Sabtu, 15 Februari 2014

kematian menurut heidegger



BAB II
MELIHAT SEKILAS MARTIN HEIDEGGER
A.    Biografi Martin Heidegger
  1. Lingkungan Martin Heidegger
Pemihakan pada Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP; Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman) atau Partai Nazi, perselingkuhannya dengan Hannah Arendt dan keretakan hubungannya dengan ‘sistem Agama katolik’ merupakan warna dari kehidupan seorang filsuf abad 20 ini. Martin Heidegger adalah sosok filosof modern yang tenang, senang dengan kesunyian dan tetap aktif berdialog dengan lingkungan dimasanya. Ia hidup dengan penuh kesederhanaan dan tidak mempunyai keingginan untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Tanggal 26 September 1889 Heidegger dilahirkan di kota kecil wilayah Schwarzwald, Messikirch,[1] dari pasangan Freidrich dan Johanna Heidegger. Ayahnya bekerja sebagai koster gereja Katolik Santo Martinus di kota itu.[2]
21
 
Heidegger selalu berpenampilan sederhana setiap harinya, bahkan di saat ia mengajar pun ia hanya mengenakan pakaian Schwaben (pakaian petani). Bisa dikatakan penampilannya lebih mirip dengan seorang petani dari pada seorang tokoh intelektual. Kesehariannya Heidegger lebih menyukai pada kesunyian dan keheningan, suasana seperti ini digunakannya untuk menulis dan menyelesaikan karya-karyanya.
Heidegger hidup dalam dunia kesalehan dan ketaatannya pada tradisi katolik yang ketat, tak mengherankan bahwa ia ingin menjadi seorang imam besar dan masuk seminari. Keinginannya untuk menjadi imam timbul sejak ia sekolah di Gymnasium kota Konstanz pada 1906. Selanjutnya ia memutuskan untuk masuk Novisiat Serikat Yesus di Tisis, di Austri pada 30 September 1909. Hanya bertahan dua minggu ia disana, dikarenakan kesehatan ia harus keluar. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya di bidang Filsafat dan Teologi di kota Freiburg im Bresgau.
Sikap resmi gereja Katolik pra-konsili Vatikan II yang antimodernis membentuk pemikiran Heidegger seperti yang tampak pada arikel dalam suatu majalah Katolik. Ia mengalami krisis hidup pada tahun 1911 dan dikeluarkannya dari pendidikan imamat, selang delapan tahun ia memutuskan hubungannya dengan gereja Katolik. Sikap yang dipilihnya ini dianggap oleh orang banyak sebagai skandal. Heidegger tetap menerima bantuan biaya dari gereja untuk studinya walaupun ia melawan ‘sistem Agama Katolik’, dan berharap dapat posisi mengajar setelah ia menyelesaikan studinya tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya ia mulai belajar fenomenologi yang kala itu menjadi mode di Universita-universitas Jerman.  Di sini ia pertama kali menemukan tulisan-tulisan Edmund Husserl seorang pelopor fenomenologi, dan disarankan Husserl untuk mempelajari teologi, matematika dan filsafat. Heidegger menerima saran tersebut dan berhasil menyelesaikan gelar doktornya dengan penelitian, "Doktrin kiamat di Psychologism" pada tahun 1914.
Pada tahun berikutnya ia menyelesaikan Habilitationsschrift [3] dengan disertasinya, Die Kategorien- und Bedeungtungslehre des Duns Scotus "Teori Duns Scotus tentang Kategori-kategori dan Makna." Karya tersebut menjadi salah satu karyanya yang mempengaruhi para tokoh selanjutnya diantaranya Thomas Aquinas dan Duns Scotus. Mereka sama-sama mengembangkan pemikiran tetang metafisika yang di mana Tuhan menjadi ide utama. Pada tahun 1915 sampai 1917 ia bekerja sebagai dosen privat di Freiburg dan bertepatan dengan Revolusi Rusia pada tahun 1917 Heidegger menikahi seorang wanita yang bernama Elfride Petri. Di saat ia memutuskan untuk berumah tangga ia juga bergabung dan menjadi anggota di tentara Jerman.
Pada tahun 1923 sampai 1928 ia diangkat menjadi professor filsafat di Marburg. Pada tahun yang sama 1928 menggantikan Husrel dan tidak lama kemudian Husrel meninggal dunia. Selama menjadi seorang professor dengan menyelesaikan karya-karyanya ia juga aktif menulis puisi tanpa disengaja ia terlibat menjalin cinta dengan mahasiswinya sendiri.  Hampir setiap waktu Hanah Arendt mendatangi kator Heidegger. Menurut Heidegger, Arendt adalah die Passion seines Lebens ‘gairah hidup’-nya, penyemangat dirinya dan penginspirasi karyanya yang sangat fenomenal yakni Sein und Zeit.
Setelah perang dunia II, dari pengusingannya di Amerika Serikat, Arendt mendengar kekasih dan juga gurunya ini terikat dalam Nazi. Sejak 1967, Arendt rutin mengunjungi Heidegger dan mempersembahkan kembali puisi-puisi cinta untuknya begitu sebaliknya. Mengingat hubungan ini bisa menghancurkan rumah tangganya, Heidegger meminta bantuan Karl Jesper untuk membimbing disertasi Arendt dan mulai berpisah. Di pedalaman Schwarzwald, di wilayah Todtnauberg pada 1923 Heidegger mendirikan pondok kecil dari kayu dan sering menyendiri dengan istrinya. Pondok Todnauberg ini sangat bersejarah karena ketelibantannya Heidegger dengan Nazi, dan pada 1931 ia menyatakan dukungannya pada Hitler.
Tepat pada 1933, Hitler merebut kekuasaan dan melancarkan kerusuhan-kerusuhan anti-yahudi di berbagai kota. Heidegger tidak sepenuhnya pro-Nazi, dan masih menjaga jarak terhadap rezim totaliter ini. Langkah ini membawanya menjadi Rektor pertama di Freiburg. Heidegger pernah secara terbuka meminta maaf atas keterlibatannya dengan Sosialisme Nasional. Dengan sidang de-nazification tahun 1945, Heidegger dilarang mengajar dan mengajar di universitas oleh Pemerintah Militer Perancis, dan penghapusan dia dari jabatan profesor.
Meskipun begitu ia terus menulis dan berbicara, ia menderita gangguan saraf pada tahun 1946. Pada tahun 1950, Heidegger telah kembali ke posisi mengajar, dan satu tahun kemudian ia diangkat menjadi profesor Emeritus, Prancis oleh pemerintah Baden. Selama dekade berikutnya ia menerbitkan sejumlah karya termasuk: (Sebuah Pengantar Metafisika. 1953, trans 1959), (Apa yang Disebut Berpikir. 1954, trans 1968), (Apa Filsafat. 1956), dan (Menuju Bahasa. 1959). Akhirnya Heidegger meninggal di Frieburg pada 26 Mei 1976, tetapi sampai sekarang pesonanya sebagai filsuf tidak pernah luntur terbukti setiap tahunnya banyak mahasiswa filsafat yang datang dan mengunjungi gubugnya di Todtnauberg.
  1. Orang-orang yang Mempengaruhi Martin Heidegger
a.       Edmund Husserl
Sebagai mahasiswa Edmund Husserl dan selama setahun menjadi asistennya pada tahun 1916, Heidegger merasa bahwa pemikiran Husserl terjebak oleh hubungannya dengan konsep Allah dan transenden. Fenomenologi yang dirumuskan oleh Husserl sebagai reduksi fenomenologis atau epoche: anggapan-anggapan bahwa tata-krama itu sudah ada dan entah di dalam atau di luar kesadaran manusia. Memahami fenomenologi dan ontologi dan kaitannya dengan Ada.
Dengan melihat banyak kenyataan-kenyataan di bidang tertentu, seperti misalnya ekonomi, antropologi, sosiologi yang merupakan perkembangan dari bidang keilmuan filsafat. Maka ilmu-ilmu tersebut kini bisa dikenal karena orang sering memakai dan mengambil manfaat praktisnya. Dari cabang keilmuan itu terdapat ilmu yang membahas ‘kenyataan itu sendiri’. Segala kenyataan khusus terdapat dalam satu paket, yaitu satu kategori sebagai satu objek pikiran, dan itulah ‘Ada’. Semua kenyatan itu dapat dikemas dalam dalam satu kata yaitu ‘yang ada’, dan ilmu yang membahas ‘yang ada’ inilah ontology. “Das »Wesen« des Daseins liegt in seiner Existenz”, [4]( 'esensi' dari Dasein terletak pada keberadaannya).
What the term "being there" means throughout the treatise on Being and Time is indicated immediately by its introductory key sentence: "The 'essence' of being there lies in its existence." [Das "Wesen" des Daseins liegt in seiner Existenz.]. To be sure, in the language of metaphysics the word "existence" is a synonym of "being there": both refer to the reality of anything at all that is real, from God to a grain of sand. As long, therefore, as the quoted sentence is understood only superficially, the difficulty is merely transferred from one word to another, from "being there" to "existence." The term "existence" is used exclusively for the being of man. Once "existence" is understood rightly, the "essence" of being there can be recalled: in its openness, Being itself manifests and conceals itself, yields itself and withdraws; at the same time, this truth of Being does not exhaust itself in being there, nor can it by any means simply be identified with it after the fashion of the metaphysical proposition: all objectivity is as such also subjectivity.[5]  

Apa istilah "berada di sana" berarti seluruh risalah tentang Ada dan Waktu diindikasikan segera dengan kalimat kunci pengantar: "The ' esensi ' berada di sana terletak pada keberadaannya." (Das "Wesen" des Daseins liegt di seine Existenz). Yang pasti, dalam bahasa metafisika kata "keberadaan" adalah sinonim dari "berada di sana": keduanya merujuk pada realitas apa saja yang nyata, dari Allah kepada sebutir pasir. Selama, oleh karena itu, kalimat yang dikutip dipahami hanya dangkal, kesulitan tersebut hanya dipindahkan dari satu kata ke yang lain, dari "berada di sana" untuk " eksistensi. "Keberadaan", istilah ini digunakan khusus untuk keberadaan manusia. Setelah "keberadaan" dipahami benar, "esensi " dari berada di sana dapat dipanggil: dalam keterbukaannya, Menjadi sendiri memanifestasikan dan menyembunyikan dirinya sendiri, hasil sendiri dan menarik, pada saat yang sama, kebenaran ini Menjadi tidak buang diri dalam menjadi ada, juga tidak bisa dengan cara apapun hanya diidentifikasi dengan itu setelah fashion dari proposisi metafisik: semua objektivitas adalah seperti juga subjektivitas).

Istilah "berada di sana", 'esensi' dari berada di sana terletak pada keberadaannya. Esensi manusia yang sebenarnya berada pada diri manusia itu sendiri. Bila mereka tidak berada di sana maka tidak bisa dikatakan bereksistensi. Ada di sana dan tidak mengadakan yang lainnya maka juga tidak bisa dikatakan bereksistensi. Ada dan yang lainnya yang ada disekitar kita saling menjelaskan keberadaan masing-masing dan saling berkaitan.
Penampakan Ada tidak sederhana, Heidegger cukup detail dalam memilah jenis penampakan. Pertama, sesuatu bisa menampakan diri seolah-olah  mirip sesuatu/hanya kemiripan saja (Scheinen). Misalnya, saya melihat orang yang mirip bapak saya dari belakang dan ternyata itu bukan bapak saya melainkan orang lain. Kedua, sesuatu bisa menampakan dirinya tetapi dirinya yang sejati tersembunyi di balik penampilannya (Erscheinung). Misalnya, saya sedang sakit demam, demam adalah penampakan suatu penyakit dan penyakit itu sendiri tidak menampakkan diri. Heidegger menyatakan Ada seolah-oleh bermain dan menyingkap dalam ketersembunyiannya dan bersembunyi dalam ketersingkapannya. Pendekatan ontologi sebagai fenomenologi berarti bahwa ‘Ada menampakkan dirinya’.
Pendekatan inilah yang membuat perbedaan pemikiran dengan Husserl sang pelopor fenomenologi itu sendiri. Konsep Husserl meradikalkan tentang intensionalitas yaitu keterarahan kesadaran. kesadaran selalu terarah pada sesuatu di luarnya, baginya intensionalitas adalah kesadaran akan sesuatu. Berbeda terbalik dengan Heidegger yang meradikalkan kosep intensionalitas, bukan hanya kesadaran akan sesuatu, yaitu lebih pada kesadaran dalam/sebagai sesuatu.
Dalam arti kita tidak hanya menyadari sesuatu tetapi kesadaran itu juga turut berperan dalam membentuk kesadaran kita. Dengan demikian kesadaran tidak lebih utama dari Ada, melainkan sebaliknya, kesadaran adalah Ada menampakkan diri. Jadi fenomenologi Husserl adalah suatu epistemologi karena menyangkut ‘pengetahuan tentang dunia’, sedangkan menurut Heidegger adalah suatu ontologi karena menyangkut ‘kenyataan’.
Heidegger menggambarkan kualitas berada di konsep Dasein. Subyek dilemparkan ke dalam dunia yang terdiri dari hal-hal yang berpotensi berguna, budaya dan benda-benda alam. Benda-benda dan artefak datang ke manusia dari masa lalu dan digunakan di masa sekarang demi tujuan masa depan, Heidegger mengemukakan hubungan mendasar antara modus menjadi objek dan kemanusiaan dan struktur waktu. Sebelum mengarak pada dasein kita perlu kembali dalam pemikirannya tentang Ada.
Banyak para filsuf sebelumnya yang tidak menyadari arti Ada itu sendiri. Tanpa sadar mereka mengabaikan kenyataan yang sangat penting yaitu bahwa dunia ada (eksis).[6] Seperti dalam pemikiran Plato  mempertanyakan tentang barang-barang yang berkaitan/berhubungan dengan dunia dan memusatkan pemikirannya pada dunia saja. Berawal dari itu filsuf-filsuf selanjutnya menyibukkan diri dengan memikirkan dunia dan tidak memusatkan pikirannya pada kenyataan yang lebih mendasar: keberadaan dunia itu sendiri.
b.      Hannah Arendt.
Hannah Arendt merupakan mahasiswa dari Martin Heidegger, dan ia memiliki pesona yang tersendiri dalam memikat hati Heidegger. Heidegger sangat tertarik dengan pemikirannya yang sangat cerdas. Tidak hanya itu, ia juga sebagai inspirasi bagi Heidegger untuk membuat karya yang sangat fenomenal yang kita kenal sekarang ini. Karya ini sampai sekarang tidak bisa terselesaikan karena Heidegger terlebih dahulu meninggal dunia.
Bagi Heidegger Arendt merupakan die Passion seines Lebens ‘gairah hidup’-nya. Banyak puisi-puisi yang diubahnya dan dipersembahkan untuk Arendt. Selama ia menjadi mahasiswa Heidegger ia juga menjalin cinta dengannya dan tidak ada seorang pun mengetahui ini. Setiap waktu Arendt selalu datang mengunjungi Heidegger. Sampai pada waktunya Heidegger sakit dan tidak dapat menyelesaikan karyanya dan kemudian meninggal dunia. Sebelum itu Heidegger meminta bantuan pada Karl Jasper untuk membantu mahasiwanya ini dalam menyelesaikan kuliahnya.
c.       Heidegger dan Nazisme
Setelah perang dunia II Heidegger terlibat dengan partai Nazi, penggabungan dirinya dengan partai nazi merupakan kesalahan terbesar yang telah ia lakukan. Pada 1931 ia menyatakan dukungannya pada Hitler. Tepat pada 1933, Hitler merebut kekuasaan dan melancarkan kerusuhan-kerusuhan anti-Yahudi di berbagai kota. Heidegger tidak sepenuhnya pro-Nazi, dan masih menjaga jarak terhadap rezim totaliter ini. Heidegger pernah secara terbuka meminta maaf atas keterlibatannya dengan Sosialisme Nasional.
Bagi para filsuf, ini merupakan salah satu jalan yang salah dan sangat memalukan. Penggabungannya dengan Nazi hanya sebagai perlindungan politik di masa itu. Partai yang sangat keras dan menekankan pada pemikiran ateis membuat pemikiran Heidegger diragukan sebagai seorang filsuf. Penggabungan terhadap nazi membuat ia mendapatkan inspirasi dalam mengartikan manusia atau eksistensi manusia itu sendiri.
Menurutnya manusia adalah Dasein, bahwa mereka tidak mempunyai esensi yang sama. Maka tidak ada alasan untuk berharap bahwa suatu kelompok khusus dasein, akan menghormati hak-hak dari yang lain. Misalnya saya adalah orang Jawa, dan Anda bukan; maka Anda merupakan suatu bahaya bagi saya. Pendapat seperti ini membawa nazi menjadi partai yang besar dan kuat dalam berpolitik.
B.     Pemikiran Martin Haidegger
Berikut pemikiran-pemikiran dari Martin Heidegger:[7]
  1. Mengenai Esensi Kebenaran:
Misteri absolut, dalam misteri yang terdapat dalam dirinya sendiri, dengan meresapi seluruh Dasein manusia…. Semakin ia jauh dalam meresapinya semakin menjadikan dirinya secara eksklusif sebagai ukuran dari segala hal. Kebenaran ini yang mengungkap bahwa suatu subjek itu dinyatakan ada apabila ia berada di sana.
  1. Mengenai Subjek:
Manusia terutama tidak pernah berada menjadi pihak di sini dari dunia sebagai “subjek”, baik dalam arti “Aku” atau pun “Kita”. Secara eksklusif manusia menjadi subjek dan selalu berada dalam hubungan dengan objek sehingga kodratnya harus dilihat di dalam hubungan subjek-objek. Dalam kodratnya, manusia berada (eksis) terutama masuk dalam keterbukaan Ada, dan keterbukaan inilah menjelaskan “antara” yang memungkinkan “adanya” dengan “hubungan” subjek-objek. Secara tidak langsung beradanya manusia menjelaskan antara subjek-objek-nya yang mempunyai hubungan dan tidak dapat dipisahkan.


  1. Mengenai “Tiada”:
‘Tiada’ dinyatakan dalam dasar terdalam dari Dasein, maka dimungkinkan bagi keasingan itu membuat dari ‘yang ada’ menjadi nyata bagi kita, ‘yang ada’ kemudian dibangkitkan dan mengundang kekaguman diri atas kita. Rasa kagum muncul dari pernyataan ‘Tiada’, kemudian muncul lagi pertanyaan “Mengapa”. Pertanyaan “Mengapa” ini, dapat kita gunakan dalam mencari dasar-dasar dan bukti-bukti dalam ‘ada’ itu sendiri. Dalam arti bahwa ‘Tiada’ akan berfungsi bila subjek sudah tidak berada lagi.
  1. Megenai Eksistensi:
To be sure, in the language of metaphysics the word "existence" is a synonym of "being there", both refer to the reality of anything at all that is real,[8] (Yang pasti, dalam bahasa metafisika kata "keberadaan" adalah sinonim dari "berada di sana", Keduanya mengacu pada realitas apa saja yang nyata). Bahasa metafisika menjelaskan kata "keberadaan" merupakan  sinonim dari "berada di sana", keduanya merujuk pada realitas apa pun yang nyata. Penyimpangan yang paling jelas di mana Dasein sebagai kemampuan-bagi-Ada, dapat ada merupakan kebenaran dari eksistensi. Eksistensi merupakan dasar pemikiran untuk memaknai Ada dalam dunia ini. Bila tidak dapat memahami eksistensi sebagai dasar ada, maka akan dianggap tidak ada atau tidak bereksistensi suatu objek tersebut. Eksistensi manusia sangat penting, karena manusia yang mengadakan sesuatu dan disekitarnya adalah ada.
  1. Mengenai “Dasein”:
Untuk menjawab pertanyaan mengenai Ada secara memadai, kita harus membuat entitas-penyidik-yang menjelaskan dalam Ada-nya sendiri. Pengajuan pertanyaan ini merupakan mode suatu entitas dari Ada; dan dengan begitu sifat utamanya dari apa yang dicari-yaitu Ada. Entitas ini yang masing-masing dari kita adalah dirinya sendiri dan yang mencakup pencarian sebagai satu di antara kemungkinan-kemungkinan Ada-nya, kita menyebutkannya dengan istilah Dasein (berada-di-sana).
  1. Mengenai Keterlemparan:
Das Sein des Daseins ist die Sorge. Sie befaßt in sich Faktizität (Geworfenheit), Existenz (Entwurf) und Verfallen. Seiend ist das Dasein geworfenes, nicht von ihm selbst in sein Da gebracht. Seiend ist es als Seinkönnen bestimmt, das sich selbst gehört und doch nicht als es selbst sich zu eigen gegeben hat.[9] (Keberadaan Dasein adalah kekhawatiran. Ini berkaitan dengan sendirinya faktisitas, keberadaan, dan membusuk. Menjadi Dasein dilemparkan, tidak ditempatkan oleh dia di Da nya. Menjadi ditentukan sebagai kemampuan untuk menjadi milik dirinya sendiri dan bahkan tidak diberi kita sendiri karena memiliki). Wujud dari Dasein adalah kekhawatiran. Ini berkaitan dengan faktisitas, keberadaan. Selanjutnya Dasein dilemparkan, tidak ditempatkannya di-Da-nya. Pernyataan itu dimaksudkan sebagai potensi yang dimiliki dalam dirinya dan belum diberikan bahkan oleh mereka sendiri.
  1. Mengenai “berada-dalam-dunia”:
Dasein adalah entitas yang bercirikan ada-dalam-dunia. Hidup manusia bukanlah suatu subjek yang harus menampilkan suatu tipuan agar bisa masuk ke dunia. Dasein sebagai ada-dalam-dunia berarti: berada dalam dunia sedemikian rupa sehingga Ada ini berarti hanya berurusan dengan dunia.
  1. Mengenai “Yang Satu” (“Mereka”):
Kemungkinan-kemungkinan harian Dasein dari Ada adalah untuk diatur oleh Yang Lain sesuka mereka. Yang Lain ini terutama bukanlah Yang Lain tertentu, sebaliknya setiap yang lain dapat mewakilinya. Apa yang menentukan adalah bahwa dominasi diam-diam dari Yang Lain yang telah diambil alih secara tidak sadar dari Dasein sebagai Ada-dengan yang satu termasuk dalam Yang Lain sendiri dan mengangkat kekuatannya…. “Siapa”-nya bukanlah yang ini, bukan yang itu, bukan diri sendiri, bukan orang tertentu, dan bukan kumpulan mereka, “Siapa”-nya adalah netral, yakni mereka.
  1. Mengenai Kecemasan:
Kecemasan melemparkan kembali Dasein pada yang dicemaskan-kemampuan-aslinya-untuk-Ada-dalam-dunia. Die Angst vor dem Tode ist Angst »vor« dem eigenen, unbezüglichen und unüberholbaren Seinkönnen. Das Wovor dieser Angst ist das In-der-Welt-sein selbst. Das Worum dieser Angst ist das Sein-können des Daseins schlechthin. Mit einer Furcht vor dem Ableben darf die Angst vor dem Tode nicht zusammengeworfen werden.[10] (Ketakutan akan kematian adalah ketakutan "sebelum" mereka sendiri, dan kemampuan untuk menjadi tak terkalahkan. Apa yang ketakutan ini adalah di dalam-dunia itu sendiri. Apa ketakutan ini adalah mampu eksistensi seperti itu. Dengan takut akan kematian, takut mati tidak boleh disatukan).
Rasa takut akan kematian merupakan suatu hal yang tidak bisa dihilangkan, karena ketakutan ini menciptakan dunianya sendiri. Rasa takut yang mendalam akan menimbulkan kecemasan dalam diri. Kemudian kecemasan mengindividuasilkan Dasein baginya sendiri sebagian besar Ada di dunia, yang sebagai sesuatu yang dapat memahami, merencanakan dirinya secara esensial atas kemungkinan-kemungkinan. Kecemasan ini yang mendasari Ada atas ketiadaan. Kecemasan akan Kematian (Angst vor dem Tode) inilah yang muncul dalam momen eksistensi.
  1. Mengenai Kematian:
Tidak seorang pun tahan menghadapi kenyataan seseorang meninggal dan terlepas darinya…. Dari esensi terdalamnya, kematian dalam setiap peristiwa adalah kematianku, sejauh kematian itu “ada” sama sekali. Memang kematian menandakan kemungkinan-dari-Ada yang khusus di mana Ada sendiri Dasein seseorang merupakan permasalahan. Dalam mati, ditunjukkan kepemilikanku dan eksistensi secara ontologis merupakan bagian dari kematian. Damit verdeutlicht sich der existenziale Begriff des Sterbens als geworfenes Sein zum eigensten, unbezüglichen und unüberholbaren Seinkönnen.[11] (Dengan demikian, konsep eksistensial kematian seperti yang digambarkan dilemparkan untuk sendiri, dan tak tertandingi kemampuannya untuk menjadi).
Mati bahkan bukanlah peristiwa; kematian adalah gejala yang harus dimengerti secara eksistensial oleh manusia. Kematian adalah totalitas Ada Dasein, dan persis pada titik inilah Dasein kehilangan Ada-nya, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia
C.    Karya-Karya Martin Haidegger
Berikut ini merupakan beberapa contoh karya-karya dari Heidegger yang diterjemahakan dalam bahasa Inggris dalam bentuk buku. Berikut karya-karya Heidegger yang tersedia dalam bahasa Inggris:
1.      Being and Time. Diterjemahkan oleh John Macquuarrie and Edward Robinson. New York: Harper & Row, 1962. (Seind und Zeit, 1927).
2.      Early Greek Thinking. Diterjemahkan oleh David Farrell Krell and Frank A. Capuzzi. New York: Harper & Row, 1975. (Der Sprach des Anaximander” dari Holzwege, 1950, hlm. 296-343; “Logos (Heraklit, Fragment B 50)”, “Moira (Parmenides VIII, 34-41)”, dan “Aletheia (Heraklit, Fragment B 16) dari Vortrage und Auf satze, 1945, hlm. 207-282.
3.      The End of Philosophy. Diterjemahkan oleh Joan Stambaugh. New York: Harper & Row, 1973. (“Die Metaphysik als Geschichte des Seins “Entwurfe zur Geschichte des Seins als Metaphysik”, dan “De Erinnerung in die Metaphysik” dari Nietzsche, 1961, vol. II, hlm. 399-490; “Oberwindung der Metaphysik” dari ortrage und Augsatze, 1954, hlm. 71-99)
4.      The Essence of Reasons. Edisi dalam dua bahasa. Terjemahkan oleh Terence Malick, Evaston, linois: Northwestern University Press, 1969. (Vom Wesen des Grundes, 1929).
5.      Existence and being. Di edit, dengan introduksi, oleh Werner Brock, Chicago: Henry Regnery Company, 1949. (Sebagai tambahan terhadap terjemahan lain dari Bacaan-bacaan II dan III dalam antologi ini, volume ini memuat terjemahan dari “Heimkunft: An die Verwandten” dan “Hoiderlin und Wesen der Dichtung” dari Erlauterungen Zu Holderilius Dichtung, 1951, hlm. 9-45)
6.      Hegel’s Concept of Experience. Diterjemahkan oleh J. Glenn Gray and Fred D. Wieck. New York: Harper & Row, 1970. (“Hegels Begriff der Erfahrung”, Holzwege, 1950, hlm. 105-192.)
7.      Identity and Difference. Edisi dua bahasa. Terjemahan oleh Joan Strambaugh. New York: Harper & Row, 1969 (Identitat und Differenz, 1957)
8.       An Introduction to Metaphysics. Diterjemahkan oleh Ralph Manhheim. Garden City, New York: Doubleday-Anchor Books, 1961. (Einfurung in die Metaphysik, 1953)
9.      Kant and the Problem of Metapgysics. Diterjemahkan oleh James S. Churchill. Bloomington, Indiana: Indiana University Press, 1962. (Kant und das Problem der Metaphysik, 1929)
10.  Nietzsche. Empat volume. Diedit oleh Dafid Farell Krell, New York: Harper & Row, segera terbit. (Nietzsche, 2 Vol., 1961).
11.  On the Way to language. Diterjemahkan oleh Peter D. Hertz and Joan Stambaugh. New York: Harper & Row, 1971. (Unterwegs zut Sprache, 1959. Edisi Inggris tidak mengikuti urutan esai-esai dalam edisi Jerman dan menghilangkan esai pertama-yang muncul dalam Poetry, language, Trought, terdaftar dibawah).
12.  On Time and Being. Diterjemahkan oleh Joan Stambaugh, New York: Haroer & Row, 1972. (Zur Sache des Denkens, 1969).
13.  Poetry, Language, Trought. Diterjemahkan oleh Albert Hofstadter. New York: Harper & Row, 1971. (Aus der Efahrung des denkens, 1954; Der Ursprung des Kunstwekes (Reclam), 1960: “Wozu Dicther?” dari Holzwege, 1950, hlm. 248-295; “Bauen Wohnen Denken”, “Das Ding”. amd “…Dichterisch wohnet der Mensch…” dari Vortrage und Aufsatze, 1954, hlm. 145-204; “Die Sprache” dari Unterwegs zur Sprache, 1959, hlm. 9-33)
14.  The Question Concerning Technology and Other Essays. Diterjemahkan oleh William Lobitt, New York: Harper & Row. (“Die Frage nach der Technik” dan “Wissenschaft und Besinnung” dari Vortrage und Arescitze, 1945, hlm. 13-70; “Die Zeit des Welkbilder” dan “Noetzsche Wor ‘Got ist tot’” dari Holzwege, 1950, hlm. 69-104 dan 193-247)
15.  The Question of Being. Edisi dua bahasa. Terjemahan oleh William Kluback dan Jean T. Wilde, New Haven, Connecticut: College & University Press, 1958. (Zur Seinfrage, 1956)
16.  What Is a Thing? Diterjemahkan oleh W. B. Barton, Jr. dan Vera Deutsch, Chicago: Henry Regnery Company, 1967 (Die Frage nach dem Ding, 1962)
17.  What Is Called Thingking? Diterjemahkan oleh Fred. D. Wieck dan J. Glend Gray, New York: Harper & Row, 1968 (Was Heisst Denken? 1954)
18.  What Is Philosophy? Edisi dua bahasa. Terjemahan oleh William Kluback dan Jean T. Wilde, New Haven, Connecticut: College & University Press, 1958. (Was ist das-die Philosophie? 1956)


[1] F. Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), h. 7.
[2] K, Bertens. Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 155.
[3] Karya tulis untuk menjadi profesor di Jerman.
[4] Martin Heidegger, Sein Und Zeit (Tubingen: Max Niemeyer, 1953), paragraf 1, h. 42.
[5]                               , Existence and being di edit dengan introduksi, oleh Warner Brock, (Chicago: Henry Regnery Company, 1949), h. 42.
[6] Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts. Heidegger untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 31.
[7] Ibid, h. 109.
[8] Martin Heidegger, Existence and being. h. 7
[9] Martin Heidegger, Sein Und Zeit, paragraf 58, h. 284.
[10] Ibid, paragraf 50, h. 251.
[11] Ibid, paragraf 46, h. 236-237.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar