
“kawulo gusti” termasuk kata kunci dalam ajaran kejawen. Manusia harus bersikap
dhepe-dhepe, mendekat pada Tuhan (supadjar, 2001: 277). Dengan jalan ini akan
mencapai tingkatan jumbuh antara kawulo dan gusti. Jadi ada titik temu yang
harmonis antara manusia dengan Tuhan. Manusia merasa seakan menghadap Tuhan
melalui batin. Hal menunjukkan bahwa mistik kejawen adalah pengetahuan
metafisika terapan yang bersifat transcendental didalamnya trdapat
aturan-aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin manusia yang didasarkan
pada analisis intelektual. Karena itu, praktek mistik dilandasi dengan
kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung atau bahkan
bersatu dengan Tuhan (kesunyatan agung) melalui tanggapan batin di dalam
meditasi.
Tujuan
hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan. Persatuan kawulo gusti dapat
dilakukan di dunia dengan jalan menekung, yaitu mengucapkan kata-kata atau
ungkapan kawulo gusti. Namun persatuan yang lebih sempurna adalah setelah
manusia mati. Jika manusia mampu manunggal, ia akan “sakti” maksudnya
dengan kaitan ini. Tuhan tetap theis, bukan kosong atau awang-uwung atau
manusia itu sendiri. Tuhan tetap Tuhan, begitu pula manusia.
Kalau
boleh disamakan antara mistisisme jawa dengan tasawuf sangat dekat sekali,
tasawuf sering disejajarkan dengan mistisisme. Bahkan ada juga yang menyebut
mistik islam kejawen. Tasawuf merupakan bentuk mistisisme islam seperti yang
dikatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang berjudul “Falsafah
dan mistisisme dalam islam” dan yang mana oleh kaum orientalis barat disebut
dengan istilah sufisme. Kata sufisme dalam islam orientalis barat khusus
dipakai untuk mistisisme islam. Dan sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang
terdapat dalam agama-agama lain. Dan tasawuf ini berupaya agar hati manusia
menjadi benar dan lurus dalam menuju Tuhan. Adapun tujuan yang hendak dicapai
dalam mistisisme jawa itu sendiri yaitu pada upaya pendekatan diri pada sang khalik
(Tuhan), tetapi ada juga pada alur pikir yang melandasi jalan mistik yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan mistik tersebut.
Adapun
tahapan-tahapan yang dilalui dalam mistisisme jawa merupakan latihan kejiwaan
dan kebersihan rohani menjadi syarat utama. Oleh karena itu perlu dihindari
berbagai macam sikap-sikap tercela serta mengutamakan budi luhur, berbuat baik
dengan mengekang hawa nafsu. Kontemplasi ini dilakukan dengan melalui aktivitas
sujud, meditasi atau cara berdzikir. Penghindaran atau pengambilan jarak dari
dunia materi (distansi) pada mistisisme jawa dilakukan dengan asketik, tapa
brata, mengurangi dahar dan guling (makan, minum, dan tidur) puasa pati geni
dan ain-lain yang bertujuan untuk mensucikan batin, dengan cara melemahkan
jasmani yang istilahnya dalam islam kejawen itu “nutupi babahan howo songo”
yang ada dalam tubuh manusia.
Manunggaling Kawula
Gusti dalam ajarannya Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini
disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai
kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya,
ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan
lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana
ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran
Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang
lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru
berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar
juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi.
Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan :
1.
Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat
dll)
2.
Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam
waktu dan hitungan tertentu.
3.
Hakekat, dimana hakekat
dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.
4.
Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan
berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya
ditiadakan.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama
pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar. Syekh
Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip
ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga
atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula
Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti
Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa
Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah
bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai
dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia "Ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya” (QS.
Shaad; 71-72) Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala
penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Adapun ajaran tentang Manunggaling Kawula Gusti,
mengajarkan tentang beberapa hal yakni:
1. Hati dan pikiran manusia yang tidak
sama, yakni pengetahuan manusia tentang “dirinya
sendiri” masih sangat dangkal daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan
Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih
baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada
manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
2. Untuk menggali
kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya
sejati berarti berserah diri dan melepaskan nafsu ingin memiliki akan kemauan
sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya
memuliakan nama-Nya.
3. Niat berserah diri
atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng
atau diam terpusat di hati. Hati yang rileks melepaskan semua ketegangan tubuh
dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dan dilakukan
secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, sehingga batin
menjadi wening (jernih). Rasa hati wening ini menumbuhkan
kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati
sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan
Sang Pencipta dan dapat diartikan sebagai makna kebatian.
4. Kesadaran Manunggaling
Kawula Gusti, berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam
hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta
; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas
segala kesalahan (yang sering membuat hatinya tertekan). Relasi spiritual Kawula
Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining
gesang (menghargai makna kehidupan). Sikap ini membuahkan relasi welas
asih sejati dalam persaudaraan.
5. Laku batin mutlak
harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi
pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak
menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak
hanya dipikirkan. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat
diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Misalnnya, untuk memperoleh
prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat
menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan
senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan tanpa memaksakan
pikiran, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.
6. Sikap percaya dan
berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan
kewajiban. Ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya
akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati
sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih,
maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan
dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya
diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas
asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan
syukur.
7. Seseorang yang sudah
mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti”
berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Hasilnya
orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang
atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus
asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari
luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial
menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya
tanpa menimbulkan emosi negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar