BAB II
MELIHAT SEKILAS MARTIN
HEIDEGGER
A. Biografi
Martin Heidegger
- Lingkungan Martin Heidegger
Pemihakan pada Nationalsozialistische Deutsche
Arbeiterpartei (NSDAP; Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman) atau Partai
Nazi, perselingkuhannya dengan Hannah Arendt dan keretakan hubungannya dengan
‘sistem Agama katolik’ merupakan warna dari kehidupan seorang filsuf abad 20
ini. Martin Heidegger adalah sosok filosof modern yang tenang, senang dengan
kesunyian dan tetap aktif berdialog dengan lingkungan dimasanya. Ia hidup
dengan penuh kesederhanaan dan tidak mempunyai keingginan untuk meninggalkan
tanah kelahirannya. Tanggal 26 September 1889 Heidegger dilahirkan di kota
kecil wilayah Schwarzwald, Messikirch,[1]
dari pasangan Freidrich dan Johanna Heidegger. Ayahnya bekerja sebagai koster
gereja Katolik Santo Martinus di kota itu.[2]
|
Heidegger hidup dalam dunia kesalehan dan ketaatannya
pada tradisi katolik yang ketat, tak mengherankan bahwa ia ingin menjadi
seorang imam besar dan masuk seminari. Keinginannya untuk menjadi imam timbul
sejak ia sekolah di Gymnasium kota Konstanz pada 1906. Selanjutnya ia
memutuskan untuk masuk Novisiat Serikat Yesus di Tisis, di Austri pada 30
September 1909. Hanya bertahan dua minggu ia disana, dikarenakan kesehatan ia
harus keluar. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya di bidang Filsafat dan
Teologi di kota Freiburg im Bresgau.
Sikap resmi gereja Katolik pra-konsili Vatikan II
yang antimodernis membentuk pemikiran Heidegger seperti yang tampak pada arikel
dalam suatu majalah Katolik. Ia mengalami krisis hidup pada tahun 1911 dan dikeluarkannya dari pendidikan
imamat, selang delapan tahun ia memutuskan hubungannya dengan gereja Katolik.
Sikap yang dipilihnya ini dianggap oleh orang banyak sebagai skandal. Heidegger
tetap menerima bantuan biaya dari gereja untuk studinya walaupun ia melawan
‘sistem Agama Katolik’, dan berharap dapat posisi mengajar setelah ia
menyelesaikan studinya tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya ia mulai belajar
fenomenologi yang kala itu menjadi mode di Universita-universitas Jerman. Di
sini ia pertama kali menemukan tulisan-tulisan Edmund Husserl seorang pelopor fenomenologi, dan disarankan Husserl untuk
mempelajari teologi,
matematika dan filsafat. Heidegger menerima
saran tersebut dan berhasil menyelesaikan
gelar
doktornya dengan penelitian, "Doktrin kiamat di Psychologism" pada
tahun 1914.
Pada tahun berikutnya ia menyelesaikan Habilitationsschrift [3]
dengan disertasinya, Die Kategorien-
und Bedeungtungslehre des Duns Scotus "Teori Duns Scotus tentang Kategori-kategori dan
Makna."
Karya
tersebut menjadi salah satu karyanya yang mempengaruhi para tokoh selanjutnya
diantaranya Thomas Aquinas dan Duns Scotus. Mereka sama-sama mengembangkan
pemikiran tetang metafisika yang di mana Tuhan menjadi ide utama. Pada tahun
1915 sampai 1917 ia bekerja sebagai dosen privat di Freiburg dan bertepatan
dengan Revolusi Rusia pada tahun 1917 Heidegger menikahi seorang wanita yang
bernama Elfride Petri. Di saat ia memutuskan untuk berumah tangga ia juga
bergabung dan menjadi anggota di tentara Jerman.
Pada tahun 1923 sampai 1928 ia diangkat menjadi
professor filsafat di Marburg. Pada tahun yang sama 1928 menggantikan Husrel
dan tidak lama kemudian Husrel meninggal dunia. Selama menjadi seorang
professor dengan menyelesaikan karya-karyanya ia juga aktif menulis puisi tanpa
disengaja ia terlibat menjalin cinta dengan mahasiswinya sendiri. Hampir setiap waktu Hanah Arendt mendatangi
kator Heidegger. Menurut Heidegger, Arendt adalah die Passion seines Lebens
‘gairah hidup’-nya, penyemangat dirinya dan penginspirasi karyanya yang sangat
fenomenal yakni Sein und Zeit.
Setelah perang dunia II, dari pengusingannya di
Amerika Serikat, Arendt mendengar kekasih dan juga gurunya ini terikat dalam
Nazi. Sejak 1967, Arendt rutin mengunjungi Heidegger dan mempersembahkan
kembali puisi-puisi cinta untuknya begitu sebaliknya. Mengingat hubungan ini
bisa menghancurkan rumah tangganya, Heidegger meminta bantuan Karl Jesper untuk
membimbing disertasi Arendt dan mulai berpisah. Di pedalaman Schwarzwald, di
wilayah Todtnauberg pada 1923 Heidegger mendirikan pondok kecil dari kayu dan
sering menyendiri dengan istrinya. Pondok Todnauberg ini sangat bersejarah
karena ketelibantannya Heidegger dengan Nazi, dan pada 1931 ia menyatakan
dukungannya pada Hitler.
Tepat pada 1933, Hitler merebut kekuasaan dan
melancarkan kerusuhan-kerusuhan anti-yahudi di berbagai kota. Heidegger tidak
sepenuhnya pro-Nazi, dan masih menjaga jarak terhadap rezim totaliter ini. Langkah
ini membawanya menjadi Rektor pertama di Freiburg. Heidegger pernah secara terbuka meminta maaf atas
keterlibatannya dengan Sosialisme Nasional. Dengan sidang de-nazification tahun
1945, Heidegger dilarang mengajar dan mengajar di universitas oleh Pemerintah
Militer Perancis, dan penghapusan dia dari jabatan profesor.
Meskipun begitu
ia terus menulis dan berbicara, ia menderita gangguan
saraf pada tahun 1946. Pada tahun 1950, Heidegger telah kembali ke posisi
mengajar, dan satu tahun kemudian ia diangkat menjadi profesor Emeritus,
Prancis oleh pemerintah
Baden. Selama dekade berikutnya ia menerbitkan sejumlah karya termasuk: (Sebuah Pengantar Metafisika. 1953, trans 1959), (Apa yang Disebut Berpikir.
1954, trans 1968), (Apa Filsafat. 1956), dan (Menuju Bahasa. 1959). Akhirnya Heidegger meninggal di Frieburg pada 26 Mei
1976, tetapi sampai sekarang pesonanya sebagai filsuf tidak pernah luntur
terbukti setiap tahunnya banyak mahasiswa filsafat yang datang dan mengunjungi gubugnya di
Todtnauberg.
- Orang-orang yang Mempengaruhi Martin Heidegger
a. Edmund
Husserl
Sebagai mahasiswa Edmund
Husserl dan selama setahun menjadi
asistennya pada tahun 1916,
Heidegger merasa bahwa pemikiran Husserl terjebak oleh hubungannya dengan
konsep Allah dan transenden. Fenomenologi yang dirumuskan oleh Husserl
sebagai reduksi fenomenologis atau epoche: anggapan-anggapan bahwa
tata-krama itu sudah ada dan entah di dalam atau di luar kesadaran manusia.
Memahami fenomenologi dan ontologi dan kaitannya dengan Ada.
Dengan melihat banyak kenyataan-kenyataan di bidang
tertentu, seperti misalnya ekonomi, antropologi, sosiologi yang merupakan
perkembangan dari bidang keilmuan filsafat. Maka ilmu-ilmu tersebut kini bisa
dikenal karena orang sering memakai dan mengambil manfaat praktisnya. Dari
cabang keilmuan itu terdapat ilmu yang membahas ‘kenyataan itu sendiri’. Segala
kenyataan khusus terdapat dalam satu paket, yaitu satu kategori sebagai satu
objek pikiran, dan itulah ‘Ada’. Semua kenyatan itu dapat dikemas dalam dalam
satu kata yaitu ‘yang ada’, dan ilmu yang membahas ‘yang ada’ inilah ontology. “Das »Wesen« des Daseins liegt in seiner
Existenz”, [4]( 'esensi'
dari Dasein
terletak pada keberadaannya).
What the term
"being there" means throughout the treatise on Being and Time is
indicated immediately by its introductory key sentence: "The 'essence' of
being there lies in its existence." [Das "Wesen" des Daseins
liegt in seiner Existenz.]. To be sure, in the language of metaphysics the word
"existence" is a synonym of "being there": both refer to
the reality of anything at all that is real, from God to a grain of sand. As
long, therefore, as the quoted sentence is understood only superficially, the
difficulty is merely transferred from one word to another, from "being
there" to "existence." The term "existence" is used
exclusively for the being of man. Once "existence" is understood
rightly, the "essence" of being there can be recalled: in its
openness, Being itself manifests and conceals itself, yields itself and
withdraws; at the same time, this truth of Being does not exhaust itself in
being there, nor can it by any means simply be identified with it after the
fashion of the metaphysical proposition: all objectivity is as such also
subjectivity.[5]
Apa istilah "berada di sana" berarti seluruh
risalah tentang Ada dan
Waktu diindikasikan segera dengan kalimat kunci pengantar: "The ' esensi '
berada di sana terletak pada keberadaannya." (Das "Wesen" des Daseins liegt di seine Existenz). Yang
pasti, dalam bahasa metafisika kata "keberadaan" adalah sinonim dari
"berada di sana": keduanya merujuk pada realitas apa saja yang nyata,
dari Allah kepada sebutir pasir. Selama, oleh karena itu, kalimat yang dikutip
dipahami hanya dangkal, kesulitan tersebut hanya dipindahkan dari satu kata ke
yang lain, dari "berada di sana" untuk " eksistensi.
"Keberadaan", istilah ini digunakan khusus untuk keberadaan manusia.
Setelah "keberadaan" dipahami benar, "esensi " dari berada
di sana dapat dipanggil: dalam keterbukaannya, Menjadi sendiri memanifestasikan
dan menyembunyikan dirinya sendiri, hasil sendiri dan menarik, pada saat yang
sama, kebenaran ini Menjadi tidak buang diri dalam menjadi ada, juga tidak bisa
dengan cara apapun hanya diidentifikasi dengan itu setelah fashion dari
proposisi metafisik: semua objektivitas adalah seperti juga subjektivitas).
Istilah
"berada di sana",
'esensi'
dari berada di sana terletak pada keberadaannya.
Esensi manusia yang sebenarnya berada pada diri manusia itu sendiri. Bila
mereka tidak berada di sana maka tidak bisa dikatakan bereksistensi. Ada
di sana dan tidak mengadakan yang lainnya maka juga tidak bisa dikatakan
bereksistensi. Ada dan yang lainnya yang ada disekitar kita saling menjelaskan
keberadaan masing-masing dan saling berkaitan.
Penampakan Ada tidak sederhana, Heidegger cukup
detail dalam memilah jenis penampakan. Pertama, sesuatu bisa menampakan diri
seolah-olah mirip sesuatu/hanya
kemiripan saja (Scheinen). Misalnya, saya melihat orang yang mirip bapak
saya dari belakang dan ternyata itu bukan bapak saya melainkan orang lain.
Kedua, sesuatu bisa menampakan dirinya tetapi dirinya yang sejati tersembunyi
di balik penampilannya (Erscheinung). Misalnya, saya sedang sakit demam,
demam adalah penampakan suatu penyakit dan penyakit itu sendiri tidak
menampakkan diri. Heidegger menyatakan Ada seolah-oleh bermain dan menyingkap
dalam ketersembunyiannya dan bersembunyi dalam ketersingkapannya. Pendekatan
ontologi sebagai fenomenologi berarti bahwa ‘Ada menampakkan dirinya’.
Pendekatan inilah yang membuat perbedaan pemikiran
dengan Husserl sang pelopor fenomenologi itu sendiri. Konsep Husserl
meradikalkan tentang intensionalitas yaitu keterarahan kesadaran. kesadaran
selalu terarah pada sesuatu di luarnya, baginya intensionalitas adalah
kesadaran akan sesuatu. Berbeda terbalik dengan Heidegger yang
meradikalkan kosep intensionalitas, bukan hanya kesadaran akan sesuatu, yaitu
lebih pada kesadaran dalam/sebagai sesuatu.
Dalam arti kita tidak hanya menyadari sesuatu tetapi
kesadaran itu juga turut berperan dalam membentuk kesadaran kita. Dengan
demikian kesadaran tidak lebih utama dari Ada, melainkan sebaliknya, kesadaran adalah
Ada menampakkan diri. Jadi fenomenologi Husserl adalah suatu epistemologi
karena menyangkut ‘pengetahuan tentang dunia’, sedangkan menurut Heidegger
adalah suatu ontologi karena menyangkut ‘kenyataan’.
Heidegger
menggambarkan kualitas berada di konsep Dasein. Subyek dilemparkan ke
dalam dunia yang terdiri dari hal-hal yang berpotensi berguna, budaya dan benda-benda alam. Benda-benda dan
artefak datang ke manusia dari masa lalu dan digunakan di masa sekarang demi
tujuan masa depan, Heidegger mengemukakan hubungan mendasar antara modus
menjadi objek dan kemanusiaan dan struktur waktu. Sebelum mengarak pada dasein
kita perlu kembali dalam pemikirannya tentang Ada.
Banyak para filsuf sebelumnya yang tidak
menyadari arti Ada itu sendiri. Tanpa sadar mereka mengabaikan
kenyataan yang sangat penting yaitu bahwa dunia ada (eksis).[6]
Seperti dalam pemikiran Plato mempertanyakan tentang barang-barang yang
berkaitan/berhubungan dengan dunia dan memusatkan pemikirannya pada dunia saja.
Berawal dari itu filsuf-filsuf selanjutnya menyibukkan diri dengan memikirkan
dunia dan tidak memusatkan pikirannya pada kenyataan yang lebih mendasar:
keberadaan dunia itu sendiri.
b. Hannah
Arendt.
Hannah Arendt merupakan mahasiswa dari Martin
Heidegger, dan ia memiliki pesona yang tersendiri dalam memikat hati Heidegger.
Heidegger sangat tertarik dengan pemikirannya yang sangat cerdas. Tidak hanya
itu, ia juga sebagai inspirasi bagi Heidegger untuk membuat karya yang sangat
fenomenal yang kita kenal sekarang ini. Karya ini sampai sekarang tidak bisa
terselesaikan karena Heidegger terlebih dahulu meninggal dunia.
Bagi Heidegger Arendt merupakan die Passion
seines Lebens ‘gairah hidup’-nya. Banyak puisi-puisi yang diubahnya dan
dipersembahkan untuk Arendt. Selama ia menjadi mahasiswa Heidegger ia juga
menjalin cinta dengannya dan tidak ada seorang pun mengetahui ini. Setiap waktu
Arendt selalu datang mengunjungi Heidegger. Sampai pada waktunya Heidegger
sakit dan tidak dapat menyelesaikan karyanya dan kemudian meninggal dunia.
Sebelum itu Heidegger meminta bantuan pada Karl Jasper untuk membantu
mahasiwanya ini dalam menyelesaikan kuliahnya.
c. Heidegger
dan Nazisme
Setelah perang dunia II Heidegger terlibat dengan
partai Nazi, penggabungan dirinya dengan partai nazi merupakan kesalahan
terbesar yang telah ia lakukan. Pada 1931 ia menyatakan dukungannya pada
Hitler. Tepat pada 1933, Hitler merebut kekuasaan dan melancarkan
kerusuhan-kerusuhan anti-Yahudi di berbagai kota. Heidegger tidak sepenuhnya
pro-Nazi, dan masih menjaga jarak terhadap rezim totaliter ini. Heidegger pernah secara terbuka meminta maaf atas
keterlibatannya dengan Sosialisme Nasional.
Bagi para filsuf, ini merupakan salah satu jalan
yang salah dan sangat memalukan. Penggabungannya dengan Nazi hanya sebagai
perlindungan politik di masa itu. Partai yang sangat keras dan menekankan pada
pemikiran ateis membuat pemikiran Heidegger diragukan sebagai seorang filsuf.
Penggabungan terhadap nazi membuat ia mendapatkan inspirasi dalam mengartikan
manusia atau eksistensi manusia itu sendiri.
Menurutnya manusia adalah Dasein, bahwa
mereka tidak mempunyai esensi yang sama. Maka tidak ada alasan untuk berharap
bahwa suatu kelompok khusus dasein, akan menghormati hak-hak dari yang
lain. Misalnya saya adalah orang Jawa, dan Anda bukan; maka Anda merupakan
suatu bahaya bagi saya. Pendapat seperti ini membawa nazi menjadi partai yang besar
dan kuat dalam berpolitik.
B. Pemikiran
Martin Haidegger
Berikut pemikiran-pemikiran dari Martin Heidegger:[7]
- Mengenai Esensi Kebenaran:
Misteri absolut, dalam misteri yang terdapat dalam
dirinya sendiri, dengan meresapi seluruh Dasein manusia…. Semakin ia
jauh dalam meresapinya semakin menjadikan dirinya secara eksklusif sebagai
ukuran dari segala hal. Kebenaran ini yang mengungkap bahwa suatu subjek itu
dinyatakan ada apabila ia berada di sana.
- Mengenai Subjek:
Manusia terutama tidak pernah berada menjadi pihak
di sini dari dunia sebagai “subjek”, baik dalam arti “Aku” atau pun “Kita”.
Secara eksklusif manusia menjadi subjek dan selalu berada dalam hubungan dengan
objek sehingga kodratnya harus dilihat di dalam hubungan subjek-objek. Dalam
kodratnya, manusia berada (eksis) terutama masuk dalam keterbukaan Ada, dan
keterbukaan inilah menjelaskan “antara” yang memungkinkan “adanya” dengan “hubungan”
subjek-objek. Secara tidak langsung beradanya manusia menjelaskan antara
subjek-objek-nya yang mempunyai hubungan dan tidak dapat dipisahkan.
- Mengenai “Tiada”:
‘Tiada’ dinyatakan dalam dasar terdalam dari Dasein,
maka dimungkinkan bagi keasingan itu membuat dari ‘yang ada’ menjadi nyata bagi
kita, ‘yang ada’ kemudian dibangkitkan dan mengundang kekaguman diri atas kita.
Rasa kagum muncul dari pernyataan ‘Tiada’, kemudian muncul lagi pertanyaan
“Mengapa”. Pertanyaan “Mengapa” ini, dapat kita gunakan dalam mencari
dasar-dasar dan bukti-bukti dalam ‘ada’ itu sendiri. Dalam arti bahwa ‘Tiada’
akan berfungsi bila subjek sudah tidak berada lagi.
- Megenai Eksistensi:
To be sure, in
the language of metaphysics the word "existence" is a synonym of
"being there", both refer to the reality of anything at all that is real,[8]
(Yang pasti, dalam bahasa metafisika
kata "keberadaan" adalah
sinonim dari "berada
di sana", Keduanya mengacu pada
realitas apa saja yang nyata). Bahasa metafisika menjelaskan
kata
"keberadaan" merupakan
sinonim dari "berada di sana",
keduanya
merujuk pada realitas apa pun yang nyata.
Penyimpangan
yang paling jelas di mana Dasein sebagai kemampuan-bagi-Ada, dapat ada
merupakan kebenaran dari eksistensi. Eksistensi merupakan
dasar pemikiran untuk memaknai Ada dalam dunia ini. Bila tidak dapat memahami
eksistensi sebagai dasar ada, maka akan dianggap tidak ada atau tidak
bereksistensi suatu objek tersebut. Eksistensi manusia sangat penting, karena
manusia yang mengadakan sesuatu dan disekitarnya adalah ada.
- Mengenai “Dasein”:
Untuk menjawab pertanyaan mengenai Ada secara
memadai, kita harus membuat entitas-penyidik-yang menjelaskan dalam Ada-nya
sendiri. Pengajuan pertanyaan ini merupakan mode suatu entitas dari Ada; dan
dengan begitu sifat utamanya dari apa yang dicari-yaitu Ada. Entitas ini yang
masing-masing dari kita adalah dirinya sendiri dan yang mencakup pencarian
sebagai satu di antara kemungkinan-kemungkinan Ada-nya, kita menyebutkannya
dengan istilah Dasein (berada-di-sana).
- Mengenai Keterlemparan:
Das Sein des
Daseins ist die Sorge. Sie befaßt in sich Faktizität (Geworfenheit), Existenz
(Entwurf) und Verfallen. Seiend ist das Dasein geworfenes, nicht von ihm selbst
in sein Da gebracht. Seiend ist es als Seinkönnen bestimmt, das sich selbst
gehört und doch nicht als es selbst sich zu eigen gegeben hat.[9]
(Keberadaan Dasein
adalah kekhawatiran. Ini berkaitan
dengan sendirinya faktisitas, keberadaan, dan membusuk. Menjadi Dasein dilemparkan,
tidak ditempatkan oleh dia di Da nya. Menjadi ditentukan sebagai
kemampuan untuk menjadi milik dirinya sendiri dan bahkan
tidak diberi kita sendiri karena
memiliki). Wujud dari Dasein adalah kekhawatiran. Ini berkaitan dengan faktisitas,
keberadaan.
Selanjutnya Dasein dilemparkan, tidak ditempatkannya di-Da-nya. Pernyataan itu dimaksudkan sebagai potensi yang dimiliki dalam
dirinya dan belum diberikan bahkan oleh
mereka sendiri.
- Mengenai “berada-dalam-dunia”:
Dasein adalah entitas yang
bercirikan ada-dalam-dunia. Hidup manusia bukanlah suatu subjek yang harus
menampilkan suatu tipuan agar bisa masuk ke dunia. Dasein sebagai ada-dalam-dunia berarti: berada dalam dunia
sedemikian rupa sehingga Ada ini berarti hanya berurusan dengan dunia.
- Mengenai “Yang Satu” (“Mereka”):
Kemungkinan-kemungkinan harian Dasein dari
Ada adalah untuk diatur oleh Yang Lain sesuka mereka. Yang Lain ini terutama
bukanlah Yang Lain tertentu, sebaliknya setiap yang
lain dapat mewakilinya. Apa yang menentukan adalah bahwa dominasi diam-diam
dari Yang Lain yang telah diambil alih secara tidak sadar dari Dasein
sebagai Ada-dengan yang satu termasuk dalam Yang Lain sendiri dan mengangkat
kekuatannya…. “Siapa”-nya bukanlah yang ini, bukan yang itu, bukan diri
sendiri, bukan orang tertentu, dan bukan kumpulan mereka, “Siapa”-nya adalah
netral, yakni mereka.
- Mengenai Kecemasan:
Kecemasan melemparkan kembali Dasein pada
yang dicemaskan-kemampuan-aslinya-untuk-Ada-dalam-dunia. Die Angst vor dem Tode ist Angst »vor« dem eigenen, unbezüglichen und
unüberholbaren Seinkönnen. Das Wovor dieser Angst ist das In-der-Welt-sein
selbst. Das Worum dieser Angst ist das Sein-können des Daseins schlechthin. Mit
einer Furcht vor dem Ableben darf die Angst vor dem Tode nicht zusammengeworfen
werden.[10] (Ketakutan akan kematian adalah ketakutan "sebelum"
mereka sendiri, dan kemampuan untuk menjadi tak terkalahkan.
Apa yang ketakutan
ini adalah di
dalam-dunia itu sendiri. Apa ketakutan ini adalah
mampu eksistensi seperti itu.
Dengan takut akan kematian, takut mati tidak boleh disatukan).
Rasa takut akan kematian merupakan suatu hal yang
tidak bisa dihilangkan, karena ketakutan ini menciptakan dunianya sendiri. Rasa
takut yang mendalam akan menimbulkan kecemasan dalam diri. Kemudian kecemasan
mengindividuasilkan Dasein baginya sendiri sebagian besar Ada di dunia,
yang sebagai sesuatu yang dapat memahami, merencanakan dirinya secara esensial
atas kemungkinan-kemungkinan. Kecemasan ini yang mendasari Ada atas ketiadaan.
Kecemasan akan Kematian (Angst vor dem
Tode) inilah yang muncul dalam momen eksistensi.
- Mengenai Kematian:
Tidak seorang pun tahan menghadapi kenyataan
seseorang meninggal dan terlepas darinya…. Dari esensi terdalamnya, kematian
dalam setiap peristiwa adalah kematianku, sejauh kematian itu “ada” sama
sekali. Memang kematian menandakan kemungkinan-dari-Ada yang khusus di mana Ada
sendiri Dasein seseorang merupakan permasalahan. Dalam mati, ditunjukkan
kepemilikanku dan eksistensi secara ontologis merupakan bagian dari kematian. Damit verdeutlicht sich der existenziale
Begriff des Sterbens als geworfenes Sein zum eigensten, unbezüglichen und
unüberholbaren Seinkönnen.[11]
(Dengan demikian, konsep eksistensial
kematian seperti yang digambarkan
dilemparkan untuk sendiri, dan tak tertandingi kemampuannya untuk menjadi).
Mati bahkan bukanlah peristiwa; kematian adalah
gejala yang harus dimengerti secara eksistensial oleh manusia. Kematian adalah
totalitas Ada Dasein, dan persis pada
titik inilah Dasein kehilangan
Ada-nya, karena Dasein berhenti
sebagai Ada-di-dalam-dunia
C. Karya-Karya
Martin Haidegger
Berikut ini merupakan beberapa contoh karya-karya
dari Heidegger yang diterjemahakan
dalam bahasa Inggris dalam bentuk buku. Berikut karya-karya Heidegger yang tersedia
dalam bahasa Inggris:
1. Being
and Time. Diterjemahkan oleh John Macquuarrie and Edward
Robinson. New York: Harper & Row, 1962. (Seind und Zeit, 1927).
2.
Early Greek Thinking. Diterjemahkan
oleh David Farrell Krell and Frank A. Capuzzi. New York: Harper & Row,
1975. (Der Sprach des Anaximander” dari Holzwege, 1950, hlm. 296-343; “Logos
(Heraklit, Fragment B 50)”, “Moira (Parmenides VIII, 34-41)”, dan “Aletheia
(Heraklit, Fragment B 16) dari Vortrage und Auf satze, 1945, hlm. 207-282.
3.
The End of Philosophy. Diterjemahkan
oleh Joan Stambaugh. New York: Harper & Row, 1973. (“Die Metaphysik als
Geschichte des Seins “Entwurfe zur Geschichte des Seins als Metaphysik”, dan
“De Erinnerung in die Metaphysik” dari Nietzsche, 1961, vol. II, hlm. 399-490;
“Oberwindung der Metaphysik” dari ortrage und Augsatze, 1954, hlm. 71-99)
4.
The Essence of Reasons. Edisi dalam
dua bahasa. Terjemahkan oleh Terence Malick, Evaston, linois: Northwestern
University Press, 1969. (Vom Wesen des Grundes, 1929).
5.
Existence and being. Di edit, dengan
introduksi, oleh Werner Brock, Chicago: Henry Regnery Company, 1949. (Sebagai
tambahan terhadap terjemahan lain dari Bacaan-bacaan II dan III dalam antologi
ini, volume ini memuat terjemahan dari “Heimkunft: An die Verwandten” dan
“Hoiderlin und Wesen der Dichtung” dari Erlauterungen Zu Holderilius Dichtung,
1951, hlm. 9-45)
6.
Hegel’s Concept of Experience.
Diterjemahkan oleh J. Glenn Gray and Fred D. Wieck. New York: Harper & Row,
1970. (“Hegels Begriff der Erfahrung”, Holzwege, 1950, hlm. 105-192.)
7.
Identity and Difference. Edisi dua
bahasa. Terjemahan oleh Joan Strambaugh. New York: Harper & Row, 1969
(Identitat und Differenz, 1957)
8.
An Introduction to Metaphysics. Diterjemahkan
oleh Ralph Manhheim. Garden City, New York: Doubleday-Anchor Books, 1961. (Einfurung
in die Metaphysik, 1953)
9.
Kant and the Problem of
Metapgysics. Diterjemahkan oleh James S. Churchill. Bloomington, Indiana:
Indiana University Press, 1962. (Kant und das Problem der Metaphysik, 1929)
10. Nietzsche.
Empat volume. Diedit oleh Dafid Farell Krell, New York: Harper & Row,
segera terbit. (Nietzsche, 2 Vol., 1961).
11. On
the Way to language. Diterjemahkan oleh Peter D. Hertz and Joan Stambaugh. New
York: Harper & Row, 1971. (Unterwegs zut Sprache, 1959. Edisi Inggris tidak
mengikuti urutan esai-esai dalam edisi Jerman dan menghilangkan esai
pertama-yang muncul dalam Poetry, language, Trought, terdaftar dibawah).
12. On
Time and Being. Diterjemahkan oleh Joan Stambaugh, New York: Haroer & Row,
1972. (Zur Sache des Denkens, 1969).
13. Poetry,
Language, Trought. Diterjemahkan oleh Albert Hofstadter. New York: Harper &
Row, 1971. (Aus der Efahrung des denkens, 1954; Der Ursprung des Kunstwekes
(Reclam), 1960: “Wozu Dicther?” dari Holzwege, 1950, hlm. 248-295; “Bauen
Wohnen Denken”, “Das Ding”. amd “…Dichterisch wohnet der Mensch…” dari Vortrage
und Aufsatze, 1954, hlm. 145-204; “Die Sprache” dari Unterwegs zur Sprache,
1959, hlm. 9-33)
14. The
Question Concerning Technology and Other Essays. Diterjemahkan oleh William
Lobitt, New York: Harper & Row. (“Die Frage nach der Technik” dan
“Wissenschaft und Besinnung” dari Vortrage und Arescitze, 1945, hlm. 13-70;
“Die Zeit des Welkbilder” dan “Noetzsche Wor ‘Got ist tot’” dari Holzwege, 1950,
hlm. 69-104 dan 193-247)
15. The
Question of Being. Edisi dua bahasa. Terjemahan oleh William Kluback dan Jean
T. Wilde, New Haven, Connecticut: College & University Press, 1958. (Zur
Seinfrage, 1956)
16. What
Is a Thing? Diterjemahkan oleh W. B. Barton, Jr. dan Vera Deutsch, Chicago:
Henry Regnery Company, 1967 (Die Frage nach dem Ding, 1962)
17. What
Is Called Thingking? Diterjemahkan oleh Fred. D. Wieck dan J. Glend Gray, New
York: Harper & Row, 1968 (Was Heisst Denken? 1954)
18. What
Is Philosophy? Edisi dua bahasa. Terjemahan oleh William Kluback dan Jean T.
Wilde, New Haven, Connecticut: College & University Press, 1958. (Was ist
das-die Philosophie? 1956)
[1] F. Budi Hardiman. Heidegger
dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), h. 7.
[2] K, Bertens. Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000),
h. 155.
[3] Karya tulis untuk menjadi
profesor di Jerman.
[4] Martin Heidegger, Sein Und Zeit (Tubingen: Max Niemeyer,
1953), paragraf 1, h. 42.
[5] ,
Existence and being di edit dengan
introduksi, oleh Warner Brock, (Chicago: Henry Regnery Company, 1949), h. 42.
[6] Eric Lemay dan Jennifer A.
Pitts. Heidegger untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 31.
[7] Ibid, h. 109.
[8] Martin
Heidegger, Existence and being. h. 7
[9] Martin Heidegger, Sein Und Zeit, paragraf 58, h. 284.
[10] Ibid, paragraf 50, h. 251.
[11] Ibid, paragraf 46, h. 236-237.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar