MUHAMMAD
ARKHOUN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Perkembangan Islam Modern
dosen
pengampu : Dr. Nurisman,
Disusun
oleh :
Ade
Setiawan
Khoirun
nisa
Siti
munirotun na’im
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
JURUSAN USHULUDDIN PRODI AQIDAH FILSAFAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011
A.
PENDAHULUAN
Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, kajian
“pemikiran Islam” model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang berbeda dengan
corak pemikiran para pendahulunya. Telaah pemikiran Islam Arkoun tidak saja
berbeda dengan corak telaah pemikiran orientalis, tetapi juga berbeda
dengan telaah pemikiran Islam model Hassan Hanafi
yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, juga berbeda dengan gaya
pemikiran Seyyed Hossein Nasr, yang materi pemikiran tasawuf dan
filsafatnya sangat mencolok, dan lebih-lebih lagi bukan seperti pemikiran
ke-Islaman model Ismail al-Faruqi dan Syeh Muhammad Naquib al-Attas, yang
nuansa pemikiran Islamisasi pengetahuannya sangat kental.
Pada prinsipnya, gaya pemikiran yang dibawa oleh Arkoun
dalam beberapa hal justru dekat kepada pemikiran Fazlur Rahman dengan Muhammad
Iqbal dengan alur pemikiran keduanya yang sangat kritis terhadap
warisan intelektual Islam. Kalau kedua-duanya menganjurkan adanya upaya rekonstruksi
isi pemikiran Islam terutama dalam hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat
dan ilmu-ilmu sosial, maka Arkoun lebih banyak menyentuh ”bangunan pemikiran”
Islam secara menyeluruh, baik yang menyangkut pemikiran kalam, tasawuf, fiqhi,
akhlak maupun tafsir.
Pendekatan baru yang ditawarkan oleh Arkoun yang
melampaui batas studi Islam, didasari dengan adanya pemikiran Islam yang sama
sekali tidak mengalami perubahan, dengan kata lain terjadi stagnasi dalam
struktur pemikiran Islam, sementara tuntutan zaman sangatlah kompleks yang
membawa hal-hal baru dalam setiap kurun waktu tertentu.
Pada dasarnya apa yang diinginkan Arkoun adalah
pemaduan dari unsur yang paling mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang
paling berharga dalam pemikiran barat modern. Dalam konteks inilah konsep
Arkoun tentang “Islamologi Terapan” tidak dapat dinafikan.
Islamologi terapan yang dicanangkan oleh Arkoun,
sesungguhnya adalah konsekuensi dari “kevacuman” pemikiran Islam setelah masa
pertengahan yang “nyaris tidak terdengar lagi”. Kekosongan dalam dinamika
pemikiran Islam abad scholastik (pertengahan) tersebut berbuntut pada
penerimaan produk pemikiran Islam sebagai harga mati, paten, tidak boleh
dilirik, diteliti bahkan sampai pada pensejajaran pemikiran Islam sebagai doktrin
agama yang tidak boleh diganggu gugat.
B.
BIOGRAFI
Mohammed Arkoun lahir tanggal 1 Februari 1928 di Taorirt
Mimoun di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah Timur
Aljir. Wilayah Kabilia (al-Qabail) terbagi kepada dua , yaitu Kabilia Besar
(dengan luas sekitar satu juta hektar) dan Kabilia kecil. Penduduknya hidup
dari hasil pertanian (buah tin dan zaitun), menggembala ternak, dan berdagang
kerajinan tangan. Sedangkan Berber adalah panggilan untuk penduduk yang
tersebar di Afrika bagian utara, dari Libya sampai Samudera Atlantik.
Latar belakang sosial tersebut, membuat Arkoun bergelut
dalam tiga bahasa, yaitu bahasa kabilia, bahasa Arab dan bahasa Perancis. Pertama,
adalah salah satu bahasa Berber yang diwarisi Afrika Utara dari Zaman pra-Islam
dan pra-Romawi. Kedua, adalah bahasa yang dibawa oleh arus
ekspansi Islam sejak abad pertama hijriyah. Ketiga, adalah bahasa
Perancis yang dibawa oleh bangsa yang yang menguasai Aljazair antara tahun 1830
sampai dengan 1862.
Muhammad Arkoun mengawali pendidikannya di sekolah dasar di
desa asalnya, Kabilia. Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di kota
pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Al-Jazair bagian barat jauh dari Kabilia.
Dari tahun 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas
Aljir, sambil mengajar bahasa arab pada sebuah sekolah menengah atas di
al-Haurach di daerah pinggiran ibu kota Aljazair.
Di tengah perang pembebasan Aljazair dan pemerintah kolonial
perancis (1954–1962), Arkoun mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris.
Sejak itulah ia menetap di Perancis. Pergaulannya dengan peradaban Perancis
yang sudah dimulai ketika duduk di sekolah dasar yang berpola Perancis di desa
kelahirannya, kini berlanjut semakin intensif, namun, bidang utama studi dan penelitian
(area of concern) Arkoun tidak berubah, yaitu bahasa dan sastra Arab.
Pada proses perkembangannya ia semakin mempertinggi kuantitas perhatiannya
terhadap pemikiran Islam. Karena itu ciri utama pemikiran Arkoun adalah
pemaduan khas antara Barat dan Islam.
Pada tahun 1969 Muhammad Arkoun mengakhiri pendidikan
formalnya dengan meraih gelar Doktor bidang sastra dari Universitas Sorbonne di
Paris tempat ia mengajar sekarang, dengan disertasi mengenai Humanisme
dalam Pemikiran Etis Miskawaih, seorang pemikir muslim Persia dari akhir
abad ke-10 dan awal abad ke 11 Masehi yang begelut dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan antara lain kedokteran dan filsafat dan mendalami persamaan dan
perbedaan antara Islam dan tradisi pemikiran Yunani.
Pada 1969 – 1972 ia pindah mengajar ke Universitas Lyon dan
kemudian kembali ke Paris serta menjabat Professor bahasa Arab dan peradaban
Islam di Universitas Paris (1972-1977), ia juga sering menjadi dosen tamu di
University of California di Los Angeles, lembaga Kepausan untuk studi
Arab dan Islam di Roma; Universitas Katolik Louvain la-Nenue di Belgia,
Primeton University dan Temple University di Philadelphia, Arkoun juga pernah
memberikan kuliah di Rabut Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Teheran,
Berlin, Kolumbia, dan Denver.[1]
Karya-karya Arkoun yang paling penting adalah Contribution
a l`etude de l`Humanisme Arabe au IV/X siecle : Miskawayh philosophe et
historien ; La pensee Arabe. Karya-karya lain Arkoun merupakan
kumpulan artikelnya dan telah dipublikasikan dalam beberapa majalah, antara
lain Lectures du Coran (Telaah tentang Qur`an), Pour une crithique de
la raison Islamiqhue; Essais sur lapensee Islamiqhue.
Sedangkan buku-buku Arkoun selain yang disebutkan diatas antara lain Aspects
de la pensee musulmane classique
Adapun karya Arkoun bersama dengan cendekiawan lain antara
lain L`Islam, hier, demain (Islam, Kemarin dan Hari Esok). Buku
ini merupakan karya bersama Louis Gardet; L`Islam, Religion et Societe
Ada juga beberapa karyanya yang diterjemahkan dan dikomentari
oleh murid sekaligus sahabat terdekatnya yaitu Hasyim Shalih anatara lain :
Al-Fikr al-Islamy : Qiraah Ilmiyyah; AL-Fikr al-Islamy: Naqd wa
al-Ijtihad; Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah; Min Faishal
al-Tafriqah ilaa fasl al-Maqal…. Aina huwa al-Fikry al-Islamy al-Muashir; Tarikhy
al-fikr al-Araby al-Islamy. [2]
C.
PEMIKIRAN MUHAMMAD ARKHOUN
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur Jeffery
dalam mendekontruksi al-Quran. Arkoun dalam melakukan serangan
terhadap otensitas al-Quran menggunakan dua konsep yaitu konsep
dekonstruksi dan konsep historitas
Konsep
Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan
sebagai sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar dan
menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab
suci”. Strategi ini berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran
sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan
ia mengklaim bahwa strateginya itu merupakan sebuah ijtihad
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya
ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia
justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik
terhadap al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya
sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang
al-Quran, dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran
yang selama ini telah ada.
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah
al-Quran menjadi dua peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul
Kitab, dan peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan
al-Quran. Pada peringkat pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya
di luar jangkauan manusia, karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz.
Wahyu (Preserved Tablet) dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa
diketahui manusia hanya pada peringkat kedua yang diistilahkan oleh
Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” (editions terrestres) namun menurutnya
al-Quran pada peringkat ini telah mengalami modifikasi dan revisi dan
subsitusi.
Konsep
Historitas
Dan tentang konsep historitas, Arkoun mengatakan “bahwa
pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya
sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat
diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan
lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks
historis.”
Arkoun
juga menyatakan bahwa Strategi terbaik untuk memahami historisitas
keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis.
Sehingga menurutnya, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah,
sosiologi, antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan
untuk mempelajari sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini digunakan,
maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan
keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang,
namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang secara tuntas mencoba
menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan
analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan
memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu.
Pertama
Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh
manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu
yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini
menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa
Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga,
Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam
tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang
dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode
kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Qur’an lebih
suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam
bentuk tertulis. Sebabnya, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika
dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat
status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang
diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu
tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks
meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua
konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan
historitas telah membuat paradigma baru tentang hakikat teks al-Qur’an.
Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun justru menggiringnya untuk
menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level
di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun mengakui kebenaran Umm
al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui .kebenaran dan
kredibilitas bentuk lisan AI-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang
selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Dan bisa kita
simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru
menggiringnya kepada sesuatu yang tidak historis. Sesuatu yang tidak
mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang zaman
fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan
akan datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf `Uthmani.
Pendapat Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di
Lauh al-Mahfudz diikuti oleh Dawam Raharjo yang merupakan salah satu
perintis liberalisasi Islam di Indonesia pada tahun 1960-an, ia
menyatakan: “Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran
Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa
manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat
mentransformasikannya pula dalam bentuk transkip yang tunduk kepada hukum-hukum
bahasa yang berlaku.
Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang
dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan
pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun
disitu terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks
al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan
manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu
yang semula tersimpan di Lauh al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat
kasus kodifikasi hadits yang mengandung ribuan hadits palsu itu. Apalagi
dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah memerintahkan untuk membakar
sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang controversial. Namun
demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang sangat controversial
yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang benar? Dan
sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu terdapat
teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui kemungkinan
terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”
Sekularisasi
Islam dalam Pemikiran M. Arkoun
Istilah sekularisme
bermakna “sesuatu yang bukan agama”. Ia berasal dari bahasa Latin saeculum yang
berarti “masa” atau “generasi” dalam arti waktu temporal. Kata ini kemudian menjadi
bermakna segala hal yang berhubungan dengan dunia ini, dan dibedakan dengan
hal-hal yang berbau agama.[3]
Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern
adalah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara
kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara eropa, ide
tersebut merupakan pembalikan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum
di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para
penguasa agama. Karenya tidak heran gagasan itu pun disambut hangat kalangan
sekularis Islam seperti Kemal Ataturk, dan Muhammad Husain Haikal dan Thaha
Husain yang secara agresif menganjurkan ide-ide dan superioritas budaya Barat
selama tahun 1920-an. Pada 1925, ‘Ali Abd al-Raziq, seorang ulama, berpendapat
bahwa islam tidak mempunyai prinsip-prinsip politik dan membolehkan kebebasan
berpendapat serta demokrasi.
Berbeda dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam yang lahir dari tradisi modernisme, Muhammad Arkoun justru seorang yang lahir dari tradisi postmodernisme.[4] Pada masanya, teori postmodernisme berkembang pesat dengan munculnya tokoh-tokoh posmo seperti Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard dan Pierre Bordieu. Ia juga dipengaruhi dan merupakan produk dari tradisi pemikiran Prancis, khususnya linguistik struktural, poststruktural Paul Ricoeur dan Michel Foucault serta dekonstruksionisme Derrida. Leonard Binder, mengatakan bahwa pemikiran Muhammad Arkoun itu termasuk dalam kategori eklektik. Karenanya tidak heran kalau dia mendukung kalangan sarjana Barat yang berusaha menggunakan metode postmodernisme dalam membaca teks Islam Klasik. Dengan proyek Kritik Nalar Islam-nya, Arkoun berusaha memahami episteme pemikiran Islam yang masih didominasi oleh nalar modernisme yang positivistik. Salah satunya adalah kritik terhadap proyek orientalisme yang cenderung memahami Islam terjebak ke dalam historisisme; kritik terhadap keterjebakan umat islam pada pertarungan ideologis antara wacana keagamaan internal dengan wacana sekular; karena itu, proyek ambisiusnya adalah bahwa ilmu-ilmu humaniora dapat merekatkan tradisi islam yang mengalami split dan menggesernya menjadi dunia yang selalu menjadi bagian dari Islam. Arkoun mengatakan:
Berbeda dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam yang lahir dari tradisi modernisme, Muhammad Arkoun justru seorang yang lahir dari tradisi postmodernisme.[4] Pada masanya, teori postmodernisme berkembang pesat dengan munculnya tokoh-tokoh posmo seperti Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard dan Pierre Bordieu. Ia juga dipengaruhi dan merupakan produk dari tradisi pemikiran Prancis, khususnya linguistik struktural, poststruktural Paul Ricoeur dan Michel Foucault serta dekonstruksionisme Derrida. Leonard Binder, mengatakan bahwa pemikiran Muhammad Arkoun itu termasuk dalam kategori eklektik. Karenanya tidak heran kalau dia mendukung kalangan sarjana Barat yang berusaha menggunakan metode postmodernisme dalam membaca teks Islam Klasik. Dengan proyek Kritik Nalar Islam-nya, Arkoun berusaha memahami episteme pemikiran Islam yang masih didominasi oleh nalar modernisme yang positivistik. Salah satunya adalah kritik terhadap proyek orientalisme yang cenderung memahami Islam terjebak ke dalam historisisme; kritik terhadap keterjebakan umat islam pada pertarungan ideologis antara wacana keagamaan internal dengan wacana sekular; karena itu, proyek ambisiusnya adalah bahwa ilmu-ilmu humaniora dapat merekatkan tradisi islam yang mengalami split dan menggesernya menjadi dunia yang selalu menjadi bagian dari Islam. Arkoun mengatakan:
[....pemikiran
klasik, sebagai bentuk konstruksi intelektual yang sempurna, telah menghasilkan
sesuatu yang tidak terpikirkan sejalan dengan susunannya. Sebagai contoh,
teologi, lebih menempatkan strategi berpolemik daripada sebagai struktur yang
sesuai untuk investigasi terbuka: hal ini telah membuat luasnya bidang yang
masih tidak terpikirkan dalam pemikiran arab kontemporer]. Cara pembacaannya
yang cenderung dekonstruktif juga terlihat ketika umat Islam terjebak ke dalam
logosentrisme pemikiran. Salah satu ciri logosentrisme dalam pemikiran islam
adalah mementingkan wacana yang lahir dan diproyeksikan dalam ruang bahas yang
terbatas, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang yang
lama. Untuk itu, dia mengatakan:
[...Semua
usaha untuk memahami kebenaran (al-haqq) terdiri dari, dalam hal ini, taklid
kepada orotitas teks Al-Quran yang mana imanensi bahasanya bercampur dengan
transendensi Kehendak Tuhan...Akibatnya, penggunaan struktur gramatikal dan
leksikologi bahasa Arab yang benar memberikan jaminan kepada validitas
signifikansi yang permanen.[5]
D.
PENUTUP
Dari
pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
- Mohammed Arkoun adalah sosok pemikir Muslim yang lahir dari dua komunitas yaitu Islam dan Barat. Sehingga, gagasan-gagasannya yang muncul merupakan perpaduan antara dua dunia tersebut sebagaimana yang tertuang dalam karya-karyanya.
- Inti dari pikiran-pikiran Arkoun adalah kritik epistemologis, karena menurutnya, proses pembakuan dan kejumudan pemikiran Islam ditandai dengan krisis epistemologis meminjam bahasa Foucault yang sama sekali tidak berdenyut dari periode pertengahan.
- Kegelisahan Arkoun tidak hanya terpaku pada kejumudan pemikiran Islam, tetapi juga mengarah pada Islamologi Klasik (pemahaman Barat terhadap Islam atau Orientalisme) yang menurutnya belum sampai pada standar ilmiah. Hal ini dapat dilihat dengan masih berlakunya etnosentrisme Barat terhadap studi Islam serta pemahaman mereka tentang Islam masih bersifat parsial. Mereka tidak meneliti Islam sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan lain kata, teks-teks menjadi obyek utamanya tanpa memperhatikan aspek sosial, politik dan budaya yang melingkupinya.
- Gagasan Arkoun tentang “Islamologi Terapan” lahir sebagai respon terhadap Islamologi klasik. Menurutnya, kekurangan-kekurangan yang ada pada Islamologi klasik semestinya diisi dengan gagasan-gagasan Islamologi terapan.
DAFTAR PUSTAKA
Charles D. Smith, “Sekularisme”, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, penj.
Eva YN., dkk., Jld. 5 (Bandung: Mizan, 2001)
[3]
Charles D. Smith, “Sekularisme”,
dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, penj. Eva YN.,
dkk., Jld. 5 (Bandung: Mizan, 2001), h. 128.
[4]
Postmodernisme adalah aliran filsafat mutakhir yang
mendekonstruksi aliran pemikiran modernisme. Salah satu orientasinya
mengembalikan nilai-nilai dan konsep-konsep yang selama dmarjinalkan oleh pola
pikir meodernisme, seperti dunia metafisika, spiritual, mitos dan lain
sebagainya.
[5]
Charles D. Smith, Op. Cit., h. 131.