Sabtu, 15 Februari 2014

kematian menurut heidegger bagian 4



BAB IV
DASEIN IS SEIN ZUM TODE

A.    Dasein
Salah satu kenyataan hidup manusia di dunia ini adalah mati. Mengenai di mana dan kapan manusia akan mengalami kematian tidak seorang pun tahu secara pasti, tetapi setiap orang tahu dengan pasti bahwa suatu saat dan di suatu tempat akan mengalami kematian. Keinginan mereka untuk terus mengenyam kehidupan ternyata digagalkan oleh kenyatan kematian tersebut. Harta benda, prestasi dan kedudukan kekuasaan yang dicintai oleh manusia semua itu harus dilepaskan denga ikhlas. Ini menjelaskan tentang bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk yang sadar akan kematian.
63
 
Sekalipun manusia mengerti dan maklum bahwa kematian adalah suatu hukum alam yang biasa dan bersifat mutlak. Manusia selalu memandang kematiannya sendiri atau kematian seseorang yang dekat dengannya merupakan suatu ancaman, suatu ketidak adilan yang harus mereka alami. Manusia sebagai mahluk yang bereksistensi akan mengalami kematian secara konkret dan merupakan puncak dari eksistensinya di dunia. Banyak yang membahas tentang kematian yang kemudian dikaitkan dengan Agama atau keyakinan seseorang di dunia. Kematian merupakan proses perpisahan antara tubuh dan jiwa serta merupakan pengalaman fundamental bagi manusia. Kematian sebagai dasar eksistensi manusia dalam penyempurnaan diri dengan mewujudkan eksistensinya secara otentik.
Kematian yang menghampiri manusia memang sangat komplek dan bersifat universal. Banyak para pemikir sejak jaman Yunani kuno sampai sekarang terus memikirkan tentang proses terjadinya kematian yang menjemput manusia. Teori-teori tentang kematian terus memberikan sumbangan keilmuan bagi generasi manusia selanjutnya dalam memahami makna kehidupan dengan diakhiri kematian. Kematian merupakan berkah yang sangat luar biasa bagi manusia. Begitulah Socrates pernah berkata yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat.[1] Pada saat itu ia divonis mati mati oleh penguasa Athena, karena mengenalkan ajaran Agama baru dan mengingkari dewa-dewa yang saat itu dipuja oleh seluruh rakyat. Sebenarnya Socrates bisa saja menghindari kematian itu dengan kembali menyembah dewa-dewa dan meninggalkan pemikirannya tentang filsafat.
Kepada muridnya Socrates berkata,[2] “Sepanjang bisa bernafas dan berfikir, aku tidak akan pernah berhenti mengamalkan filsafat, mendesakkannya padamu dan menjelaskan kebenaran bagi setiap orang yang kutemui. Jadi, entah aku dibebaskan atau tidak, kalian pasti tahu bahwa sikapku tidak pernah berubah. Bahkan, tidak pula seandainya aku harus mengalami seribu kematian.” Pada akhirnya Socrates pun menengguk racun untuk menjemput kematian yang bijaksana.
Perjalanan tentang kematian masih menyimpan banyak misteri didalamnya yang belum terungkap. Kematian merupakan kepastian dan secara psikologis mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam perilaku setiap manusia. Kata Heidegger yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, hidup manusia adalah suatu kehadiran yang menuju ke arah kematian.[3] Kehidupan yang terus berjalan maju dan waktu sebagai penanda yang tidak dapat di putar kembali. Ini menjelaskan bahwa setiap saat yang terjadi merupakan suatu momen dan merupakan peristiwa kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Kematian bukanlah akhir dari hidup perjalanan manusia, hanya saja merupakan salah satu jalan menuju hidup yang abadi. Kehancuran raga atau tubuh yang akan dialami oleh manusia dan roh akan tetap kekal karena roh bukanlah materi.
Menurut kalangan para sufi, meyakini bahwa kematian merupakan gerbang untuk menapaki taman kehidupan yang lebih indah dan setapak lebih dekat dengan Tuhan. Maka dari itu mereka mengartikan kematian sebagai proses menuju Tuhan dan ini bukan suatu kehancuran atau penyiksaan.[4] Dekripsi kematian menurut Heidegger dijelaskan dalam karyanya ‘Being and Time’, kematian yang merupakan dasar essensi dalam interpretasi religious tentang eksistensi manusia. Konsep kematian bukan hanya penunjukan atau penerangan terhadap hal yang sebenarnya melainkan muncul karena menyatakan tentang Ada.
Dalam proses menuju kematian yang dihadapi oleh manusia pasti akan selalu mengalami kekhawatiran yang mendalam. Ini sering terjadi dan merupakan salah satu sifat dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Sifat ini mencakup seluruh sifat dasar eksistensi manusia itu sendiri. Misalnya seorang pembunuh yang telah menghabisi beberapa nyawa manusia yang tidak bersalah, akan mengalami kekhawatiran yang mendalam. Ia akan menyiapkan sebuah senjata untuk melindungi dirinya sendiri dari segala ancaman. Sifat ini dijelaskan Heidegger sebagai salah satu cara dalam menyelami keseharian manusia.[5] Setiap aktivitas dan kesibukan yang mereka jalani dan terkonsep dalam sebuah aturan kehidupan. Sifat ini jauh sudah Ada sebelum manusia itu Ada di dalam dunia.
Dijelaskan bahwa Dasein merupakan Ada-di-dalam-dunia, dan ini menjelaskan bahwa manusia Ada karena ia menyadari sesuatu yang Ada disekitarnya. Tanpa adanya Ada manusia tidak dapat menyadari adanya sesuatu disekitarnya, bahkan ia tidak akan menyadari dirinya sendiri berada di dalam dunia. Ketika Dasein telah mengalami kematian maka manusia bagaikan barang yang sudah tidak berfungsi lagi. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa manusia hidup karena adanya roh yang mengendalikan dirinya. Ketika roh ini lepas dan meninggalkan tubuh maka tubuh sudah tidak dapat bergerak dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Teori eksistensi ini menjelaskan tentang keberadaan manusia yang menunjukan bahwa realita sebenarnya di dalam dunia. Eksistensi digunakan untuk menjelaskan keberadaan manusia dan eksistensi sebagai inti berada di sana.[6] Eksistensi menjelaskan tentang manusia berada di dunia, dan bila dikatakan ber-Ada maka manusia harus hidup dan bernafas. Manusia bisa bernafas maka mereka bisa melakukan semua aktivitas di dunia. Bila manusia sudah menyibukkan dirinya dengan dunia maka mereka akan sejenak melupakan kematian yang datang menghampiri.
Teori ini jelas mengatakan bahwa, bila manusia tidak bernafas atau hidup maka mereka dinyatakan tidak bereksistensi atau non eksistensi. Bila manusia itu hidup dan bernafas atau pun mengalami kelumpuhan pada tubuhnya maka dikatakan bereksistensi. Namun, pernyataan ini dapat digagalkan bila menggunakan teori mati sosial. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa manusia harus merespond semua kegiatan di dunia. Bila mereka sudah tidak merespond kegiatan tersebut maka akan dinyatakan mati dengan menggunakan teori mati sosial.
B.     Sein zum Tode
Kematian bukanlah salah satu sifat dari keseharian manusia, melainkan salah satu proses kehidupan yang akan dialaminya. Rasa dan arah menuju pada kematian yang ikut campur dalam keseharian hidup mereka. Menurut Heidegger dalam menjelaskan tentang akhir dari kehidupan seperti berikut:
“Wenn aber das »Enden« als Sterben die Ganzheit des Daseins konstituiert, dann muß das Sein der Gänze selbst als existenziales Phänomen des je eigenen Daseins begriffen werden. Im »Enden« und dem dadurch konstituierten Ganzsein des Daseins gibt es wesensmäßig keine Vertretung. Diesen existenzialen Tatbestand verkennt der vorgeschlagene Ausweg, wenn er das Sterben Ande-rer als Ersatzthema für die Analyse der Ganzheit vorschiebt.”[7]
(Tetapi jika "ujung" sebagai kematian merupakan totalitas eksistensi, maka keberadaan sepenuhnya diri harus dipahami sebagai eksistensialis fenomena keberadaan pernah sendiri. Dalam "berakhir" dan keutuhan sehingga bentukan eksistensi, pada dasarnya tidak ada representasi standar. Fakta eksistensial ini salah memahami usulan jalan keluar jika ia berubah-rer feed sekarat sebagai tema pengganti untuk analisis keutuhan).

Apabila dasein jika "berakhir" sebagai kematian itu merupakan totalitas eksistensi, maka keberadaan dari seluruhnya harus dipahami sebagai fenomena eksistensialis keberadaan pernah sendiri atau ada di dalam dunia. Kata "berakhir" di sini merupakan keutuhan eksistensi, dan berdasar pada representasi standar. Kematian diindikasikan sebagai fenomena eksistensialis yang mendesak penyelidikan ke dalam orientasi murni eksistensial tergantung pada keberadaan mereka sendiri.
Kematian yang menghampiri juga tidak dapat diwakilkan dengan orang lain, dan kita harus menghadapinya sendirian. Misalnya seorang ibu yang tidak dapat mengambilkan rapot putrinya karena suatu acara penting dan sang kakaklah yang datang mengambilkan rapot tersebut. Inilah salah satu contoh tentang keseharian yang dijalani oleh manusia, akan tetapi mereka tidak dapat menggantikan kematian yang menghampiri manusia. Ini menjadi bukti bahwa manusia bisa menggantikan posisi orang lain dan merupakan ciri dasar sosialitas manusia dalam kesehariannya. Tak seorang pun yang dapat menggantikan kematian orang lain, dan kematian tetap akan terjadi pada dirinya sendiri bukan untuk orang lain.
Menurut Heidegger, “Die existenziale Klärung des Seins zum Ende gibt auch erst die zureichende Basis, den möglichen Sinn der Rede von einer Daseinsganzheit zu umgrenzen, wenn anders diese Ganzheit durch den Tod als »Ende« konstituiert sein soll.”[8] (Klarifikasi eksistensial berada di akhir juga hanya dasar yang cukup untuk menentukan kemungkinan makna pidato dari keutuhan eksistensi, jika memang keutuhan ini harus didasari oleh kematian sebagai "akhir").
Klasifikasi eksistensi yang berada di akhir kehidupan menggambarkan tentang makna keutuhan eksistensi tersebut, dan keutuhan ini dibentuk oleh kematian sebagai akhir dari dasein. Kematian merupakan segala hal yang ada dalam diri kita sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Jangan melihat kematian sebagai akhir dari kehidupan manusia ataupun mahluk hidup lainnya, melainkan suatu Ada-menuju-akhir. Dan kematian sudah menjemput Dasein sejak awal keterlemparannya. Lebih diperjelas lagi manusia adalah Ada-menuju-kematian. Seperti yang di tulis Heidegger dalam karyanya Sein und Zeit bahwa,
“Die Angst vor dem Tode ist Angst »vor« dem eigensten, unbezüglichen und unüberholbaren Seinkönnen. “Das Wovor dieser Angst ist das In-der-Welt-sein selbst. Das Worum dieser Angst ist das Sein-können des Daseins schlechthin. Mit einer Furcht vor dem Ableben darf die Angst vor dem Tode nicht zusammengeworfen werden. Sie ist keine beliebige und zufällige »schwache« Stimmung des Einzelnen, sondern, als Grundbefind-lichkeit des Daseins, die Erschlossenheit davon, daß das Dasein als geworfenes Sein zu seinem Ende existiert. Damit verdeutlicht sich der existenziale Begriff des Sterbens als geworfenes Sein zum eigensten, unbezüglichen und unüberholbaren Seinkönnen. Die Abgrenzung gegen ein pures Verschwinden, aber auch gegen ein Nur-Verenden und schließlich gegen ein »Erleben« des Ablebens gewinnt an Schärfe”.[9]
(Ketakutan akan kematian adalah ketakutan "sebelum" kemampuan yang paling tepat, unbezüglichen dan menjadi tak terkalahkan. "Ketakutan adalah ini Apa di dalam-dunia itu sendiri The Apa ketakutan ini menjadi-kaleng keberadaan seperti itu. Dengan takut akan kematian, takut mati tidak boleh disatukan. Ini bukan "lemah" suasana hati sewenang-wenang dan acak individu tetapi, seperti Grundbefind-efektivitas keberadaan, disclosedness eksistensi yang ada sebagai dilemparkan Menjadi menuju akhir. Dengan demikian, konsep eksistensial kematian seperti yang digambarkan dilemparkan untuk sendiri, unbezüglichen dan kemampuan-Nya untuk menjadi tak terkalahkan. Diferensiasi dari menghilangnya murni, tetapi juga terhadap sindrom kematian polos dan akhirnya ke "pengalaman" kematian menjadi lebih akut ").

Rasa takut akan kematian terjadi sebelum kematian itu datang menghampiri. Rasa itu menjadi unggul atau mendominasi perasaan manusia. Rasa takut dan kematian yang menghampiri tidak boleh digabungkan menjadi satu dalam individu manusia. Ini bukanlah perasaan biasa yang dialami oleh setiam manusia, melainkan perasaan dari dalam, kemudian eksistensi yang ada dilemparkan menjelang akhir. Dengan demikian, konsep eksistensial kematian yang dilemparkan jelas mengenai potensi yang paling tepat dan tidak tertandingi.
Kematian yang terjadi pada setiap mahluk hidup bersifat universal dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kapan orang itu akan mati. Kematian menurut Heidegger bukanlah kematian fisik melainkan kematian untuk mati. Kematian fisik dapat digambarkan misalnya orang yang sakit lumpuh dan tidak dapat difungsikan lagi organ tubuhnya. Kematian manusia yang dimaksud Heidegger adalah mati, yakni manusia/orang yang sudah tidak dapat memfungsikan lagi semua organ tubuhnya dan bagaikan mayat yang tidak terpakai (Vorhandenes). Kematian manusia merupakan puncak dari eksistensi manusia di dunia.
Pernyataan ini dengan jelas menegaskan bahwa seseorang dikatakan mati apabila sudah tidak adanya tenda-tanda kehidupan padanya. Heidegger menjelaskan manusia Ada menuju pada kematian. Pernyataan tersebut termasuk dalam kategori mati biologis, yang menjelaskan sudah tidak berfungsinya lagi semua organ tubuh manusia. Heidegger menjelaskan tentang eksistensi manusia merupakan dasein yang berada di dunia, beradanya dasein tersebut menuju pada kematian. Kematian berada dihadapan kita dan merupakan keharusan untuk menjalaninya, kematian tersebut juga tidak dapat di hindari.
Ketakutan yang dialami oleh manusia tentang kematian yang hadir pada diri sendiri membuat diri ini mengalami kecemasan yang sangat berarti. Kecemasan (Angst) muncul dalam keseharian manusia memberikan momen eksistensial yang menuju pada kecemasannya sendiri. Kematian yang terjadi pada manusia diangap menakutkan bagi manusia itu sendiri dan ini menjadi hal yang wajar bagi mereka. Seluruh aktivitas hidup dan menyibukkan diri yang manusia lakukan ini membuat mereka lari dari kecemasan. Usaha mereka dalam menyembunyikan kecemasan/ketakuatan akan kematian sering dilakukan untuk menghibur serta menyembunyikan rasa cemas yang bersifat sementara.
Melihat kematian yang terjadi/dialami manusia bukanlah salah satu faktor eksternal bagi mereka, tetapi kematian ini juga dikehendaki oleh manusia itu sendiri. Misalnya karena tekanan ekonomi dalam keluarga mengakibatkan seorang suami atau istri bunuh diri untuk mengakhiri kehidupan di dunia ini yang penuh penderitaan. Manusia hanya bisa melakukan cara untuk memperlambat datangnya kematian, tetapi usaha yang dilakukannya ini akan sia-sia. Dengan mengantisipasi kematian yang terjadi manakala kita harus menyadari keterlemparan itu sendiri. Menguak segala Ada pada kesibukan kesibukan sehari-hari tidak dapat mengatasi rasa cemas akan kematian yang menjemputnya. Keputusan yang harus di ambil oleh manusia adalah keputusan yang mutlak dan tidak ada tawaran kedua. Seakan-akan ia harus jatuh dan melompat pada keputusan tersebut. Sikap membuka diri terhadap kematian inilah merupakan keputusan yang terbaik bagi manusia itu sendiri tanpa harus menghindar.
Kematian yang dimaksudkan oleh Heidegger, bukan berarti berakhirnya kehidupan melainkan adalah dasar eksistensi dan sebagai puncak eksistensi manusia itu sendiri. Hilangnya eksistensi manusia dan tidak  bisa bereksistensi lagi selayaknya masih hidup, inilah arti kematian menurut Heidegger. Seperti yang sering dikatakan oleh Heidegger, bahwa kematian merupakan akhir dari sebuah buku (tamat). Esensi adalah yang mewujudkan benda itu seperti apa adanya. Seperti halnya tubuh manusia merupakan benda dan jiwa/ruh yang mengisi tubuh itu, jiwa di sini merupakan esensi sehingga manusia itu dapat bereksistensi.
Heidegger tidak meyakini adanya kehidupan setelah kematian adanya, manusia menurutnya menuju pada kematian manusia itu sendiri. Kematian yang terjadi pada seseorang menurutnya mati juga jiwa yang berada dalam tubuh seseorang tersebut. Kematian yang dialami manusia merupakan puncak dari ekssitensi manusia itu sendiri. Adanya esensi dalam tubuh yang disebut roh menurutnya juga mengalami kematian seperti kematian yang terjadi pada diri manusia. Tidak seorang pun dapat menggantikan kematian orang lain, kematian itu akan menjempur pribadi manusia itu sendiri.
Makna kematian yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya menjadi dasar dari pemikiran Heidegger. Kematian-kematian tersebut menjelaskan bahwa sudah tidak berfungsinya organ tubuh yang menjadi pusat kehidupan manusia. Sama halnya dengan Heidegger yang mengartikan kematian manusia sebagai puncak eksistensi manusia. Sudah tidak berfungsi lagi semua organ yang ada dalam tubuh ini bagaikan sebuah benda yang tidak ada fungsinya (vorhandenes). Kematian merupakan totalitas dasein karena dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia.
“Die hierauf bezogenen Untersuchungen gliedern sich in folgender Weise: Die Erfahrbarkeit des Todes der Anderen und die Erfas-sungsmöglichkeit eines ganzen Daseins”.[10] (Penyelidikan yang terkait di dalamnya dibagi dengan cara sebagai berikut: nalar dari kematian orang lain dan deteksi sungsmöglichkeit keberadaan seluruh).
Karakteristik ontologis menjelaskan bahwa dasein menuju pada kematian dan merupakan konsep dari eksistensi kematian itu sendiri. Kehidupan dasein yang berada di dunia membiarkan mereka larut pada setiap aktivitasnya. Selanjutnya saat aktivitas itu berhenti sejenak sekilas pikiran mereka akan terbawa menuju pada kematian. Kesadaran ini tidak bisa dihilangkan langsung dalam pikiran mereka. Kematian orang lain yang ada di sekitar kita merupakan fenomena yang harus kita perhatikan.
Manusia mempunyai struktur ontologis terhadap Ada, karena manusia berwujud dan mengerti konsep. Ada manusia karena mata rantai antara Ada yang khusus dengan Ada yang membutuhkan. Ada menuju kematian merupakan karakteristik manusia, dan merupakan salah satu cara yang terbaik untuk mewujudkan eksistensi manusia secara otentik untuk menjadi manusia yang sejati. Kematian merupakan dasar dalam menghadapi yang ada dan melalui kematianlah manusia dapat menyempurnakan dirinya, karena kematian/ketiadaan merupakan pelengkap dari eksistensi. Ini disebabkan karena manusia adalah makhluk bereksistensi yang hidup dan dapat mati.
Kematian merupakan salah satu cara untuk mewujudkan eksistensialisme secara otentik serta merupakan dasar dalam memahami yang Ada. Suatu wujud eksistensi manusia tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan Tuhan sebagai sang pencipta kehidupan. Saat Dasein mencapai pada totalitasnya, begitu sampai pada puncak maka itulah ketiadaan yang menghampiri. Inilah yang dimaksudkan Heidegger tentang kematian. Ketika manusia hidup itu merupakan bagian-bagian saja, dan manusia merealisasikan sebagian-sebagian dari hidupnya.
Pada saat kematian menjemput, saat itulah totalitas kehidupannya terjadi. Totalitas di sini diartikan sebagai keseluruhan dari realisasi hidupnya. Kematian yang terjadi pada manusia ini akan menyebabkan manusia tidak bisa lagi mengalami kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyelimuti dalam kebebasan hidupnya. Bila manusia sudah mati maka berakhirlah pula eksistensi manusia. Mereka tidak bisa lagi mengadakan sesuatu dan mereka juga tidak bisa lagi diadakan oleh yang lain.
Kesadaran yang bersifat menolak yang sedang dihadapi (dalam hal ini adalah kematian) merupakan kesadaran buruk. Sebab, perasaan duka sama sekali tidak pernah berpadu dengan kesadaran baik. Dengan kata lain, berduka cita bukanlah suatu kebajikan, bukan pula suatu perwujudan dari rasa bakti, tulus, dan setia.[11] Heidegger menjelaskan dalam kesehariannya bahwa dalam menyibukkan diri pada setiap aktivitas tidak membawa orang itu keluar dari kecemasannya terhadap kematian tetapi akan mempercepat proses datangnya kematian. Apabila manusia itu sibuk dengan aktivitasnya sesaat bisa melupakan kematian, tetapi bila tanpa sadar ia merenungkan kehidupan ini saat itulah akan teringat dengan kematian yang menghampirinya.
Heidegger merupakan tokoh pemikir kritis dengan segala pemikirannya yang menunjukkan eksistensi dirinya. Pemikiran tentang eksistensi mendasari dirinya untuk berpikir lebih jauh terdalam dalam memahami ada. Setelah ia memahami tentang ada dan saat itu pula ia dihentikan dengan ‘Tiada’. Rasa inilah yang menyebabkan ketakutan dan kecemasan dalam diri manusia. Kierkegaard menjelaskan, dalam mengatasi kecemasan manusia harus melakukan loncatan iman. Dalam arti memahami adanya manusia karena Tuhan yang menciptakan manusia, dengan meresapkan segala sesuatu pada imannya.[12] Tuhan tidak dapat dipahami dan tidak dapat dimengerti, hanya jalan menuju Tuhan merupakan langkah keyakinan manusia.
Keyakinan ini yang mendasari manusia untuk memahami Tuhan dan merupakan keinginan paling kuat dalam diri manusia. Keberadaan manusia adalah realitas dari diri sendiri dalam keadaan konkrit. Bila dihadapkan dengan Tuhan manusia akan sadar dengan dosa yang membebaninya. Kesadaran ini yang membawa manusia untuk beriman pada Tuhan. Seperti halnya kematian yang terjadi pada manusia. Dengan pemahaman sekilas dan tidak mendasar manusia tidak dapat memahami secara mendalam kematian itu sendiri.
Kehidupan manusia di dunia yang bersifat sementara membuat kita akan selalu terlena dengan setiap keindaannya. Begitu pula dengan kematian yang ada setiap waktunya pada manusia, Heidegger menekankan pada kematian yang dialami manusia sebagai puncak dari adanya manusia itu sendiri di dunia. Setiap aktivitas yang dilakukan manusia dalam menghindari kematian tidak membawanya pada kebahagiaan. Bahkan langkah ini akan membawa manusia pada kecemasan dan rasa takut yang mendalam dalam pikirannya.
Sesaat manusia akan melupakan adanya kematian akan tetapi perasaan itu akan muncul bila mereka sesaat menyadari kematian itu sendiri. Kematian yang terjadi ini membawa manusia pada puncak kesempurnaannya. Ragam pemikiran tentang kesempurnaan manusia yang membingungkan membuat segala fenomena duniawi. Manusia sebagai produk tertinggi dari kegiatan dasar dunia dan merupakan makhluk yang paling malang. Oleh karena itu manusia akan mencapai pada kesempurnaan ketika menemui kematian.[13]
Setelah manusia mencapai pada puncak kesempurnaannya saat itu pula manusia harus mati dan ini menjelaskan bahwa eksistensi manusia berakhir pada kematian manusia itu sendiri. Dasar inilah yang menjadi pemikiran Heidegger tentang kematian. Dari mana dan ke mana manusia akan berada menjadi sisi kebingungan dalam pemikiran Heidegger dan ia menyebutnya sebagai “keterlemparan”. Proses ini yang mendasari tentang pemikirannya dalam mengartikan kematian lebih lanjut. Kematian manusia bagaikan sebuah benda yang kehilangan fungsinya.
Eksistensi manusia memang menentukan pada kemungkinan-kemungkinannya. Setiap manusia yang hidup seutuhnya dibentuk oleh kebudayaan yang ada dilingkungannya.[14] Misalnya manusia yang lahir pada lingkungan keraton dengan kebudayaan yang sopan dan santun. Sikap ini akan membentuk dan menciptakan pribadi manusia yang santun pula. Setelah menjalani seluruh kehidupan yang ada dan pada akhirnya berakhir pada kematian/ketiadaan.
Heidegger mengartikan manusia yang sebenarnya sudah ditakdirkan untuk mati begitu ia lahir di dunia. Hakekat manusia yang sebenarnya adalah menyongsong pada kematian. Setiap ada yang lahir di dunia ada pula yang mati dan meninggalkan dunia. Ini menjadi pembahasan yang cukup serius bagi setiap manusia yang hidup. Detik-detik menjelang kematian merupakan saat-saat paling otentik yang dimiliki setiap individu, karena kesadaran akan hal ini mereka akan menghadapi kematiannya sendiri tanpa ditemani oleh orang lain.
Kesadaran ini mengajarkan pada setiap manusia untuk melatih dirinya dalam menghadapi kematian. Rasa kecemasan yang ia rasakan akan melatih pribadi mereka untuk tetap tegar dalam menghadapi kematian saat waktu yang tidak ditentukan. Kematian ini akan terus menjadi sumber rasa takut dan cemas pada manusia tanpa mereka sadari. Bukan hanya menghadapi kematiaannya sendiri melainkan kematian yang terjadi pada seseorang di sekitarnya maupun orang yang ia cintai. Kematian disekitarnya menjadi contoh dan juga menjadi pengalaman bagi kita dalam menghadapi kematian.
Kematian yang datang pada kita tidak selamanya dihadapi dengan rasa sedih dan cemas. Kematian dan kehidupan merupakan suatu keadaan yang meningkatkan kesadaran setiap makhluk seiring perjalanan hidupnya. Kematian merupakan teman dari kehidupan, karena kehidupan sejati terjadi setelah seseorang melewati gerbang kematian. Maka dari itu kematian yang datang menjemput, kita sambut dengan rasa senang dan bahagia. Kematian yang menghampiri kita menjadi bukti bahwa kita telah berada dalam dunia dan membawa pada kehidupan yang sebenarnya.
Teori tentang kematian yang sudah dijelaskan sebelumnya menjadi dasar analisa dalam mengartikan kematian manusia menurut Martin Heidegger. Heidegger dengan gamblang menjelaskan manusia mati bagaikan barang yang sudah kehilangan fungsinya. Pernyataan kematian sama arti dengan mati biologis, yang mana sudah tidak adanya tanda-tanda kehidupan. Manusia hidup pasti akan mati, dan adanya manusia menuju pada kematian merupakan pernyataan yang konkret sebagai puncak eksistensi manusia.
C.    Dasein is Sein zum Tode Relevansi dengan Islam
1.      Hidup Menuju ke Alam Kematian
Manusia hidup sesuai kodratnya hidup di dunia. Manusia terdiri dari jasad dan roh, jasad merupakan lembaga roh dan roh merupakan hakikat manusia. Menjalankan seluruh kewajibannya dan menjauhi segala larangannya, inilah upaya hidup yang harus dijalani manusia. Mereka lebih menikmati kehidupan di dunia yang penuh dengan kenikmatan, tanpa menghiraukan bahwa kematian menjemput mereka setiap saat. Bagi mereka, manusia yang taat beriibadah akan menganggap kematian merupakan jalan menuju pada sang pencipta. Dan bagi mereka, yang selalu berbuat maksiat akan memandang kematian sebagai akhir dari kehidupan.
Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya mati secara permanen, baik dari penyebab alami seperti penyakit atau dari penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan. Semua orang tidak akan tahu apa itu kematian, bagaimana rasa dari kematian itu sendiri. Bisa saja kematian itu adalah hal yang menyenangkan, atau bisa saja itu hal yang paling mengerikan yang ada didunia. Berikut ajaran Agama yang menjadi keyakinan setiap umat manusia di dunia mempunyai persamaan dalam mengartikan kematian.
Menurut ajaran Agama Nasrani, kematian ialah perpisahan antara tubuh dan roh. Jiwa atau kesadaran tubuh yang tidak memiliki roh (Yoh. 2:2). Tubuh bersifat sementara atau fana (Rom. 6:12), sedangkan jiwa atau roh kekal (Mat. 10:28). Kematian bukan merupakan akhir dari kisah kehidupan manusia. Ketika manusia mati, tubuh insanilah yang berakhir atau lenyap, sedangkan jiwa atau roh manusia tetap hidup. Tidak dapat dikatakan bahwa dengan kematian segalanya hilang tidak berbekas. Sebab pandangan itu memaksa kita juga beranggapan bahwa segala bagian kemanusiaan, entah bagian jasmaniah, entah bagian psikologi atau segala perbuatan dan hasil usaha manusia itu hanya akan menuju kehancuran belaka.[15]
Menurut Agama Hindu, kematian itu merupakan saat yang sangat penting, bahkan saat menentukan arti kehidupan seseorang. Kematian akan memberikan arti pada segala usaha dan kemeriahan yang kita dapatkan selama mungkin 20-an tahun kita hidup, mungkin 40-an tahun kita hidup, mungkin 60-an tahun kita hidup, atau mungkin hanya beberapa kerlipan mata kita hidup di dunia ini. Oleh karena itulah dianjurkan agar orang segera mengingat Tuhan Yang Maha Esa pada saat meninggal. Agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa dengan mengingat dan bersujud pada Tuhan disaat meninggalkan badan kasar adalah sangat menentukan tempat yang akan dituju di alam sana .
Kesempatan untuk ingat Tuhan pada detik-detik kematian bukanlah hadiah atas tidak melakukan apa-apa. Ia merupakan hasil dari pembiasaan menyebut, memanggil, memuja dan menyembah, mengingat, meneriakkan dan menyerahkan diri menyeluruh kepada Tuhan. Tidak perlu berbangga diri jika memiliki ketenangan menyambut kematian, tanpa harus membiasakan diri membawa kesadaran kepada-Nya setiap hari. Hanya dengan membiasakan kesadaran ingat Tuhan pada saat meninggal akan terjadi, dan ia akan mampu mengantarkan kita ke tempat yang indah dalam spiritual. Sesungguhnya kematian dan kehidupan secara fundamental bukanlah pengalaman-pengalaman yang tersendiri.[16]
Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci Agama Budha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani manusia atau materi. Keempat kelompok pertama merupakan kelompok batin atau ‘nama’ yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Sedangkan kelompok kelima yaitu jasmani manusia atau materi merupakan ‘rupa’, yakni kelompok fisik atau materi.[17] Gabungan batin dan jasmani inilah yang disebut individu, pribadi atau ego.
Sang Budha menjelaskan bahwa kelompok ini bukan suatu pribadi lagi, melainkan suatu serial dari proses fisik dan mental yang tidak akan diam tetapi akan terus mengalir. Maka kelompok-kelompok ini akan muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam waktu yang sekejap. Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa. Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi atau ilmu kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama yaitu di dalam kubur atau menjadi segenggam debu. Pengertian ini bukanlah akhir dari kehidupan dan kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin.
Menurut Agama Islam, maut atau mati adalah terpisahnya “roh dari dzat, jiwa dari badan atau keluarnya roh dari badan atau jasmani. Pada akhirnya, maut adalah akhir dari kehidupan dan sekaligus awal kehidupan (yang baru). Jadi maut tidak diartikan sebagai kesudahan, kehancuran atau kemusnahan. Maut adalah suatu peralihan dari suatu dunia ke dunia lainnya, yang dialami setiap manusia dan hanya sekali. Hal ini digambarkan dalam firman-Nya yang artinya “mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya (surga), kecuali mati di dunia (QS.44-56)”.[18]
Seseorang tidak dapat lari dan menjauhi kematian. Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah Al-Qur’an, orang yang mati disebutkan “kembali kepada sang pencipta”.
Manusia terbagi atas dua unsur yaitu roh/jiwa dan tubuh (jasad) adalah unsur tanah/bumi. Roh atau nyawa manusia adalah zat halus, yang pada waktu mati meninggalkan tubuhnya yang kasar itu. Surat Al-Zumar ayat 47 menggambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Lebih lanjut hadis nabi Muhammad saw, mengatakan: “tidur adalah saudara mati”. Di surga tiada mati, sehingga tiada pula tidur. Setiap orang pasti takut untuk mati karena akan berpisah dari segala yang disayanginya.[19] Mati berarti pergantian hidup jasad (tubuh) dengan hidup di akhirat, sebagaimana halnya lahir adalah pergantian hidup dalam kandungan ibu dengan hidup di alam bebas. Merasakan mati berarti perasaan bercerai badan dengan rohnya.
Kematian manusia dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan, seperti yang terdapat dalam firman Allah berikut:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
 “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”. (Surat Az Zumar: 30).[20]
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian”. (Surat Ali `Imran: 185).[21]

 “Di mana pun kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (Surat An Nisa’: 78)[22]
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةُُ يَقُولُوا هَذِهِ مِن عِندِ اللهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةُُ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلُُّ مِّنْ عِندِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلآَءِ الْقَوْمِ لاَيَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
 “Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan”. (Surat Al Jumu`ah: 8).[23]

 “Sesungguhnya segala yang bermula itu akan berakhir, setiap yang kuat itu memiliki kelemahan dan setiap yang hidup pasti akan mati”
Pada dasarnya manusia hidup menuju pada kehidupan selanjutnya. Seperti halnya pepatah jawa mengatakan “urip mung mampir ngombe”, kehidupan dunia yang bersifat sementara dan kehidupan yang sebenarnya adalah alam akherat. Pernyataan ini berkaitan dengan pemikiran Heidegger akan mati atau ada menuju pada kematian. Islam meyakini kehidupan di dunia merupakan alam sementara dan bukan alam kehidupan yang sesungguhnya. Dalam menuju alam akherat manusia harus mati terlebih dahulu untuk bisa berada di sana. Tanpa mengalami rasa mati mereka tidak akan pernah mengetahui alam sebenarnya. Dan bagi mereka yang sudah mati juga tidak dapat memberitahu pada mereka yang hidup tentang keberadaan alam akherat tersebut.
Islam secara tidak langsung menerapkan teori eksistensi yang menjelaskan tentang keberadaan manusia di dunia. Ketika manusia itu bernafas maka dikatakan hidup, bila manusia itu tidak bernafas maka dikatakan mati. Pernyataan ini menjelaskan tentang dasar eksistensi. Setiap manusia yang hidup pasti bereksistensi, dan berada di dunia. Setelah kematian menjemputnya maka ia tidak bisa dikatakan bereksistensi walaupun masih dalam wujud jasad manusia.
2.      Alam Sesudah Mati
Alam dunia yang bersifat sementara selalu salah diartikan oleh manusia. Mereka terlalu memuja dan tergoda dengan keindahan dunia. Islam menjelaskan bahwa setiap kematian yang menjemput manusia merupakan salah satu anugerah luar biasa. Salah satu jalan menuju kehidupan yang kekal abadi. Di waktu hidup orang dapat merasa, berfikir, mengingat, menghayal dan bertindak, karena waktu itu roh masih ada dalam tubuh tetapi waktu mati orang tidak tahu apa-apa tak dapat berfikir, mengingat ataupun mengkhayal. Oleh sebab itu ada salah satu pendapat bahwa kematian adalah nikmat terakhir dari Allah bagi setiap diri dalam kehidupan di dunia kini.
Pada umumnya diri yang mengalami kematian lebih dulu merasa sakit. Rasa sakit ini telah dimilikinya semenjak mulai lahir ke dunia dan rasa inilah yang menimbulkan kewaspadaan, takut, yang sesungguhnya dalam kehidupan. Bila rasa sakit itu sudah meningkat maka diri itu jadi gelisah dan akhirnya menderita. Jika ketika itu maut tidak datang maka diri itu akan lebih menderita untuk kesengsaraan yang lebih gawat. Ketika roh diangkatkan-NYA dan matilah diri itu, dia terbebas dari rasa sakit yang amat gawat. Sebaliknya jarang sekali kita mendengar kabar tentang kematian yang tidak didahului rasa sakit. Dengan terjadinya kecelakaan dan pembunuhan itu juga merupakan salah satu faktor kematian yang menjemput manusia.
Islam menjelaskan kematian Su’ul khatimah dan kematian Khusnul Khatimah. Hampir semua umat Islam mengerti akan hal itu, dan bagaimana cara mereka menyingkapinya. Dalam ajaran Islam sudah dijelaskan dalam kitab sucinya, bahwa hidup di dunia ini sangat sementara dan kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat. Amal perbuatan manusia menjadi pegangan dan menjadi bukti kesaksian hidup mereka di dunia dan menjadi pertanggung jawaban mereka nantinya di akhirat. Adanya kehidupan setelah kematian dan kehidupan di dunia menjadi ajaran Islam dan ajaran Agama atau kepercayaan lainnya. Sama-sama mengartikan adanya kehidupan setelah kematian, Islam seakan-akan menjelaskan dengan detail bahwa beginilah kehidupan yang akan dialami oleh manusia yang berbuat baik dan bagi mereka yang berbuat tercela. Agama atau kepercayaan lainnya menjelaskan adanya kehidupan setelah kematian sebagai salah satu nikmat dan nantinya akan mendapatkan tempat yang dekat dengan sang penciptanya.
Itu semua hanyalah gambaran yang diajarkan pada setiap umatnya agar pada dasarnya hidup di dunia ini tidak sia-sia dan bermanfaat bagi orang lain. Semua Agama mengajarkan seperti itu, untuk memperoleh kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat. Dengan hidup seperti itu tidak menutup kemungkinan Tuhan akan memberikan yang terbaik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat. Kita sebagai manusia hanyalah hamba yang harus patuh dan taat terhadap aturan Tuhan yang sudah menciptakan bumi dan seisinya. Tidak ada kemampuan manusia yang mengimbangi ataupun menyamai kemampuan Tuhan.
Agama atau keyakinan manusia sudah menjelaskan sedikit gambaran tentang kematian, dan ini menjadi dasar bahwa adanya kehidupan setelah kematian merenggut nyawa manusia. Menurut Heidegger mengartikan kematian manusia merupakan akhir dari eksistensi manusia di dunia ini adalah benar adanya. Hanya saja ia tidak mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Keyakinan menjadi dasar utama setiap makhluk untuk mempercayai suatu hal terutama kehidupan setelah kematian. Kematian yang datang pada manusia membuatnya merasa takut dan cemas, bila pernyataan ini di lihat dari sudut pemikiran Heidegger. Apaila dikaitkan dengan keyakinan akan merasa tenang, bahwa kehidupan ini tidak berhenti sampai pada kematian saja.
Ketakuatan atau kecemasan ini merupakan mistik yang dirasakan oleh setiap manusia dalam menghadapi kematiannya. Rasa cemas ini menimbulkan suatu pertanda bahwa kematian itu akan datang dan membuktikan adanya kehidupan setelah kematian. Setiap manusia yang mengalami kematian mereka akan merasakan begitu cepat rasa itu datang menghampirinya. Kecemasan (angst) inilah yang menyebabkan adanya pemikiran tentang “keterlemparan” manusia di dunia. Mereka tidak pernah berpikir dari mana dan ke mana mereka akan berada, dan mengapa manusia hidup yang kemudian harus mati. Dalam pandangan kosmologi jawa ini sama halnya dengan “sangkan paraning dumadi”.
Sangkan paraning dumadi merupakan proses perjalan manusia dari zaman ke zaman selanjutnya dan begitu seterusnya tanpa disadari oleh manusia itu sendiri. Dia (Tuhan) adalah Sang Sangkan dan sekaligus Sang Paran. Dia hanya satu yanpa kembaran. Maka dalam bahasa jawa dikatakan bahwa Gusti Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari. Bisa dikatakan bahwa tuhan itu adalah Maha Raja Diraja.[24] Tuhan merupakan pengusa di dunia ini setiap kehendaknya yang Dia inginkan pasti akan terjadi, begitu halnya dengan kematian yang datang pada setiap manusia. Saat itu juga bila Tuhan menghendaki seseorang untuk mati maka matilah orang tersebut.
Setiap pembicaraan yang berkaitan dengan kematian seseorang akan merasa kurang nyaman dalam membahasnya. Padahal mereka akan mengalami pengalaman seperti ini. Mereka akan beranggapan bahwa kematian akan menimpa bagi mereka yang sudah lanjut usia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa dengan menyibukkan diri pada setiap aktivitas kehidupan akan sedikit melupakan kematian. Bila saatnya tiba kematian itu pasti datang dan menghampiri orang tersebut.
Heidegger yang menjelaskan tentang kematian seseorang merupakan puncak dari eksistensi orang itu sendiri tanpa meyakini adanya kehidupan setelah kematian. Seharunya bagi mereka yang sudah mempunyai keyakinan teguh akan bersemangat dalam menyambut kematian yang datang mengahampirinya bukan malah pergi menjauhinya. Bila orang bisa sembunyi pada kematian, maka semua orang akan sembunyi sampai tidak bisa ditemukan. Keyakinan yang menjadi dasar setiap manusia religious merupakan langkah yang harus mereka jalani.
Sungguh disayangkan bahwa pendapat Heidegger tentang tidak adanya kehidupan setelah kematian membuat seseorang akan berpkir bahwa ia tergolong dalam pemikiran eksistensi yang atheis. Bila dikaitkan dalam pemikiran orang jawa, pemikiran Heidegger tentang ini sama persis dengan pendapat orang jawa. Orang jawa berpendapat bahwa kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang sudah mati, melainkan pengangkatan derajat yang lebih tinggi dari pada orang-orang yang masih hidup.[25]
Kematian merupakan sebuah fenomena yang dibicarakan dalam skala iman atau kepercayaan seseorang. Setelah kematian, yang ada hanyalah ketiadaan. Apa pun kepercayaan yang dianut oleh setiap manusia ia tidak akan pernah mengetahui adanya kehidupan setelah kematian. Agama mempunyai keyakinan yang dipercayai setiap makhluk sudah menjelaskan secara rinci tentang kematian. Setiap ada yang lahir ada pula yang akan mati.
Rasa takut tentang kematian akan terus membayangi setiap manusia. Bila mereka terus merasa takut, rasa itu akan terus menyiksa batin seseorang. Maka dari itu kita mengahdapi kematian dengan hati gembira dan tenang. Kecelakan, pembunuhan, bencana alam inilah salah satu faktor kuat yang menjadi dasar setiap manusia untuk mengahadapi kematian dengan rasa ceman dan ketakutan. Pengalaman ini menjadi gambaran setiap manusia saat kematian datang menghampiri.
Agama sudah menjelaskan adanya kehidupan setelah kematian. Adanya kenikmatan bagi mereka yang taat berAgama dan penderitaan yang hengkang dari perintah Tuhan. Gambaran seperti ini secara tidak langsung sudah memberikan gambaran yang menyedihkan dan menyakitkan saat manusia mengalami kematian. Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, maka dari itu Dia tidak akan pernah memberikan posisi pada mereka yang tidak semestinya menjalankan perintahnya. Secara nalar menjelaskan bahwa mereka yang berbuat baik mendapatkan yang baik dan begitu sebaliknya.
Pendapat Heidegger tentang tidak adanya kehidupan setelah kematian seharusnya dipahami secara mendalam dengan sudut pandang yang berbeda pula. Bila ia melihat kematian dengan sudut pandang eksistensialis maka dengan jelas mengatakan bahwa kehidupan manusia berakhir pada kematian, dan manusia sebagai puncak dari eksistensi manusia itu sendiri. Berbeda pendapat bila sudut pandang ini di lihat dari segi keyakian, maka akan ada kehidupan setelah kematian yang memberikan tempat bagi mereka yang taat dan bagi mereka yang sering melakukan maksiat.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa setiap Agama maupun keyakinan yang menjadi dasar keimanan manusia mengajarkan untuk mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Tidak ada salahnya Heidegger memberikan argument seperti itu, karena ia mempelajari eksistensialisme secara mendalam dan kemudian mengesampingkan keyakinan. Keyakinan dan eksistensialis seharusnya berjalan beriringan. Tuhan sudah menciptakan dunia seisinya, menjadikan manusia lahir dan mati, tidak mungkin Dia akan menciptakan dunia yang berhenti pada pemahaman Ada. Dia pastinya akan menciptakan kehidupan yang “tiada” (kehidupan setelah kematian).
Setelah menyadari hukum dan aturan hidup, proses pemahaman harus berlanjut pada kesadaran untuk memaknai dan memahami tujuan hidup. Manusia hidup di dunia bertujuan untuk mati dan menjalani keehidupan setelah kematian. Alam semesta yang diciptakan Tuhan ini penuh dengan misteri, sehingga untuk menguak misteri tersebut harus ada kesadaran dan pemahaman yang membimbing manusia pada jalan yang benar. Agama merupakan jalan yang lurus dan mendidik manusia untuk menjadi pribadi yang religious. Agama juga digunakan sebagai dasar keimanan manusia yang hidup di dunia.


[1] Komaruddin Hidayat. Psikologi Kematian Kisah-kisah Penerima Kematian (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 8.
[2] Ibid, h. 9.
[3] Ibid, h. 83.
[4] Ibid, h. 84.
[5] F. Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), h. 87.
[6] Martin Heidegger, Existence and being di edit dengan introduksi, oleh Warner Brock, Chicago: Henry Regnery Company, 1949
[7]                               , An Introduction to Metaphysics. Diterjemakan oleh  Ralph Manhheim. Garden City, New York: Doubleday-Anchor Books, 1961. (Einfurung in die Metaphysik, 1953). h. 24.
[8]                               , Sein Und Zeit (Tubingen: Max Niemeyer, 1953), paragraf 48, h. 245.
[9] Ibid, paragaraf 50, h. 251.
[10] Ibid, paragaraf 46, h. 236-237.
[11] Rangkai Wisnumurti, Sangkan Paraning Dumadi (Yogyakarta: Diva Press, 2012), h. 49.  
[12] F. Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian, h. 78
[13] Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2.

[14] F. Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian, h. 82.
[15] Michael Keene, Agama-Agama Dunia ( Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 141.
[16] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha ( Jakarta: BPK-GM, 2005), h. 73.
[17] Upasika Pandita Abhayahema. Viija-Dhamma (Jakarta: Yayasan Sekta Jaya Abadi, 1991), h. 131.
[18] Ensiklopedia Islam 3 ( Jakarta: PT. Ichtisar Baru Van Hoeve, 1994), h. 211-212.
[19] Muthilb Mohyiddin, Tahap-tahap Kehidupan Manusia Menurut Pandangan Islam (Jakarta: Gunung Jati), h. 73.
[20] Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Dep. Agama RI, 1978), h. 750.
[21] Ibid, h. 109
[22] Ibid, h. 131
[23] Ibid, h. 933 
[24] Rangkai Wisnumurti, Sangkan Paraning Dumadi, h. 16.  
[25] Ibid, h. 70.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar