BAB III
KEMATIAN
A. Pengertian
Kematian
Kehidupan di
dunia ini selalu berkaitan dengan siklus. Siklus merupakan suatu proses demi
berkelangsungan makhluk hidup. Hidup dan mati dua kata yang tidak bisa
terlepaskan dari keberadaan dunia, kata tersebut juga berkaitan dengan makhluk-makhluk
yang hidup dan yang berada di dunia. Setiap makhluk yang hidup pasti mati, itu
sudah menjadi takdir dan merupakan jalan dari kehidupan itu sendiri. Kehidupan
manusia yang beragam cara dalam mempertahankan diri dan menghadapi kehidupan
ini merupakan salah satu langkah mereka untuk mencari arti kehidupan itu
sendiri.
Hidup tidak sama
artinya dengan kehidupan, hidup diartikan bahwa adanya roh yang diberikan Tuhan
kepada makhluk-Nya. Hidup juga bukan lawan kata dari mati. Kehidupan merupakan
warna dari hidup itu sendiri, mulai dari makhluk itu lahir sampai dia mati.[1]
Ada tiga makhluk hidup yang ada di dunia ini, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
manusia itu sendiri. Tumbuh-tumbuhan hanya menerima ganggguan dari makhluk
lainnya dengan pasrah tanpa ada balasan.
|
Manusia
merupakan makhluk yang berpikir, sempurna dan perasa. Manusia dalam menjalani
ragam kehidupan di dunia tidak pernah lepas dari perasa. Mereka menggunakan
rasa iba misalnya dalam membantu dan melihat orang lain disekitarnya maupun makhluk
hidup lainnya. Makhluk hidup yang terdiri dari roh dan jiwa serta pikiran dan insting, itulah manusia. Manusia
terdiri dari jiwa dan materi.
Tubuh merupakan
materi dan jiwa adalah bentuk dari keduannya dan tidak dapat dipisahkan.
Hanyalah pikiran yang dapat memisahkan dari keduanya dan kematian. Aristoteles
menjelaskan manusia adalah makhluk yang memiliki rasio.[2]
Manusia merupakan makhluk yang dilahirkan di bumi seperti halnya makhluk
lainnya, tetapi mereka mempunyai keingginan yang sangat tinggi menjadi penguasa
di bumi.
Manusia pada
hakekatnya bereksistensi, beraktivitas, dan bagian dari alam itu sendiri.
Heidegger menjelaskan manusia sebagai Dasein. Manusia adalah “Ada” yang
berada “di situ”, manusia tidak begitu saja tetapi secara erat berpautan dengan
Ada-nya sendiri.[3]
Manusia hidup di dunia merupakan suatu keberadaan yang jelas bahwa mereka
adalah makhluk ciptaan Tuhan. Mereka harus bertanggung jawab dan menjalankan
semua aktivitas dunia demi keberlangsungan hidup manusia. Mereka yang hanya
diam dan bergantung dengan orang lain dalam waktu yang singkat mereka akan
mengalami kematian.
Mati merupakan
lawan dari lahir, dan kematian merupakan proses yang terjadi dan dialami oleh
setiap makhluk yang hidup. Kematian adalah proses perceraian antara tubuh dan jiwa
serta merupakan pengalaman fundamental bagi manusia. Kematian sebagai dasar
eksistensialisme manusia, agar dapat menyempurnakan diri manusia dengan
mewujudkan eksistensi secara otentik. Kematian merupakan situasi batas yang
paling batas. Manusia sebagai makhluk bebas menentukan setiap eksistensinya
sendiri.[4]
Eksistensi hanya dapat diterangai dengan menggunakan kategori-kategori sendiri
yaitu kebebasan. Maka manusia bergerak kearah yang transenden (Tuhan) dengan
melalui kematian. Manusia yang lahir kedunia secara tidak langsung sudah
mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.
Kematian tidak
pernah pandang bulu; tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin, kuasa-lemah,
mulia-hina, pandai-bodoh, terpandang-ternista, dan lain sebagainya. Namun,
sedikit sekali di antara kita ada yang mau merenungkannya secara mendalam.
Kebanyakan orang cenderung menganggap kematian (yang menimpa makhluk lain)
sebagai suatu ‘mimpi buruk’ yang perlu segera dilupakan. Kematian dipandang
sebagai momok menakutkan yang layak dihindari, dijauhkan dari pikiran; bukan
sebagai suatu kenyataan yang patut dihadapi, disadari dengan kematangan batin.
Manusia takut
membayangkan bahwa suatu waktu nanti, cepat atau lambat, mereka pun tidak
terlepas dari cengkeraman kematian. Sesungguhnya, perasaan takut terhadap
kematian itu jauh lebih buruk dari pada kematian itu sendiri. Pemikiran manusia
yang seperti ini menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Membahas tentang
kematian dapat menimbulkan ‘pemberontakan’ yang menyimpan kepedihan pada jiwa
manusia dalam kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah
semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran ini memunculkan
penolakan besar bahwa kita tidak ingin ‘cepat mati’. Sifat seperti ini sudah
menjadi dasar dalam pikiran manusia, mereka menginginkan kehidupan yang abadi
dan kekal dan terlepas bakan terhindar dari kematian.
Mengapa manusia
enggan mati? Pertanyaan ini selalu ditanyakan pada mereka yang sangat cinta
pada dunia. Kenikmatan dan keindahan dunia dengan segala kemegahannya membuat
mereka enggan mati. Mereka juga takut dengan kemisteriusan kematian itu
sendiri. Kematian yang datang setiap saat membuat orang takut dalam menghadapi
kematian. Dengan demikian kematian merupakan hal yang sangat mendebarkan,
bahkan menakutkan hingga membuat jiwa dan pikiran tergunjang dan tidak dapat
berkonsentrasi dalam menjalani hidup.
Kematian
merupakan alam pertama yang akan dilewati setiap manusia setelah kehiduan
didunianya. Kata ‘mati’ di sini diartikan terpisahnya jiwa dari raga/tubuh
manusia maupun makhluk hidup.[5]
Mati juga bisa diartikan tidak ada kehidupan atau tidak bisa digunakan lagi.
Suatu benda yang ‘mati’ misalnya mesin, bisa jadi benda tersebut rusak atau
mengalami konslet dan tidak bisa digunakan lagi. Dalam arti tidak ada energi
yang mengaliri maupun menggerakkan benda tersebut. Apabila benda itu mati dan
tidak bisa digunakan maka tidak jauh beda bahwa benda mati tersebut merupakan
sebuah alat yang sudah tidak berfungsi lagi. Begitu halnya sama dengan makhluk
hidup, apabila mereka mengalami kematian maka tidak jauh beda dengan benda yang
tidak ada energi yang mengaliri dalam kehidupannya.
Dalam kamus
bahasa Indonesia mati didefinisikan sudah tidak bernyawa lagi. Nyawa diartikan
sebagai sesuatu yang menyebabkan makhluk hidup. Banyak yang mengartikan ‘mati’
dengan sudut pandang yang berbeda seperti, kebanyakan orang tradisional
mengartikan ‘mati’ sudah tidak ada cara kerja jantung sebagai penentu utama
kehidupan dan jantung berhenti berdetak. Maka kondisi tersebut orang dikatakan
sudah ‘mati’. Pendapat seperti ini ditolak oleh para ahli medis, bahwa orang
bisa bernafas tanpa adanya jantung sebagai pemompa oksigen keseluruh tubuh.
Pernapasan
mekanis (respirator) adalah alat bantu bagi makhluk yang mengalami
kesulitan dalam bernafas. Apabila jantung sudah berhenti berdetak, tetapi
aliran otak masih bekerja maka manusia tersebut bisa dibantu dengan menggunakan
respirator sebagai pernapasannya. Definisi tentang kematian pun berkembang
dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Para ahli medis mengatakan
bahwa organ utama dalam tubuh adalah jantung, paru-paru, dan otak merupakan
organ yang saling terkait dalam proses kehidupan makhluk hidup salah satunya
manusia.
Apabila ketiga
organ tersebut sudah berhenti berfungsi maka barulah dikatakan bahwa orang
tersebut telah mati. Saat ini kematian didefinisikan menjadi 4 macam; mati
kliniks, mati bioligis, mati otak dan mati sosial.[6]
1.
Mati Klinis
Mati
klinis merupakan berhentinya organ safar pada otak, jantung dan paru-paru.
Proses seperti ini bisa digantikan dengan rusitasi jantung paru (RJP) yang
merupakan suatu cara untuk mencegah suatu episode henti jantung yang berlanjut
pada kematian.
2.
Mati Biologis
Mati
biologis yang ditandai dengan berhentinya semua organ di dalam tubuh. Mati
biologis ini selalu berkaitan dengan mati klinis, dengan syarat utama tidak
diberlakukannya resusitasi jantung paru (RJP).
3.
Mati otak
Mati
otak (serebral), otak yang merupakan bagian utama dan terpenting dalam
hidup manusia maupun makhluk lainnya. Otak sebagai pengatur kehidupan manusia,
tanpa otak manusia tidak akan pernah bisa hidup. Apabila semua organ telah
berhenti berfungsi tetapi otak masih dapat bekerja maka orang tersebut dapat
ditolong dengan bantuan medis. Mati otak merupakan kerusakan yang terjadi pada
otak besar. Otak besar yang berfungsi sebagai pengatur semua aktivitas mental
manusia. Tanda klinis apabila terjadi mati otak, bila RJP sebagai langkah dalam
mengantisipasi kehidupan manusia sudah tidak berfungsi lagi. Selama 15-30 menit
seseorang tidak mencapai pada kesadaran normal, tidak dapat bernafas dengan
spontan serta tidak ada reflesi gerak pada rahang atau mulut atau anggota tubuh
lainnya.
4.
Mati sosial
Mati
sosial merupakan kematian yang sangat berpengaruh pada lingkungan karena sudah
tidak berfungsinya otak dan sudah tidak adanya respond untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak hanya itu,
disertai pula dengan siklus kesadaran yang menurun, anatara sadar dan koma
begitu terus berulang-ulang.
Di Indonesia
sendiri mengacu pada hukum dalam menyimpulkan suatu kejadian apabila ada
kematian yang terjadi pada seseorang. Orang dikatakan mati dengan terlepasnya
roh dari raga/tubuh manusia. Dan apabila orang tersebut sudah mengalami mati
batang otak (MBO) sebagai patokan bahwa orang tersebut dikatakan mati dan sudah
tidak ada alat medis yang dapat membantunya, inilah arti kematian bagi seseorang
menurut hukum Indonesia.
Manusia secara
kodratnya terdiri dari jiwa dan raga. Dalam trikhotomi manusia terdiri dari
jiwa, roh dan badan/tubuh. Tubuh/badan/raga manusia merupakan unsur yang dapat
di lihat dan dapat ditangkap dengan indera, ini merupakan unsur lahiriah dari
manusia itu sendiri ataupun makhluk hidup lainnya.[7]
Tubuh manusia merupakan sebuah alat yang digunakan roh dalam menjalani
kehidupan di dunia. Roh merupakan unsur yang tidak dapat di lihat dengan mata
telanjang dan esensi dari manusia itu sendiri. Tanpa adanya roh manusia tidak
akan bisa hidup dan menjalani serba-serbi kehidupan di dunia.
Roh adalah
prinsip hidup manusia yang dihembuskan Tuhan/pancaran Dzat Ilahi ke dalam raga/badan
manusia.[8]
Setiap hal yang dikerjakan atau diperbuat manusia saat berada di dunia dan
nantinya roh yang akan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Tubuh manusia
diatur dan digerakan oleh roh yang berpusat pada otak manusia yang menentukan sebuah
berbuat baik ataupun buruk. Roh dan raga dalam hidupnya akan terus bersatu dan
hanya terpisahkan oleh kematian. Tanpa adanya kematian raga dan jiwa tidak akan
bisa saling berhubungan. Raga yang bersifat sementara dan dapat hancur, sedangkan
roh yang bersifat kekal tidak akan pernah hancur. Keduanya saling berhubungan
dan keterkaitan, begitu halnya dengan hidup dan mati, baik dan buruk. Tanpa ada
salah satunya maka semua itu tidak ada.
Selain raga dan roh, manusia hidup juga memiliki jiwa.
Plato mendefinisikan
jiwa manusia sebagai sesuatu yang memiliki substansi sendiri terpisah dari
jasad dan bersifat abadi. Kedudukan ini hampir sama dengan roh yang bersifat kekal.[9]
Jiwa menempati tempat yang tertinggi tetapi terkurung dalam tubuh. Jiwa tidak
bisa berdiri sendiri dan melakukan semua kebebasan, sedangkan tubuh bisa
melakukan kebebasan tanpa batas bahkan melanggar peraturan-peraturan, karena
adanya toh dalam tubuh.
Apabila seseorang
mati maka jiwanya akan tetap ada dan kembali ke dunia idea di mana terdapat
segala hal yang sempurna dan kemudian jiwa akan berenkarnasi diri dan tumbuh
kembali pada saatnya tiba. Aristoteles juga menjelaskan antara jiwa dan tubuh
merupakan kesatuan dan oleh karenanya jika seseorang mati maka konsekuensinya
jiwa pun turur mati bersama tubuh.[10]
Begitu tinggi dan sulitnya pemikiran dari kedua filsuf tersebut untuk dicerna
secara singkat. Keduanya mempunyai konsep yang sempurna dan jauh dari pemikiran
orang lain. Konsep-konsep tersebut juga mengalami kelemahan dalam memetakan pengertian
roh dan jiwa, menurut para ahli jaman sekarang ini timbul pertanyaan, dimanakah
letak jiwa, roh, dan raga.
Pandangan Agama
menjelaskan bahwa, jiwa dan roh merupakan kesamaan arti dan tidak jauh berdeda.
Jiwa adalah roh itu sendiri begitu sebaliknya. Roh merupakan energi kehidupan
suatu makhluk. Tidak adanya roh yang dihembuskan Tuhan, maka tidak akan ada
suatu makhluk yang hidup di dunia. Memang secara sekilas roh dan jiwa merupakan
satu kesatuan, tetapi roh dan jiwa bila diamati dan dipikirkan lebih detail mempunyai
perbedaan.
Seseorang ahli
tafsir membagi roh menjasi 3 macam, Roh Sulthoniah, Roh Rohaniah, dan Roh
Jasmaniah:[11]
1.
Roh Sulthoniah:
Sulthon
berarti kepemerintahan, jadi sulthoniah besifat memerintah. Roh ini letaknya di
otak sehingga mampu mengatur dan memfungsikan semua organ-organ kecil otak dan
menjalankan semua laku badan. Roh ini hanya mengatur semua gerak tubuh lewat
sistem saraf yang ada pada makhluk hidup. Bila terjadi sesuatu pada makhluk tersebut
roh sulthoniah tidak dapat merasakan.
2. Roh
Rohaniah:
Seperti
yang sudah dijelaskan, roh sulthoniah yang berada di otak dan berfungsi sebagai
pengatur semua sistem saraf manusia. Maka tidak jauh beda dengan roh rohaniah
yang merupakan bawahan dari roh sulthoniah sebagai pemerintah. Roh rohaniah
terletak pada jiwa/hati manusia. Bila seseorang sedang mengalami rasa kecewa,
sedih, bahagia dan lain sebagainya roh rohaniahlah yang merasakan itu semua.
Dalam arti roh rohaniah lebih bersifat perasa dan merasakan semua yang dialami
oleh manusia.
3. Roh
Jasmaniah:
Roh
jasmaniah terletak disela-sela antara daging dan darah, antara urat nadi dan
saraf-saraf lainnya. Jasmani merupakan suatu kesatuan organ tubuh makhluk
hidup. Roh ini merupakan urutan paling bawah dan sebagai wadah dari kedua roh
sebelumnya. Seperti yang sudah dijelaskan ketiganya mempunyai kaitan yang
penting. Bila tubuh suatu makhluk mengalami kerusakan, roh jasmanilah yang
pertama kali menerima dan kemudian roh rohaniah yang merasakan.
Jiwa merupakan unsur
batiniah dari manusia. Roh tetaplah prinsip manusia. Ini jelas roh dan jiwa ada
perbedaan. Descartes menjelaskan antara roh dan jasad itu tidak unsur yang
satu, melainkan memiliki sifat yang berbeda.[12]
Pertama: tubuh membutuhkan roh untuk hidup, dan kedua: roh tidak membutuhkan
tubuh untuk hidup karena roh dapat berdiri sendiri tanpa adanya tubuh. Dan roh
tidak bisa mati karena roh yang menyebabkan tubuh itu menjadi hidup. Semuanya
memang kasat mata dan tidak dapat dirasakan oleh alat indera. Jiwa yang terdiri
dari emosi, pikiran, kehendak dan perasaan manusia. Sedangkan roh merupakan
kesatuan spiritual manusia dengan Tuhan sebagai sang penciptanya. Jiwa
ibaratkan sebagai ‘perekat’ yang menjadi penghubung antara roh dan raga.
Apabila terjadi
kematian pada suatu makhluk atau manusia jiwa pun sudah tidak berfungsi lagi
dan terlepas dari raga. Jiwa yang diberikan oleh Tuhan dengan perjanjian suatu
saat nantinya akan dicabut sesuai kehendak Tuhan, dan inilah kematian yang akan
dijalani oleh manusia. Dan kematian ini
bersifat misteri dan tidak direncanakan bahkan tak seorang pun
mengetahui kapan dan di mana kematian itu ada.
Secara alamiah
kematian suatu makhluk hidup disebabkan oleh faktor usia. Tidak hanya itu
kecelakaan, sakit keras yang tidak dapat disembuhkan lagi, menjadi salah satu faktor
kematian manusia. Menurut ahli medis kematian terjadi apabila berhentinya
seluruh aktifitas metabolisme dalam tubuh manusia.[13]
Beberapa hal yang selalu menjadi rahasia Tuhan untuk manusia adalah kematian,
jodoh dan rejeki. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui dari ketiga rahasia
Tuhan tersebut, begituhalnya tentang kematian yang hampir setiap insan manusia
takut dalam menghadapinya.
Kematian memang
misteri yang tidak bisa diungkapkan oleh manusia akan tetapi sebelum kematian
menimpa seseorang, ada tanda-tanda yang terjadi sebelum ia mengalami kematian.
Misalnya seseorang akan mengalami suatu perubahan yang tidak seperti biasanya.
Seperti halnya mendengar suara aneh-aneh, perasaan kadang-kadang kosong, adanya
bayangan-bayangan yang menghampirinya dan sebagainya. Ini hanyalah sebuah
gambaran semata dalam mengartikan tanda-tanda kematian, dan seseorang yang
menalami kematian sebenarnya merasakan ini semua akan tetapi ia tidak
menghiraukannya dan menganggap semua itu hanyalah ilusi semata.
Hakekat mati
dapat juga diartikan sebagai sudah tidak adanya lagi suatu subjek. Matinya
manusia adalah matinya raga yang sudah tidak berfungsi lagi sesuai aturan saraf
otak. Raga manusia bisa membusuk dan habis tetapi roh manusia akan terus kekal
dan akan mendapat balasan atas segala perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya.
Matinya manusia disebabkan terputusnya roh dan raga yang sejak lahir mengalami
koneksi demi keberlangsungan hidup.
Setelah menghadapi
proses kematian, koneksi tersebut terputus dari urusan tubuh manusia. Dan mati
itu ibarat dari ke-tidak-patuhan anggota-anggota badan seluruhnya, karena badan
ibarat alat yang digerakkan oleh roh, dan roh ialah yang memakai alat-alat
tersebut.[14]
Selanjutnya roh yang akan melangsungkan kehidupan. Heidegger menjelaskan, matinya
manusia atau suatu makhluk menandakan sebagai puncak dari eksistensi makhluk
itu sendiri. Pemikiran inilah yang mendasari pemikiran Heidegger tentang
kematian.
B.
Dasar
Kematian
Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam
evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan
segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan. Kematian dalam
Agama-Agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan aqidah
serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak
akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri
menghadapinya. Maka dari itu, Agama-Agama menganjurkan manusia untuk berpikir
tentang kematian. Rasul Muhammad saw, bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus
segala kenikmatan duniawi (kematian).”
Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul
setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya
hidup setelah kematian. Dari Al-Qur’an ditemukan bahwa kehidupan yang
dijelaskannya bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan,
binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu
kehidupan Yang Maha hidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali
ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat.
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada
hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan
dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak
dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian
juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila
meninggalkan dunia ini (mati).
Seperti yang
sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-‘Ashr yang berarti ‘masa’ menegaskan,
betapa ruginya manusia hidup yang tidak memanfaatkan waktu sebagai mana
mestinya. Waktu merupakan batas dalam kehidupan manusia. Waktu menjadi pertanda
seberapa lama manusia hidup dan menjalani kehidupan di dunia. Setiap manusia yang mengalami
musibah menjadi bukti kasih sayang dari Tuhan pada makhluknya. Kematian yang
datang menjemput menjadi musibah terbesar dalam kehidupan manusia.
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada
bahwa ia juga akan mati seorang diri, tapi terkadang seorang manusia hanya
memenuhi nafsu duniawi dan lalai akan tugasnya sebagai manusia untuk selalu
taat pada Allah. Kelalaian manusia tersebut akan berakhir ketika ajal sudah
menjemput dan jasad masuk dalam kubur. Kematian memang suatu yang sangat
menakutkan. Manusia lalai terhadap kematian, karena diakibatkan kurangnya
perenungan dan ingatan terhadap kematian itu. Untuk menghujamkan kematian pada
hati manusia maka harus dapat mengosongkan hati dan pikirannya terhadap nafsu
duniawi.
Pedihnya dan beratnya siksa kubur harus berakar kuat pada
hati manusia sehingga ketika dalam keadaan sepi dapat meneteskan air mata untuk
meresapi dan menghayati betapa perihnya siksa kubur itu. Hal yang paling
penting adalah manusia dapat mengukur diri dari nista dan dusta dari siksa
kubur yang akan kita dapat. Dengan demikian manusia akan termotivasi untuk
selalu mempersiapkan diri dan bekal untuk menghadapi kematian.
C. Alam
Kematian
Kematian buakanlah
akhir dari perjalanan hidup seseorang, tetapi merupakan garis transisi untuk
memulai hidup baru dialam yang baru. Menurut Heidegger, “Welt, ist ontolo-gisch keine Bestimmung des Seienden, das wesenhaft
das Dasein nicht ist, sondern ein Charakter des Daseins selbst. Das schließt
nicht aus, daß der Weg der Untersuchung des Phänomens ‘Welt’ über das
innerweltlich Seiende und sein Sein genommen werden muß.”[15]
("Dunia, ontologis ada
ketentuan dari makhluk itu, keberadaan tidak
penting, tapi karakter dari
eksistensi itu sendiri Ini tidak mengesampingkan bahwa cara studi tentang fenomena 'dunia' pada
makhluk-batin duniawi
dan yang dibawa harus).
Kata ‘dunia’ (welt) bisa berarti ontis yakni seluruh mengada atau realitas, serta secara
ontologis yaitu Ada dari mengada,
bisa juga eksistensial yaitu sifat keduniaan Dasein. Hanya Dasein-lah,
mengada bisa mengartikan ruang dan
waktu. Manusia bisa mengetahui adanya dunia artis, dunia olahraga, dunia
pendidikan dan sebagainya. Dunia-dunia ini bukanlah ruang kosong melainkan
sudah dimaknai oleh keberadaan Dasein. Dasein yang dimaksud
Heidegger tidak ‘terletak’ disuatu tempat melainkan ‘memukimi’ suatu tempat.
Maka dari itu Dasein
yang diartikan sebagai Ada-di-dalam-dunia, ‘di-dalam’-nya inilah yang diartikan
manusia bermukim dan kemudian mempunyai sifat ‘kerasan’ atau betah. Kita tidak
tergeletak di dalam dunia, melainkan kerasan dengan memaknai ruang dan titik
yang ada di setiap dunia. Kita yang menjalani setiap aktivitas kehidupan di
dunia dan merasakan setiap hal yang terjadi di sana. Hingga pada waktunya berakhir
dengan kematian dan ini membuat semua manusia menjadi cemas dan takut dalam
menghadapinya.
“Im
Tod ist das Dasein weder vollendet, noch einfach verschwunden, noch gar fertig
geworden oder als Zuhandenes ganz verfügbar. So wie das Dasein vielmehr ständig,
solange es ist, schon sein Noch-nicht ist, so ist es auch schon immer sein
Ende. Das mit dem Tod gemeinte Enden bedeutet kein Zu-Ende-sein des Da-seins,
sondern ein Sein zum Ende dieses Seienden. Der Tod ist eine Weise zu sein, die
das Dasein übernimmt, sobald es ist. »Sobald ein Mensch zum Leben kommt,
sogleich ist er alt genug zu sterben.”[16]
(Dalam kematian, Dasein adalah tidak lengkap,
atau hanya menghilang,
namun menjadi lebih selesai atau pada tangan semua
tersedia. Sama seperti keberadaan
agak terus-menerus, selama itu, sudah adalah
miliknya yang belum, sehingga
selalu berakhir. Itu berarti
kematian berakhir berarti tidak ada to-be-akhir
Da-sein, tetapi berada di ujung entitas ini. Kematian adalah menjadi
cara yang mengasumsikan keberadaan
secepat itu. "Segera
setelah seseorang datang untuk hidup
setelah ia sudah cukup tua untuk mati).
Dalam kematian, Dasein
tidak akan lenyap, atau hilang
begitu saja, sebelum menjadikan makhluk
disekitanya menjadi ada.
Bereksistensi dengan makhluk lainnya merupakan bukti beradanya di dunia. Tanpa
menyadari keberadaan makhluk di sekitar kita maka kita tidak dapat dikatakan
bereksistensi. Sama halnya
seperti
keberadaan yang konstan, selama
itu, Dasein
telah
menjadi miliknya yang belum
berakhir
. Itu berarti tidak berarti Dasein
berakhir
dengan kematian menjadi akhir-yang-ada, tetapi berada di akhir makhluk ini.
Kematian adalah suatu cara dalam mengasumsikan
keberadaan setelah itu. Misalnya,
ketika
seorang pria datang untuk hidup setelah dia cukup umur dan
kemudia dia mati saja.
Hidup dan
matinya manusia tidak ada yang mengetahui kecuali Tuhan semesta alam yang
meciptakan. Manusia hanya menjalani kehidupan seperti apa yang telah diciptakan
Tuhan pada mereka. Kaya miskin, cantik jelek, merupakan salah satu warna yang
mereka jalani. Manusia tidak bisa memilih untuk menjadi yang terbaik. Mereka
hidup di dunia tidak pernah tahu dari mana dan akan ke mana mereka hidup. Alam
dunia merupakan alam yang kedua dalam fase kehiduan yang dialami oleh setiap
manusia. Alam yang pertama adalah alam kandungan, alam kehidupan, alam
kubur/barzah, dan terakhir alam akherat.[17]
Semua orang
mempercayai dan meyakini bahwa mereka akan menjalani proses kehidupan di setiap
alam tersebut. Hanya saja yang akan di ingat dan menjadi memori mereka adalah alam
dunia. Bayi yang baru lahir di dunia merupakan salah satu contoh. Setiap bayi
yang baru lahir mereka tidak akan bisa mengingat proses kehidupan yang
dialaminya selama sembilan bulan dalam kandungan ibu. Setelah ia lahir barulah
Tuhan memberikan daya pikir dan kecerdasan padanya yang ia gunakan untuk
menjalani proses kehidupan di dunia.
Banyak sekali
proses kematian yang terjadi di dunia ini, seperti halnya kecelakaan,
pembunuhan, bunuh diri dan lain sebagainya. Manusia tidak menyadari bahwa hidup
di dunia merupakan langkah yang harus mereka hadapi menuju pada kehidupan yang
sebenarnya. Banyak manusia yang merasa tertekan dalam menghadapi kematian orang
disekitarnya. Sehingga tidak sedikit pula mereka mengalami gangguan psikologis
dan menyebabkan stress berat hinggga berakhir pada kegilaan. Fenomena ini
adalah contoh dari realita kehidupan yang terjadi di sekitar kita. Ketakutan
menjadi momok utama mereka dalam menjalani hidup. Mereka tidak menginginkan hidup mereka
berhenti pada kematian dan upaya apa saja yang mereka lakukan untuk mencari
kehidupan abadi.
Alam dunia yang
sering di kenal oleh manusia adalah alam yang sangat indah dan merupakan alam
yang kekal. Pendapat seperti ini selalu disalahkan oleh mereka yang memikirkan
alam selanjutnya yakni alam kubur dan alam akherat. Alam akherat-lah yang
merupakan alam abadi dan kekal yang akan dijalani oleh setiap manusia hidup dan
kemudian mati. Manusia yang belum mati tidak akan pernah mengetahui bagaimana
dan apa yang akan terjadi di alam aherat.[18]
Perpindahan dari alam dunia ke alam akherat merupakan suatu nikmat tersendiri
yang dialami oleh setiap manusia. Suatu keajaiban yang Tuhan berikan dan tidak
dapat diteliti dengan ilmu apapu dalam proses perpindahan ini, dan manusia
tidak mengetahui kapan proses ini akan terjadi pada dirinya.
Pikiran,
perasaan, nafsu yang diciptakan Tuhan saat manusia itu mau menjalani kehidupan
dunia. Dan sudah menjadi kodratnya manusia hidup di dunia merupakan suatu
petualangan yang mereka jalani. Manusia yang terus berputar dalam sebuah
lingkaran kehidupan dari generasi kegenerasi selanjutnya. Generasi pertama
hidup dan kemudian hilang, dilanjutkan generasi yang kedua begitu seterusnya
sampai akhir dunia ini tiba. Setiap generasi akan terus berkembang dan muncul
pemikiran yang baru dalam menciptakan generasi. Langkah pendidikan yang
diberikan dari generasi pertama dan kemudian berlanjut pada generasi
selanjutnya merupakan langkah yang sangat strategis dalam menciptakan generasi.
Esensi hidup
manusia di dunia merupakan kebersamaan dalam kebebasan. Seperti dalam hukum
sosial manusia tidak akan hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Inilah
bukti esensi hidup manusia di dunia. Mereka saling ketergantungan, saling
membantu dan saling mempengaruhi dalam menjalani hidup, ini merupakan contoh
hidup yang dijalani oleh setiap manusia. Esensi hidup manusia di dunia yang
sebenarnya adalah suatu pengabdian.[19]
Manusia akan
mengabdi pada dirinya sendiri, mengabdi pada Tuhan dan mengabdi pada kehidupan
dunia. Pengabdian pada Tuhan merupakan kodrat manusia hidup di dunia. Setiap
bayi yang baru lahir dari berbagai golongan dan ras mereka akan mencari
Tuhannya disaat mereka beranjak dewasa. Seperti pengabdian pada lingkungan yang
dimaknai dengan bentuk kepedulian terhadap dunia liar dan luar. Ia menyadari
bahwa hidup itu harus berguna dan bermakna bagi orang lain, ini merupakan bukti
esensi hidup manusia.
Selain bukti
pengabdian manusia sebagai esensi manusia hidup di dunia, manusia hidup di
dunia juga mengalami keterbatasan. Keterbatasan hidup manusia di atur oleh
waktu.[20]
Dimensi ruang merupakan tempat berpijaknya manusia hidup di dunia. Bumi merupakan
perantara yang berupa hamparan dan memiliki sifat subur agar manusia dapat
bertahan hidup dengan energi yang dihasilkan bumi dari kesuburannya. Setelah
bumi sudah tidak dapat lagi menghasilkan sesuatu yang dapat membuat manusia
untuk bertahan hidup. Maka mereka akan pindah kesuatu tempat yang dapat
memberikan kehidupan bagi kelompok mereka. Seperti yang digambarkan oleh
manusia itu sendiri dengan melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mencari
planet yang dapat di huni, untuk mengantisipasi bila nantinya bumi tidak dapat
menampung semua golongan makhluk hidup.
Hidup di dunia
yang sangat singkat mengharuskan manusia harus berbuat baik dalam menjalani kehidupan.
Mereka selalu berlomba-lomba mencapai tujuan yang terbaik dan berusaha di
puncak tertinggi kebaikan. Mereka juga berusaha menjaga kebaikan tersebut
terhindar dari sifat sombong dan angkuh. Bila kebaikan tersebut terdapat
sedikit sifat sombong, maka bagaikan gunung yang menjulang tinggi dan kemudian
runtuh tidak berarti. Tidaklah mudah manusia mencapai puncak tertinggi dalam
menuju kebaikan.
Kehidupan
merupakan kesempatan manusia untuk memunculkan potensi diri untuk orang lain.
Kesempatan berbagi suka dan duka dengan orang yang disayangi. Kehidupan adalah…
(dalam maksud) inilah salah satu nafsu yang diciptakan Tuhan pada manusia.
Manusia tidak akan merasa puas sebelum mereka mencapai puncak tertinggi dalam
kehidupan. Sebenarnya kehidupan yang berarti adalah hidup kita dapat berguna dan
bermanfaat bagi orang lain, inilah kehidupan manusia yang berada di puncak
tertinggi.
D. Ada
dan Tiada
Ada merupakan
bukti dari eksistensi suatu makhluk, dan ia akan mengadakan makhluk sekitarnya
sebagai tanda keberadaannya di dunia. Bukti ini akan terus berlangsung hingga
makhluk itu dihadapkan pada kematian atau ke-tiada-an suatu makhluk.[21]
Kematian yang membawa manusia pada puncak eksitensinya. Bila setiap makhluk itu
masih hidup dan bernafas ia akan terus berusaha menunjukkan jati dirinya pada
dunia bahwa ia ada dan berada di dunia. Dengan segala aktivitas yang
dilakukannya menunjukan upaya dan usaha dalam bereksistensi.
Tanpa disadari
keberadaan setiap makhluk sangat berpengaruh dan saling mempengaruhi. Di samping
itu benda dan tumbuhan yang ada disekitarnya juga menunjukan setiap keberadaan
suatu mahkluk. Misalnya dalam ruangan yang gelap kita (manusia) berada di sana.
Kita tidak tahu apa dan dalam bentuk apa yang ada di sekitar kita. Tanpa adanya
cahaya atau penerangan kita tidak dapat mengetahui ada yang lain di sekitar
kita. Cahaya di sini menunjukan bahwa ada manusia yang berada di sana. Tanpa
cahaya keberadaan kita juga tidak bisa diketahui. Disamping itu ada merupakan
syarat mutlak dari pengada-pengada yang berada di sana. Tanpa ada, tanpa
eksistensi dasar, tidak ada individu yang dapat ada.
Tiada atau
ketiadaan merupakan kemungkinan tidak-beradanya semua benda di sekitar kita.
Misalnya yang kita kenal saat ini adalah ‘seni’. Adanya ‘seni’ membawa
pemikiran setiap manusia untuk menungkan segala ekspresi dan inspirasi manusia
untuk berpikir. Hingga saat ini kita mengenal adanya ‘seni’ tari, ‘seni’ rupa, ‘seni’
lukis dan lain sebagainya. Sejenak kita berpikir bila tidak ada ‘seni’ yang
diadakan oleh pencetusnya maka samapai sekarang kita tidak akan pernah mengenal
macam-macam ‘seni’ tersebut.[22]
Ketiadaan
membawa manusia untuk berpikir dan berkembang untuk melanjutkan kehidupan
selanjutnya, serta menjelaskan makna eksistensi yang sebenarnya. Dalam
pemikiran Heidegger Ada menuju pada kematian. Adanya manusia membawa suatu
perubahan dalam dunia bila tidak ada manusia apakah akan ada perubahan dan
perkembangan dunia. Bila tidak ada dunia apakan akan ada sesuatu yang dirubah.
Dunia ada karena ada yang menciptakan. Sejenak kita berpikir tanpa adanya
pencipta apakah akan ada dunia seperti ini.
Ada dan tiada
merupakan dasar dalam memperlajari eksistensi. Tanpa berpikir secara mendalam
kita tidak akan mengetahui seberapa penting suatu keberadaan tersebut.
Ketiadaan ini dianggap sangat penting untuk memahami setiap
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Ada merupakan sesuatu yang membuat segala
pengada itu mungkin.
Ada membuat
pengada untuk mengadakan sesuatu, tanpa adanya Ada kita tidak dapat dikatakan
berada di sana. Pengada merupakan sesuatu yang mengadakan Ada. Seperti halnya
dalam ruangan yang gelap, kita sebagai yang di-ada-kan dan cahaya sebagai
pengada yang mengadakan. Ada dan ketiadaan merupakan hal yang berkaitan satu
sama lain dan membuat kita untuk berpikir lebih dalam, tanpa salah satunya
tidak akan bisa dikatakan bereksistensi.[23]
Manusia
mempunyai sifat dinamis, secara terus menerus akan menunjukkan eksistensi
dirinya. Hanya manusialah yang dapat bereksistensi sedangkan binatang, dan
segala sesuatu yang lainnya hanyalah ada.
Eksitensi yang mempunyai sifat irasionil yang tidak dapat dimengerti oleh akal
dan tidak dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian. Ia bukanlah berpikir
melainkan berbuat, dan memilih.[24]
Manusia selalu memilih dalam segala hal. Mereka akan merasa puas setelah
mendapatkan apa yang mereka inginkan.
[1] Inu Kencana Syafi’ie, Pengantar
Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 200.
[2] Donny Gahral Adian, Senjakala
Metafisika Barat (Depok: Koekoesan, 2012), h. 35.
[4] Inu Kencana Syafi’ie, Filsafat Kehidupan (Jakarta: Bumi
Aksara, 1945), h. 157.
[5] Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 753.
[6] F. Arifah, Menguak Fenomena
Mati Suri (Yogyakarta: Leutika, 2011), h. 3.
[7] Ibid, h. 8.
[8] Ahmad Chodjim. Syech Siti Jenar Makna “Kematian” (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 115.
[9] F. Arifah, Menguak Fenomena
Mati Suri h. 9.
[10] Ibid, h. 9.
[11] MZ, Labib. Kehidupan Manusia di Alam Akherat (Surabaya:
Bintang Usaha Jaya, 2003), h. 46.
[12] Ibid, h. 60.
[13] F. Arifah, Menguak Fenomena
Mati Suri h.11.
[14] Terj. Ismail Yakub. Ihya’ Al-Ghazali (Jakarta: Faizan,
1997), h. 372.
[15] Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tubingen: Max Niemeyer,
1953), paragraf 14, h. 64.
[16] Ibid, paragraf 48, h.
245.
[17] F.Arifah, Menguak Fenomena Mati Suri h. 20.
[18] Ibid, h. 23.
[19] Cucum Novianti. Jika Aku Tahu
Kapan Akhir Kehidupanku (Yogyakarta: Aulia Publishing, 2011), h. 34.
[20] Ibid, h. 35.
[21] Inu Kencana Syafi’ie, Pengantar
Filsafat h. 189.
[22] Eric Lemay dan Jennifer A.
Pitts. Heidegger untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 56.
[23] Ibid h. 60.
[24] Roosjen S, Irasionalisme (Jakarta: De Unic, 1957), h. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar