Sabtu, 15 Februari 2014

kematian menurut heidegger bag 3



BAB III
KEMATIAN
A.    Pengertian Kematian
Kehidupan di dunia ini selalu berkaitan dengan siklus. Siklus merupakan suatu proses demi berkelangsungan makhluk hidup. Hidup dan mati dua kata yang tidak bisa terlepaskan dari keberadaan dunia, kata tersebut juga berkaitan dengan makhluk-makhluk yang hidup dan yang berada di dunia. Setiap makhluk yang hidup pasti mati, itu sudah menjadi takdir dan merupakan jalan dari kehidupan itu sendiri. Kehidupan manusia yang beragam cara dalam mempertahankan diri dan menghadapi kehidupan ini merupakan salah satu langkah mereka untuk mencari arti kehidupan itu sendiri.
Hidup tidak sama artinya dengan kehidupan, hidup diartikan bahwa adanya roh yang diberikan Tuhan kepada makhluk-Nya. Hidup juga bukan lawan kata dari mati. Kehidupan merupakan warna dari hidup itu sendiri, mulai dari makhluk itu lahir sampai dia mati.[1] Ada tiga makhluk hidup yang ada di dunia ini, hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia itu sendiri. Tumbuh-tumbuhan hanya menerima ganggguan dari makhluk lainnya dengan pasrah tanpa ada balasan.
40
 
Hewan dapat berlari menghindar bila ada musuh yang menerkamnya, manusia harus berpikir untuk membalas serangan bila ada sesuatu yang menyerangnya, inilah perbedaan yang sangat jelas antara makhluk hidup. Pada dasarnya manusia itu sama halnya dengan hewan, hanya manusia harus berpikir dengan akalnya dan hewan berpikir dengan instingnya, tetapi suatu saat nanti manusia akan melebihi dari hewan. Dengan segala kelakuan bejatnya selama di dunia, dan akan dipertangungjawabkan nantinya di akherat.
Manusia merupakan makhluk yang berpikir, sempurna dan perasa. Manusia dalam menjalani ragam kehidupan di dunia tidak pernah lepas dari perasa. Mereka menggunakan rasa iba misalnya dalam membantu dan melihat orang lain disekitarnya maupun makhluk hidup lainnya. Makhluk hidup yang terdiri dari roh dan jiwa serta pikiran dan insting, itulah manusia. Manusia terdiri dari jiwa dan materi.
Tubuh merupakan materi dan jiwa adalah bentuk dari keduannya dan tidak dapat dipisahkan. Hanyalah pikiran yang dapat memisahkan dari keduanya dan kematian. Aristoteles menjelaskan manusia adalah makhluk yang memiliki rasio.[2] Manusia merupakan makhluk yang dilahirkan di bumi seperti halnya makhluk lainnya, tetapi mereka mempunyai keingginan yang sangat tinggi menjadi penguasa di bumi.
Manusia pada hakekatnya bereksistensi, beraktivitas, dan bagian dari alam itu sendiri. Heidegger menjelaskan manusia sebagai Dasein. Manusia adalah “Ada” yang berada “di situ”, manusia tidak begitu saja tetapi secara erat berpautan dengan Ada-nya sendiri.[3] Manusia hidup di dunia merupakan suatu keberadaan yang jelas bahwa mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan. Mereka harus bertanggung jawab dan menjalankan semua aktivitas dunia demi keberlangsungan hidup manusia. Mereka yang hanya diam dan bergantung dengan orang lain dalam waktu yang singkat mereka akan mengalami kematian.
Mati merupakan lawan dari lahir, dan kematian merupakan proses yang terjadi dan dialami oleh setiap makhluk yang hidup. Kematian adalah proses perceraian antara tubuh dan jiwa serta merupakan pengalaman fundamental bagi manusia. Kematian sebagai dasar eksistensialisme manusia, agar dapat menyempurnakan diri manusia dengan mewujudkan eksistensi secara otentik. Kematian merupakan situasi batas yang paling batas. Manusia sebagai makhluk bebas menentukan setiap eksistensinya sendiri.[4] Eksistensi hanya dapat diterangai dengan menggunakan kategori-kategori sendiri yaitu kebebasan. Maka manusia bergerak kearah yang transenden (Tuhan) dengan melalui kematian. Manusia yang lahir kedunia secara tidak langsung sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.
Kematian tidak pernah pandang bulu; tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin, kuasa-lemah, mulia-hina, pandai-bodoh, terpandang-ternista, dan lain sebagainya. Namun, sedikit sekali di antara kita ada yang mau merenungkannya secara mendalam. Kebanyakan orang cenderung menganggap kematian (yang menimpa makhluk lain) sebagai suatu ‘mimpi buruk’ yang perlu segera dilupakan. Kematian dipandang sebagai momok menakutkan yang layak dihindari, dijauhkan dari pikiran; bukan sebagai suatu kenyataan yang patut dihadapi, disadari dengan kematangan batin.
Manusia takut membayangkan bahwa suatu waktu nanti, cepat atau lambat, mereka pun tidak terlepas dari cengkeraman kematian. Sesungguhnya, perasaan takut terhadap kematian itu jauh lebih buruk dari pada kematian itu sendiri. Pemikiran manusia yang seperti ini menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Membahas tentang kematian dapat menimbulkan ‘pemberontakan’ yang menyimpan kepedihan pada jiwa manusia dalam kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran ini memunculkan penolakan besar bahwa kita tidak ingin ‘cepat mati’. Sifat seperti ini sudah menjadi dasar dalam pikiran manusia, mereka menginginkan kehidupan yang abadi dan kekal dan terlepas bakan terhindar dari kematian.
Mengapa manusia enggan mati? Pertanyaan ini selalu ditanyakan pada mereka yang sangat cinta pada dunia. Kenikmatan dan keindahan dunia dengan segala kemegahannya membuat mereka enggan mati. Mereka juga takut dengan kemisteriusan kematian itu sendiri. Kematian yang datang setiap saat membuat orang takut dalam menghadapi kematian. Dengan demikian kematian merupakan hal yang sangat mendebarkan, bahkan menakutkan hingga membuat jiwa dan pikiran tergunjang dan tidak dapat berkonsentrasi dalam menjalani hidup.
Kematian merupakan alam pertama yang akan dilewati setiap manusia setelah kehiduan didunianya. Kata ‘mati’ di sini diartikan terpisahnya jiwa dari raga/tubuh manusia maupun makhluk hidup.[5] Mati juga bisa diartikan tidak ada kehidupan atau tidak bisa digunakan lagi. Suatu benda yang ‘mati’ misalnya mesin, bisa jadi benda tersebut rusak atau mengalami konslet dan tidak bisa digunakan lagi. Dalam arti tidak ada energi yang mengaliri maupun menggerakkan benda tersebut. Apabila benda itu mati dan tidak bisa digunakan maka tidak jauh beda bahwa benda mati tersebut merupakan sebuah alat yang sudah tidak berfungsi lagi. Begitu halnya sama dengan makhluk hidup, apabila mereka mengalami kematian maka tidak jauh beda dengan benda yang tidak ada energi yang mengaliri dalam kehidupannya.
Dalam kamus bahasa Indonesia mati didefinisikan sudah tidak bernyawa lagi. Nyawa diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan makhluk hidup. Banyak yang mengartikan ‘mati’ dengan sudut pandang yang berbeda seperti, kebanyakan orang tradisional mengartikan ‘mati’ sudah tidak ada cara kerja jantung sebagai penentu utama kehidupan dan jantung berhenti berdetak. Maka kondisi tersebut orang dikatakan sudah ‘mati’. Pendapat seperti ini ditolak oleh para ahli medis, bahwa orang bisa bernafas tanpa adanya jantung sebagai pemompa oksigen keseluruh tubuh.
Pernapasan mekanis (respirator) adalah alat bantu bagi makhluk yang mengalami kesulitan dalam bernafas. Apabila jantung sudah berhenti berdetak, tetapi aliran otak masih bekerja maka manusia tersebut bisa dibantu dengan menggunakan respirator sebagai pernapasannya. Definisi tentang kematian pun berkembang dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih. Para ahli medis mengatakan bahwa organ utama dalam tubuh adalah jantung, paru-paru, dan otak merupakan organ yang saling terkait dalam proses kehidupan makhluk hidup salah satunya manusia.
Apabila ketiga organ tersebut sudah berhenti berfungsi maka barulah dikatakan bahwa orang tersebut telah mati. Saat ini kematian didefinisikan menjadi 4 macam; mati kliniks, mati bioligis, mati otak dan mati sosial.[6]
1.      Mati Klinis
Mati klinis merupakan berhentinya organ safar pada otak, jantung dan paru-paru. Proses seperti ini bisa digantikan dengan rusitasi jantung paru (RJP) yang merupakan suatu cara untuk mencegah suatu episode henti jantung yang berlanjut pada kematian.
2.      Mati Biologis
Mati biologis yang ditandai dengan berhentinya semua organ di dalam tubuh. Mati biologis ini selalu berkaitan dengan mati klinis, dengan syarat utama tidak diberlakukannya resusitasi jantung paru (RJP).
3.      Mati otak
Mati otak (serebral), otak yang merupakan bagian utama dan terpenting dalam hidup manusia maupun makhluk lainnya. Otak sebagai pengatur kehidupan manusia, tanpa otak manusia tidak akan pernah bisa hidup. Apabila semua organ telah berhenti berfungsi tetapi otak masih dapat bekerja maka orang tersebut dapat ditolong dengan bantuan medis. Mati otak merupakan kerusakan yang terjadi pada otak besar. Otak besar yang berfungsi sebagai pengatur semua aktivitas mental manusia. Tanda klinis apabila terjadi mati otak, bila RJP sebagai langkah dalam mengantisipasi kehidupan manusia sudah tidak berfungsi lagi. Selama 15-30 menit seseorang tidak mencapai pada kesadaran normal, tidak dapat bernafas dengan spontan serta tidak ada reflesi gerak pada rahang atau mulut atau anggota tubuh lainnya.
4.      Mati sosial
Mati sosial merupakan kematian yang sangat berpengaruh pada lingkungan karena sudah tidak berfungsinya otak dan sudah tidak adanya respond untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak hanya itu, disertai pula dengan siklus kesadaran yang menurun, anatara sadar dan koma begitu terus berulang-ulang.
Di Indonesia sendiri mengacu pada hukum dalam menyimpulkan suatu kejadian apabila ada kematian yang terjadi pada seseorang. Orang dikatakan mati dengan terlepasnya roh dari raga/tubuh manusia. Dan apabila orang tersebut sudah mengalami mati batang otak (MBO) sebagai patokan bahwa orang tersebut dikatakan mati dan sudah tidak ada alat medis yang dapat membantunya, inilah arti kematian bagi seseorang menurut hukum Indonesia.
Manusia secara kodratnya terdiri dari jiwa dan raga. Dalam trikhotomi manusia terdiri dari jiwa, roh dan badan/tubuh. Tubuh/badan/raga manusia merupakan unsur yang dapat di lihat dan dapat ditangkap dengan indera, ini merupakan unsur lahiriah dari manusia itu sendiri ataupun makhluk hidup lainnya.[7] Tubuh manusia merupakan sebuah alat yang digunakan roh dalam menjalani kehidupan di dunia. Roh merupakan unsur yang tidak dapat di lihat dengan mata telanjang dan esensi dari manusia itu sendiri. Tanpa adanya roh manusia tidak akan bisa hidup dan menjalani serba-serbi kehidupan di dunia.
Roh adalah prinsip hidup manusia yang dihembuskan Tuhan/pancaran Dzat Ilahi ke dalam raga/badan manusia.[8] Setiap hal yang dikerjakan atau diperbuat manusia saat berada di dunia dan nantinya roh yang akan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Tubuh manusia diatur dan digerakan oleh roh yang berpusat pada otak manusia yang menentukan sebuah berbuat baik ataupun buruk. Roh dan raga dalam hidupnya akan terus bersatu dan hanya terpisahkan oleh kematian. Tanpa adanya kematian raga dan jiwa tidak akan bisa saling berhubungan. Raga yang bersifat sementara dan dapat hancur, sedangkan roh yang bersifat kekal tidak akan pernah hancur. Keduanya saling berhubungan dan keterkaitan, begitu halnya dengan hidup dan mati, baik dan buruk. Tanpa ada salah satunya maka semua itu tidak ada.  Selain raga dan roh, manusia hidup juga memiliki jiwa.
Plato mendefinisikan jiwa manusia sebagai sesuatu yang memiliki substansi sendiri terpisah dari jasad dan bersifat abadi. Kedudukan ini hampir sama dengan roh yang bersifat kekal.[9] Jiwa menempati tempat yang tertinggi tetapi terkurung dalam tubuh. Jiwa tidak bisa berdiri sendiri dan melakukan semua kebebasan, sedangkan tubuh bisa melakukan kebebasan tanpa batas bahkan melanggar peraturan-peraturan, karena adanya toh dalam tubuh.
Apabila seseorang mati maka jiwanya akan tetap ada dan kembali ke dunia idea di mana terdapat segala hal yang sempurna dan kemudian jiwa akan berenkarnasi diri dan tumbuh kembali pada saatnya tiba. Aristoteles juga menjelaskan antara jiwa dan tubuh merupakan kesatuan dan oleh karenanya jika seseorang mati maka konsekuensinya jiwa pun turur mati bersama tubuh.[10] Begitu tinggi dan sulitnya pemikiran dari kedua filsuf tersebut untuk dicerna secara singkat. Keduanya mempunyai konsep yang sempurna dan jauh dari pemikiran orang lain. Konsep-konsep tersebut juga mengalami kelemahan dalam memetakan pengertian roh dan jiwa, menurut para ahli jaman sekarang ini timbul pertanyaan, dimanakah letak jiwa, roh, dan raga.
Pandangan Agama menjelaskan bahwa, jiwa dan roh merupakan kesamaan arti dan tidak jauh berdeda. Jiwa adalah roh itu sendiri begitu sebaliknya. Roh merupakan energi kehidupan suatu makhluk. Tidak adanya roh yang dihembuskan Tuhan, maka tidak akan ada suatu makhluk yang hidup di dunia. Memang secara sekilas roh dan jiwa merupakan satu kesatuan, tetapi roh dan jiwa bila diamati dan dipikirkan lebih detail mempunyai perbedaan.
Seseorang ahli tafsir membagi roh menjasi 3 macam, Roh Sulthoniah, Roh Rohaniah, dan Roh Jasmaniah:[11]


1.      Roh Sulthoniah:
Sulthon berarti kepemerintahan, jadi sulthoniah besifat memerintah. Roh ini letaknya di otak sehingga mampu mengatur dan memfungsikan semua organ-organ kecil otak dan menjalankan semua laku badan. Roh ini hanya mengatur semua gerak tubuh lewat sistem saraf yang ada pada makhluk hidup. Bila terjadi sesuatu pada makhluk tersebut roh sulthoniah tidak dapat merasakan.
2.      Roh Rohaniah:
Seperti yang sudah dijelaskan, roh sulthoniah yang berada di otak dan berfungsi sebagai pengatur semua sistem saraf manusia. Maka tidak jauh beda dengan roh rohaniah yang merupakan bawahan dari roh sulthoniah sebagai pemerintah. Roh rohaniah terletak pada jiwa/hati manusia. Bila seseorang sedang mengalami rasa kecewa, sedih, bahagia dan lain sebagainya roh rohaniahlah yang merasakan itu semua. Dalam arti roh rohaniah lebih bersifat perasa dan merasakan semua yang dialami oleh manusia.
3.      Roh Jasmaniah:
Roh jasmaniah terletak disela-sela antara daging dan darah, antara urat nadi dan saraf-saraf lainnya. Jasmani merupakan suatu kesatuan organ tubuh makhluk hidup. Roh ini merupakan urutan paling bawah dan sebagai wadah dari kedua roh sebelumnya. Seperti yang sudah dijelaskan ketiganya mempunyai kaitan yang penting. Bila tubuh suatu makhluk mengalami kerusakan, roh jasmanilah yang pertama kali menerima dan kemudian roh rohaniah yang merasakan.
Jiwa merupakan unsur batiniah dari manusia. Roh tetaplah prinsip manusia. Ini jelas roh dan jiwa ada perbedaan. Descartes menjelaskan antara roh dan jasad itu tidak unsur yang satu, melainkan memiliki sifat yang berbeda.[12] Pertama: tubuh membutuhkan roh untuk hidup, dan kedua: roh tidak membutuhkan tubuh untuk hidup karena roh dapat berdiri sendiri tanpa adanya tubuh. Dan roh tidak bisa mati karena roh yang menyebabkan tubuh itu menjadi hidup. Semuanya memang kasat mata dan tidak dapat dirasakan oleh alat indera. Jiwa yang terdiri dari emosi, pikiran, kehendak dan perasaan manusia. Sedangkan roh merupakan kesatuan spiritual manusia dengan Tuhan sebagai sang penciptanya. Jiwa ibaratkan sebagai ‘perekat’ yang menjadi penghubung antara roh dan raga.
Apabila terjadi kematian pada suatu makhluk atau manusia jiwa pun sudah tidak berfungsi lagi dan terlepas dari raga. Jiwa yang diberikan oleh Tuhan dengan perjanjian suatu saat nantinya akan dicabut sesuai kehendak Tuhan, dan inilah kematian yang akan dijalani oleh manusia. Dan kematian ini  bersifat misteri dan tidak direncanakan bahkan tak seorang pun mengetahui kapan dan di mana kematian itu ada.
Secara alamiah kematian suatu makhluk hidup disebabkan oleh faktor usia. Tidak hanya itu kecelakaan, sakit keras yang tidak dapat disembuhkan lagi, menjadi salah satu faktor kematian manusia. Menurut ahli medis kematian terjadi apabila berhentinya seluruh aktifitas metabolisme dalam tubuh manusia.[13] Beberapa hal yang selalu menjadi rahasia Tuhan untuk manusia adalah kematian, jodoh dan rejeki. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui dari ketiga rahasia Tuhan tersebut, begituhalnya tentang kematian yang hampir setiap insan manusia takut dalam menghadapinya.
Kematian memang misteri yang tidak bisa diungkapkan oleh manusia akan tetapi sebelum kematian menimpa seseorang, ada tanda-tanda yang terjadi sebelum ia mengalami kematian. Misalnya seseorang akan mengalami suatu perubahan yang tidak seperti biasanya. Seperti halnya mendengar suara aneh-aneh, perasaan kadang-kadang kosong, adanya bayangan-bayangan yang menghampirinya dan sebagainya. Ini hanyalah sebuah gambaran semata dalam mengartikan tanda-tanda kematian, dan seseorang yang menalami kematian sebenarnya merasakan ini semua akan tetapi ia tidak menghiraukannya dan menganggap semua itu hanyalah ilusi semata.
Hakekat mati dapat juga diartikan sebagai sudah tidak adanya lagi suatu subjek. Matinya manusia adalah matinya raga yang sudah tidak berfungsi lagi sesuai aturan saraf otak. Raga manusia bisa membusuk dan habis tetapi roh manusia akan terus kekal dan akan mendapat balasan atas segala perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya. Matinya manusia disebabkan terputusnya roh dan raga yang sejak lahir mengalami koneksi demi keberlangsungan hidup.
Setelah menghadapi proses kematian, koneksi tersebut terputus dari urusan tubuh manusia. Dan mati itu ibarat dari ke-tidak-patuhan anggota-anggota badan seluruhnya, karena badan ibarat alat yang digerakkan oleh roh, dan roh ialah yang memakai alat-alat tersebut.[14] Selanjutnya roh yang akan melangsungkan kehidupan. Heidegger menjelaskan, matinya manusia atau suatu makhluk menandakan sebagai puncak dari eksistensi makhluk itu sendiri. Pemikiran inilah yang mendasari pemikiran Heidegger tentang kematian.
B.     Dasar Kematian
Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan. Kematian dalam Agama-Agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalam memantapkan aqidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Maka dari itu, Agama-Agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang kematian. Rasul Muhammad saw, bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).”
Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian. Dari Al-Qur’an ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Maha hidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat.
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-‘Ashr yang berarti ‘masa’ menegaskan, betapa ruginya manusia hidup yang tidak memanfaatkan waktu sebagai mana mestinya. Waktu merupakan batas dalam kehidupan manusia. Waktu menjadi pertanda seberapa lama manusia hidup dan menjalani kehidupan di dunia. Setiap manusia yang mengalami musibah menjadi bukti kasih sayang dari Tuhan pada makhluknya. Kematian yang datang menjemput menjadi musibah terbesar dalam kehidupan manusia.
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri, tapi terkadang seorang manusia hanya memenuhi nafsu duniawi dan lalai akan tugasnya sebagai manusia untuk selalu taat pada Allah. Kelalaian manusia tersebut akan berakhir ketika ajal sudah menjemput dan jasad masuk dalam kubur. Kematian memang suatu yang sangat menakutkan. Manusia lalai terhadap kematian, karena diakibatkan kurangnya perenungan dan ingatan terhadap kematian itu. Untuk menghujamkan kematian pada hati manusia maka harus dapat mengosongkan hati dan pikirannya terhadap nafsu duniawi.
Pedihnya dan beratnya siksa kubur harus berakar kuat pada hati manusia sehingga ketika dalam keadaan sepi dapat meneteskan air mata untuk meresapi dan menghayati betapa perihnya siksa kubur itu. Hal yang paling penting adalah manusia dapat mengukur diri dari nista dan dusta dari siksa kubur yang akan kita dapat. Dengan demikian manusia akan termotivasi untuk selalu mempersiapkan diri dan bekal untuk menghadapi kematian.
C.    Alam Kematian
Kematian buakanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang, tetapi merupakan garis transisi untuk memulai hidup baru dialam yang baru. Menurut Heidegger, “Welt, ist ontolo-gisch keine Bestimmung des Seienden, das wesenhaft das Dasein nicht ist, sondern ein Charakter des Daseins selbst. Das schließt nicht aus, daß der Weg der Untersuchung des Phänomens ‘Welt’ über das innerweltlich Seiende und sein Sein genommen werden muß.”[15] ("Dunia, ontologis ada ketentuan dari makhluk itu, keberadaan tidak penting, tapi karakter dari eksistensi itu sendiri Ini tidak mengesampingkan bahwa cara studi tentang fenomena 'dunia' pada makhluk-batin duniawi dan yang dibawa harus).
Kata ‘dunia’ (welt) bisa berarti ontis yakni seluruh mengada atau realitas, serta secara ontologis yaitu Ada dari mengada, bisa juga eksistensial yaitu sifat keduniaan Dasein. Hanya Dasein-lah, mengada bisa mengartikan ruang dan waktu. Manusia bisa mengetahui adanya dunia artis, dunia olahraga, dunia pendidikan dan sebagainya. Dunia-dunia ini bukanlah ruang kosong melainkan sudah dimaknai oleh keberadaan Dasein. Dasein yang dimaksud Heidegger tidak ‘terletak’ disuatu tempat melainkan ‘memukimi’ suatu tempat.
Maka dari itu Dasein yang diartikan sebagai Ada-di-dalam-dunia, ‘di-dalam’-nya inilah yang diartikan manusia bermukim dan kemudian mempunyai sifat ‘kerasan’ atau betah. Kita tidak tergeletak di dalam dunia, melainkan kerasan dengan memaknai ruang dan titik yang ada di setiap dunia. Kita yang menjalani setiap aktivitas kehidupan di dunia dan merasakan setiap hal yang terjadi di sana. Hingga pada waktunya berakhir dengan kematian dan ini membuat semua manusia menjadi cemas dan takut dalam menghadapinya.
“Im Tod ist das Dasein weder vollendet, noch einfach verschwunden, noch gar fertig geworden oder als Zuhandenes ganz verfügbar. So wie das Dasein vielmehr ständig, solange es ist, schon sein Noch-nicht ist, so ist es auch schon immer sein Ende. Das mit dem Tod gemeinte Enden bedeutet kein Zu-Ende-sein des Da-seins, sondern ein Sein zum Ende dieses Seienden. Der Tod ist eine Weise zu sein, die das Dasein übernimmt, sobald es ist. »Sobald ein Mensch zum Leben kommt, sogleich ist er alt genug zu sterben.”[16]
(Dalam kematian, Dasein adalah tidak lengkap, atau hanya menghilang, namun menjadi lebih selesai atau pada tangan semua tersedia. Sama seperti keberadaan agak terus-menerus, selama itu, sudah adalah miliknya yang belum, sehingga selalu berakhir. Itu berarti kematian berakhir berarti tidak ada to-be-akhir Da-sein, tetapi berada di ujung entitas ini. Kematian adalah menjadi cara yang mengasumsikan keberadaan secepat itu. "Segera setelah seseorang datang untuk hidup setelah ia sudah cukup tua untuk mati).

Dalam kematian, Dasein tidak akan lenyap, atau hilang begitu saja, sebelum menjadikan makhluk disekitanya menjadi ada. Bereksistensi dengan makhluk lainnya merupakan bukti beradanya di dunia. Tanpa menyadari keberadaan makhluk di sekitar kita maka kita tidak dapat dikatakan bereksistensi. Sama halnya seperti keberadaan yang konstan, selama itu, Dasein telah menjadi miliknya yang belum berakhir . Itu berarti tidak berarti Dasein berakhir dengan kematian menjadi akhir-yang-ada, tetapi berada di akhir makhluk ini. Kematian adalah suatu cara dalam mengasumsikan keberadaan setelah itu. Misalnya, ketika seorang pria datang untuk hidup setelah dia cukup umur dan kemudia dia mati saja.
Hidup dan matinya manusia tidak ada yang mengetahui kecuali Tuhan semesta alam yang meciptakan. Manusia hanya menjalani kehidupan seperti apa yang telah diciptakan Tuhan pada mereka. Kaya miskin, cantik jelek, merupakan salah satu warna yang mereka jalani. Manusia tidak bisa memilih untuk menjadi yang terbaik. Mereka hidup di dunia tidak pernah tahu dari mana dan akan ke mana mereka hidup. Alam dunia merupakan alam yang kedua dalam fase kehiduan yang dialami oleh setiap manusia. Alam yang pertama adalah alam kandungan, alam kehidupan, alam kubur/barzah, dan terakhir alam akherat.[17]
Semua orang mempercayai dan meyakini bahwa mereka akan menjalani proses kehidupan di setiap alam tersebut. Hanya saja yang akan di ingat dan menjadi memori mereka adalah alam dunia. Bayi yang baru lahir di dunia merupakan salah satu contoh. Setiap bayi yang baru lahir mereka tidak akan bisa mengingat proses kehidupan yang dialaminya selama sembilan bulan dalam kandungan ibu. Setelah ia lahir barulah Tuhan memberikan daya pikir dan kecerdasan padanya yang ia gunakan untuk menjalani proses kehidupan di dunia.
Banyak sekali proses kematian yang terjadi di dunia ini, seperti halnya kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri dan lain sebagainya. Manusia tidak menyadari bahwa hidup di dunia merupakan langkah yang harus mereka hadapi menuju pada kehidupan yang sebenarnya. Banyak manusia yang merasa tertekan dalam menghadapi kematian orang disekitarnya. Sehingga tidak sedikit pula mereka mengalami gangguan psikologis dan menyebabkan stress berat hinggga berakhir pada kegilaan. Fenomena ini adalah contoh dari realita kehidupan yang terjadi di sekitar kita. Ketakutan menjadi momok utama mereka dalam menjalani hidup.  Mereka tidak menginginkan hidup mereka berhenti pada kematian dan upaya apa saja yang mereka lakukan untuk mencari kehidupan abadi.
Alam dunia yang sering di kenal oleh manusia adalah alam yang sangat indah dan merupakan alam yang kekal. Pendapat seperti ini selalu disalahkan oleh mereka yang memikirkan alam selanjutnya yakni alam kubur dan alam akherat. Alam akherat-lah yang merupakan alam abadi dan kekal yang akan dijalani oleh setiap manusia hidup dan kemudian mati. Manusia yang belum mati tidak akan pernah mengetahui bagaimana dan apa yang akan terjadi di alam aherat.[18] Perpindahan dari alam dunia ke alam akherat merupakan suatu nikmat tersendiri yang dialami oleh setiap manusia. Suatu keajaiban yang Tuhan berikan dan tidak dapat diteliti dengan ilmu apapu dalam proses perpindahan ini, dan manusia tidak mengetahui kapan proses ini akan terjadi pada dirinya.
Pikiran, perasaan, nafsu yang diciptakan Tuhan saat manusia itu mau menjalani kehidupan dunia. Dan sudah menjadi kodratnya manusia hidup di dunia merupakan suatu petualangan yang mereka jalani. Manusia yang terus berputar dalam sebuah lingkaran kehidupan dari generasi kegenerasi selanjutnya. Generasi pertama hidup dan kemudian hilang, dilanjutkan generasi yang kedua begitu seterusnya sampai akhir dunia ini tiba. Setiap generasi akan terus berkembang dan muncul pemikiran yang baru dalam menciptakan generasi. Langkah pendidikan yang diberikan dari generasi pertama dan kemudian berlanjut pada generasi selanjutnya merupakan langkah yang sangat strategis dalam menciptakan generasi.
Esensi hidup manusia di dunia merupakan kebersamaan dalam kebebasan. Seperti dalam hukum sosial manusia tidak akan hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Inilah bukti esensi hidup manusia di dunia. Mereka saling ketergantungan, saling membantu dan saling mempengaruhi dalam menjalani hidup, ini merupakan contoh hidup yang dijalani oleh setiap manusia. Esensi hidup manusia di dunia yang sebenarnya adalah suatu pengabdian.[19]
Manusia akan mengabdi pada dirinya sendiri, mengabdi pada Tuhan dan mengabdi pada kehidupan dunia. Pengabdian pada Tuhan merupakan kodrat manusia hidup di dunia. Setiap bayi yang baru lahir dari berbagai golongan dan ras mereka akan mencari Tuhannya disaat mereka beranjak dewasa. Seperti pengabdian pada lingkungan yang dimaknai dengan bentuk kepedulian terhadap dunia liar dan luar. Ia menyadari bahwa hidup itu harus berguna dan bermakna bagi orang lain, ini merupakan bukti esensi hidup manusia.
Selain bukti pengabdian manusia sebagai esensi manusia hidup di dunia, manusia hidup di dunia juga mengalami keterbatasan. Keterbatasan hidup manusia di atur oleh waktu.[20] Dimensi ruang merupakan tempat berpijaknya manusia hidup di dunia. Bumi merupakan perantara yang berupa hamparan dan memiliki sifat subur agar manusia dapat bertahan hidup dengan energi yang dihasilkan bumi dari kesuburannya. Setelah bumi sudah tidak dapat lagi menghasilkan sesuatu yang dapat membuat manusia untuk bertahan hidup. Maka mereka akan pindah kesuatu tempat yang dapat memberikan kehidupan bagi kelompok mereka. Seperti yang digambarkan oleh manusia itu sendiri dengan melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mencari planet yang dapat di huni, untuk mengantisipasi bila nantinya bumi tidak dapat menampung semua golongan makhluk hidup.
Hidup di dunia yang sangat singkat mengharuskan manusia harus berbuat baik dalam menjalani kehidupan. Mereka selalu berlomba-lomba mencapai tujuan yang terbaik dan berusaha di puncak tertinggi kebaikan. Mereka juga berusaha menjaga kebaikan tersebut terhindar dari sifat sombong dan angkuh. Bila kebaikan tersebut terdapat sedikit sifat sombong, maka bagaikan gunung yang menjulang tinggi dan kemudian runtuh tidak berarti. Tidaklah mudah manusia mencapai puncak tertinggi dalam menuju kebaikan.
Kehidupan merupakan kesempatan manusia untuk memunculkan potensi diri untuk orang lain. Kesempatan berbagi suka dan duka dengan orang yang disayangi. Kehidupan adalah… (dalam maksud) inilah salah satu nafsu yang diciptakan Tuhan pada manusia. Manusia tidak akan merasa puas sebelum mereka mencapai puncak tertinggi dalam kehidupan. Sebenarnya kehidupan yang berarti adalah hidup kita dapat berguna dan bermanfaat bagi orang lain, inilah kehidupan manusia yang berada di puncak tertinggi.
D.    Ada dan Tiada
Ada merupakan bukti dari eksistensi suatu makhluk, dan ia akan mengadakan makhluk sekitarnya sebagai tanda keberadaannya di dunia. Bukti ini akan terus berlangsung hingga makhluk itu dihadapkan pada kematian atau ke-tiada-an suatu makhluk.[21] Kematian yang membawa manusia pada puncak eksitensinya. Bila setiap makhluk itu masih hidup dan bernafas ia akan terus berusaha menunjukkan jati dirinya pada dunia bahwa ia ada dan berada di dunia. Dengan segala aktivitas yang dilakukannya menunjukan upaya dan usaha dalam bereksistensi.
Tanpa disadari keberadaan setiap makhluk sangat berpengaruh dan saling mempengaruhi. Di samping itu benda dan tumbuhan yang ada disekitarnya juga menunjukan setiap keberadaan suatu mahkluk. Misalnya dalam ruangan yang gelap kita (manusia) berada di sana. Kita tidak tahu apa dan dalam bentuk apa yang ada di sekitar kita. Tanpa adanya cahaya atau penerangan kita tidak dapat mengetahui ada yang lain di sekitar kita. Cahaya di sini menunjukan bahwa ada manusia yang berada di sana. Tanpa cahaya keberadaan kita juga tidak bisa diketahui. Disamping itu ada merupakan syarat mutlak dari pengada-pengada yang berada di sana. Tanpa ada, tanpa eksistensi dasar, tidak ada individu yang dapat ada.
Tiada atau ketiadaan merupakan kemungkinan tidak-beradanya semua benda di sekitar kita. Misalnya yang kita kenal saat ini adalah ‘seni’. Adanya ‘seni’ membawa pemikiran setiap manusia untuk menungkan segala ekspresi dan inspirasi manusia untuk berpikir. Hingga saat ini kita mengenal adanya ‘seni’ tari, ‘seni’ rupa, ‘seni’ lukis dan lain sebagainya. Sejenak kita berpikir bila tidak ada ‘seni’ yang diadakan oleh pencetusnya maka samapai sekarang kita tidak akan pernah mengenal macam-macam ‘seni’ tersebut.[22]
Ketiadaan membawa manusia untuk berpikir dan berkembang untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya, serta menjelaskan makna eksistensi yang sebenarnya. Dalam pemikiran Heidegger Ada menuju pada kematian. Adanya manusia membawa suatu perubahan dalam dunia bila tidak ada manusia apakah akan ada perubahan dan perkembangan dunia. Bila tidak ada dunia apakan akan ada sesuatu yang dirubah. Dunia ada karena ada yang menciptakan. Sejenak kita berpikir tanpa adanya pencipta apakah akan ada dunia seperti ini.
Ada dan tiada merupakan dasar dalam memperlajari eksistensi. Tanpa berpikir secara mendalam kita tidak akan mengetahui seberapa penting suatu keberadaan tersebut. Ketiadaan ini dianggap sangat penting untuk memahami setiap kemungkinan-kemungkinan yang ada. Ada merupakan sesuatu yang membuat segala pengada itu mungkin.
Ada membuat pengada untuk mengadakan sesuatu, tanpa adanya Ada kita tidak dapat dikatakan berada di sana. Pengada merupakan sesuatu yang mengadakan Ada. Seperti halnya dalam ruangan yang gelap, kita sebagai yang di-ada-kan dan cahaya sebagai pengada yang mengadakan. Ada dan ketiadaan merupakan hal yang berkaitan satu sama lain dan membuat kita untuk berpikir lebih dalam, tanpa salah satunya tidak akan bisa dikatakan bereksistensi.[23]
Manusia mempunyai sifat dinamis, secara terus menerus akan menunjukkan eksistensi dirinya. Hanya manusialah yang dapat bereksistensi sedangkan binatang, dan segala sesuatu yang lainnya hanyalah ada. Eksitensi yang mempunyai sifat irasionil yang tidak dapat dimengerti oleh akal dan tidak dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian. Ia bukanlah berpikir melainkan berbuat, dan memilih.[24] Manusia selalu memilih dalam segala hal. Mereka akan merasa puas setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.


[1] Inu Kencana Syafi’ie, Pengantar Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 200.
[2] Donny Gahral Adian, Senjakala Metafisika Barat (Depok: Koekoesan, 2012), h. 35.  
[3] Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 227.
[4] Inu Kencana Syafi’ie, Filsafat Kehidupan (Jakarta: Bumi Aksara, 1945), h. 157.
[5] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 753.
[6] F. Arifah, Menguak Fenomena Mati Suri (Yogyakarta: Leutika, 2011), h. 3.
[7] Ibid, h. 8.
[8] Ahmad Chodjim. Syech Siti Jenar Makna “Kematian” (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 115.
[9] F. Arifah, Menguak Fenomena Mati Suri h. 9.
[10] Ibid, h. 9.
[11] MZ, Labib. Kehidupan Manusia di Alam Akherat (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003), h. 46.
[12] Ibid, h. 60.
[13] F. Arifah, Menguak Fenomena Mati Suri h.11.
[14] Terj. Ismail Yakub. Ihya’ Al-Ghazali (Jakarta: Faizan, 1997), h. 372.
[15] Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tubingen: Max Niemeyer, 1953), paragraf 14, h. 64.
[16] Ibid, paragraf 48, h. 245.
[17] F.Arifah, Menguak Fenomena Mati Suri h. 20.
[18] Ibid, h. 23.
[19] Cucum Novianti. Jika Aku Tahu Kapan Akhir Kehidupanku (Yogyakarta: Aulia Publishing, 2011), h. 34.
[20] Ibid, h. 35.
[21] Inu Kencana Syafi’ie, Pengantar Filsafat h. 189.
[22] Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts. Heidegger untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 56.
[23] Ibid h. 60.
[24] Roosjen S, Irasionalisme (Jakarta: De Unic, 1957), h. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar