BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran yang mendasar pada salah satu
aliran yang dikenal oleh dunia yakni eksistensialisme, membuat ia dikenal dunia
dengan satu kalimatnya. “Bukan apanya yang didahulukan (esensi) tetapi bahwanya
yang didahulukan (eksistensi)”. Martin Heidegger merupakan seorang filsuf muda
yang berasal dari Jerman, dengan pemikirannya tentang eksistensi. Ayahnya
merupakan seorang pendeta dari gereja Katolik Santo Martinus yang bernama
Friedrich dan Johanna Heidegger sebagai ibunya. Pada tanggal 26 September 1889
ia dilahirkan di kota kecil Messkirch.
1
|
Banyak filsuf yang menyamakan antara Being
(sein; diartikan ada, manusia) dengan be ing (seined; diartikan
benda)[2],
sehingga mereka akan menganggap bahwa manusia itu sama halnya dengan benda. Antara
“Ada” (being) dengan “a” besar dan
“adaan” (be ing). “Ada” merupakan
sesuatu yang melampaui dan menyelubungi “adaan”. “Ada” diartikan sebagai
manusia yang mengada, dan “adaan” merupakan benda yang diadakan. Jadi “Ada”
merupakan manusia, dan “ada” merupakan benda.
Menurut Heidegger pertanyaan tentang
hakekat Ada itu dapat dijawab secara ontologis dengan menggunakan metode
fenomenologi yang ia pelajari dari Husserl. Metode ini digunakan Heidegger
untuk menjelaskan tentang kesadaran kepada “kemanusiaannya” dan berbanding
terbalik dengan Husserl yang menggunakan metodenya untuk menjelaskan
“kesadaran” manusia.[3]
Mengapa Heidegger menjadikan “ada” (being)
sebagai dasar filsafatnya. Pertama, situasi zamannya yang kosong akan kesadaran
Tuhan disebabkan karena kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya
mengerti Sang Ada saja, eksistensi manusia akan menjadi sejati. Kedua,
ketidakmampuan manusia dalam memahami Tuhan dan tidak mampu menangkap
kehadiran-Nya disebabkan bahasa lisan mengenai “ada” tidak didengarkan dan
tidak dikembangkan lagi, sehingga harus berusaha menemukan sang Eksistensi
yaitu “ada” untuk dibahasakan kembali dan diberi arti baru.[4]
Dua struktur “ada” ini dibahas dalam adanya manusia dengan metode fenomenologi Husserl.
Cara berada manusia menunjukkan kesatuan dengan alam jasmani. Manusia selalu
mengkontruksikan dirinya dalam alam jasmani menjadi satu susunan. Dengan kata
lain, manusia selalu membelum, menyedang dan menyudah. Sartre menyatakan bahwa
hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre
(akan/sedang). Jadi, manusia selalu membangun ada-nya.[5]
Upaya manusia dalam memahami keberadaannya
di antara semua makhluk yang tergelar di jagat raya membawa manusia dalam perjalanan
pengembaraan yang tidak pernah berhenti. Pertanyaan tentang dari mana dan mau
ke mana membuat perjalanan semua makhkuk terus berlangsung dari zaman ke zaman.[6]
Pertanyaan ini menjadi beban manusia untuk terus berpikir dan menemukan jawaban
yang masih abstrak untuk dijelaskan.
Manusia hidup di dunia dibedakan atas dua
jenis yakni, laki-laki dan perempuan. Begitu halnya nilai dalam kehidupan
berupa baik-buruk, indah-jelek, benar-salah, serta hidup dan mati. Dalam
kehidupan di dunia manusia dibebaskan memilih untuk melakukan semua hal. Begitu
halnya melakukan kebaikan dan keburukan setiap waktu. Banyak sekali manusia
yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akherat.
Dunia bagi mereka adalah yang terpenting
dan utama untuk mewujudkan semua keinginan, tetapi bila sudah sampai pada
pertanyaan, siapkah mati sekarang? Mereka terus berusaha untuk menghindar dan
mencari cara untuk hidup abadi. Tidak sedikit dari mereka yang menuhankan
sesuatu yang mistis dan keramat selain Allah. Maka dari itu, manusia diberi
akal untuk berpikir dan memutuskan sesuatu sebelum melakukan sesuatu. Dalam
konteks ini, kematian sering menjadi momok yang menakutkan. Manusia sering
bertanya dalam hati, bila sudah mati berarti akhir dari kehidupan dan sudah
tidak ada kehidupan yang lainnya.
Menurut Agama pertanyaan seperti itu salah besar, karena kematian bukanlah akhir dari
kehidupan melainkan fase menuju kehidupan selanjutnya yakni alam akherat. Banyak
yang mengartikan alam akherat adalah kehidupan yang sebenarnya. Di mana manusia
mendapat balasan dengan apa yang telah dilakukannya selama di dunia. Mereka berpikir,
bagi mereka yang beramal shaleh ditampakkan sebuah potret kebahagiaan dan
kehidupan enak di surga. Sedangkan, mereka yang sering melakukan kemaksiatan
dan bergelimang dosa akan mendapatkan siksaan sampai hari kiamat kelak tiba. Masalah
kebahagiaan dan siksaan di alam akherat nantinya merupakan hal yang ghaib dan
hanya Allah yang mengetahuinya.
Bagi mereka yang berpikir praktis dengan
keilmuan yang terus berkembang, kematian adalah suatu siklus kehidupan yang
akan dialami oleh semua makhluk yang hidup di dunia. Alam akherat merupakan
alam dimensi lain yang abadi dan berbeda dari kehidupan di dunia sebelumnya. Manusia
sangat menakuti kematian karena mungkin mereka berpikir akan mengalami
kehidupan yang berbeda dari dunia sebelumnya dan itu dipastikan. Mereka harus
melupakan antara baik-buruk, indah-jelek, benar-salah. Mereka akan melupakan
semua orang-orang yang didekatnya dan berpikir untuk dirinya sendiri.
Kematian merupakan konsekuensi kehidupan
bagi manusia maupun makhluk lainnya yang ada di alam semesta dan jagat raya. Dalam
kematian, manusia dihadapkan dua hal yakni, kematian merupakan resiko kehidupan
dan karenanya tidak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Selanjutnya,
makin banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, makin ringan sentuhan di hati
mereka. Sedangkan, malapetaka kematian menyentuh semua orang dan seharusnya
tidak menimbulkan kesedihan yang berlarut-larut.[7]
Manusia diciptakan Allah dengan tujuan utama bahwa ia berasal dari-Nya dan akan
kembali pada-Nya. Adanya kematian merupakan jalan menuju kehidupan yang
sebenarnya, yakni kehidupan yang asal, kehidupan yang tidak terkena maupun tersentuh oleh
kematian seperti orang jawa mengatakan “urip tan keno ing pati”.[8]
Tidak hanya manusia yang mengalami
kematian, jin dan semua makhluk-Nya termasuk malaikat akan mengalami kematian. Hanya
saja yang akan mendapatkan hisab hanyalah manusia dan jin. Kematian seseorang
merupakan salah satu dari lima hal yang mutlak dan menjadi hak Allah, yakni:
(QS. al Luqman [31] 34 juz 21)[9]
“Sesungguhnya Allah, pada sisi-Nya pengetahuan tentang
hari kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada
dalam rahim, dan tidak satu jiwa pun yang dapat menegtahui apa yang akan
diusulkan-Nya besok. Dan tidak satu jiwa dapat mengetahui di bumi mana dia akan
mati, sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyayang.”
Manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya
besok atau yang akan diperolehnya. Namun
demikian mereka diwajibkan untuk berusaha.[10] Kematian manusia dibedakan menjadi dua hal yakni,
kematian Su’ul khatimah dan kematian Khusnul Khatimah. Seperti halnya
perbuatan baik buruk manusia mempengaruhinya dalam kematian nanti. Semua itu
didasarkan pada keyakinan manusia itu sendiri. Banyak yang meyakini kematian Khusnul
Khatimah akan mendapatkan kebahagiaan hingga tiba hari kiamat kelak. Begitu
sebaliknya dengan Su’ul Khatimah siksaan dan penderitaan yang
terus-menerus. Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia kelak di akherat
tidaklah gratis dan tidak mungkin mengandalkan doa dan kasih sayang Allah.
Persoalan kematian, dengan sebab dan
akibatnya, serta surga dan neraka, harus terus-menerus diingat dan direnungkan
agar menjadi pondasi kita dalam menjalani kehidupan. Kematian dan kehidupan di alam
akherat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, serta mempunyai kaitan
yang sangat erat dengan kehidupan manusia di dunia. Dapat dinyatakan bahwa
kematian yang terjadi dalam kehidupan, tidak hanya sebagai proses peralihan
dari kehidupan di suatu alam yang lain, yang pada puncaknya berada dalam
kehidupan abadi, atau alam akhirat.[11] Selama
kita masih di dunia, marilah kita terus berupaya untuk mendapat kehidupan yang
bahagia di akherat nantinya.
Dalam hidupnya Heidegger ingin mengetahui keadaan manusia sebelum
keadaan itu sendiri, kemudian ia melakukan penelitian secara ilmiah dalam
wujudnya yang belum ditafsirkan. Hasil usahanya ini menemukan dasein berarti “berada di dalam dunia”?[12] Maka dari itu manusia dapat memberi tempat pada benda-benda
disekitarnya, dan dapat berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Keberadaan
manusia ini merupakan sebuah “situasi terlempar”nya itu ke dunia atau Gowerfenheid. Manusia yang lebih
mementingkan kebahagiaan di dunia yang bersifat sementara dan selalu menyibukkan
dengan kesibukan duniawi tanpa memikirkan kehidupan nantinya setelah mati. Dalam
realita
yang ada, banyak manusia yang terus mengejar impian dan pekerjaan yang menunjang kehidupan. Mereka terus mencari harta kekayaan dan berpikir
dengan banyaknya harta yang dimilikinya mereka akan bisa hidup tenang dan
bahagia. Realita seperti ini merupakan salah satu contoh, kesibukan manusia
dengan urusan dunia dan melupakan adanya akhir dari hidup di dunia ini yakni
mati.
Seperti yang sudah disediakan oleh Allah
bahwa setiap waktu siang dan malam mereka mengatur jasad, malam untuk
beristirahat atau menentramkan diri, dan siang untuk bekerja mencari nafkah
memenuhi kebutuhan “hidup”. Hidup itu sendiri sebenarnya dalam alam dunia ini
hanya untuk “menunda kematian”. Menentramkan diri tidak berarti harus bersantai
dan memanjakan tubuh, melainkan harus merenungkan arti hidup yang sebenarnya
untuk menemukan jalan hidup sejati.[13]
Kematian yang dikaitkan dengan eksistensi bukan berarti manusia itu
akan mati, melainkan mendahului dari kematian itu sendiri. Jalan yang menuju
kepada hidup yang sejati, kepada keputusan yang pasti, kepada pengetahuan yang
benar, kepada eksistensi yang sebenarnya, terletak dalam suatu kepastian yang
temporal, dalam menanggung kepastian yang terakhir, yaitu kematian.[14]
Manusia harus menyadari akan kematian itu dengan merenungkan
kematian itu sendiri. Hidup manusia merupakan suatu kehadiran
yang tertuju pada kematian.[15] Maka dari itu ia, memikirkan
kematian hingga membuatnya harus berpindah dari
Jerman setelah perang pada tahun 1945, dan tidak dibolehkan mengajar sampai
tahun 1951. Hingga akhir hayatnya ia mengasingkan diri hidup dalam kesepian di
sebuah pondok di Freiburg pada tahun 1976.[16] Heidegger
terus memikirkan bagaimana caranya keluar dari belenggu oleh “pendapat orang
banyak” dan menemukan dirinya sendiri. Andai dilihat dari segi waktu, manusia
harus merencanakan dirinya sampai pada kemungkinan terakhir yang tidak dapat
dielakan, yakni kematian. Kematian merupakan batas terakhir dari keberadaan
kita sebagai eksistensi.[17]
Menyibukkan diri dengan kehidupan duniawi secara tidak langsung kita
telah melupakan kematian yang akan dijalani oleh setiap mahluk hidup. Pemikiran
Heidegger yang di antaranya
adalah kehidupan, kematian dan lahirnya manusia di dunia ini merupakan sebuah
terlempar-nya, yang tidak mengetahui “dari mana” asal-nya dan “akan kemana”
tujuannya. Semua itu akan terjadi bila kita (manusia) mulai berpikir, “dari
mana” dan “akan kemana”.
Pemikiran Heidegger tentang kematian membuatnya ia harus hidup sendiri dalam keterasingan. Kematian di sini bukan akhir
hidup yang biasa, seperti jalan yang ditentukan akhirnya atau seperti buku
sampai pada penutupnya, yakni tamat. Kematian ini merupakan suatu akhir yang hadir setiap
saat. Ketakutan, kecemasan, membuat manusia untuk menyibukkan diri dan ingin
membungkam suara kamatian itu sendiri dan melupakannya.[18]
Kematian merupakan kepastian secara
psikologis dan mempunyai pengaruh sangat besar dalam bawah sadar kehidupan
seseorang dalam setiap perilaku manusia. Menurut keyakinan berbagai filsuf,
kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Mati bukanlah suatu
terminasi tetapi merupakan garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang
baru.[19] Pemikiran
kematian dari Heidegger inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti lebih
lanjut arti/makna dan menggali lebih dalam. Apa yang menjadi ketakutan dan
menjadi kecemasan setiap manusia dalam menghadapi kematian yang merupakan salah
satu rangkaian dari siklus kehidupan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah yang
dipaparkan diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana hekekat kematian manusia menurut
Martin Heidegger?
2. Bagaimana relevansi pemikiran Martin
Heidegger tentang kematian manusia terhadap Agama Islam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui hakekat kematian manusia menurut Martin Heidegger.
2. Mengetahui relefansi pemikiran Heidegger tentang kematian manusia terhadap Islam.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini,
memberikan manfaat secara praktis maupun akademis bagi para pembaca maupun bagi
peneliti sendiri. Adapun manfaat praktisnya adalah
1. Memberikan informasi pada pembaca maupun
pada masyarakat umum tentang arti dari kematian manusia.
2. Menggembangkan keilmuan dan memperkaya
khasanah untuk memperbaiki kehidupan di masa depan.
Selain manfaat praktisnya, penelitian ini
juga memberikan kegunaan secara akademis diantaranya.
1. Mendapat pemahaman yang lebih mendalam
tentang hakekat kematian manusia.
2. Memahami lebih jelas dari pemikiran Martin
Heidegger tentang kematian manusia.
E. Tinjauan Pustaka
Berbagai penelitian yang dilakukan untuk
mengungkap makna kematian maupun kehidupan sering dilakukan oleh peneliti lain
diantaranya:
Penelitian yang dilakukan oleh Syahirul
Alim (2006) yang meneliti tentang Konsepsi Kebangkitan Manusia dari Kematian
dalam Al Qur’an (Studi Tafsir Tematik). Penelitian ini menjelaskan tentang
kebangkitan setelah kematian itu adalah roh dan jasad saja. Dan kematian ini
merupakan hancurnya atom-atom yang membentuk manusia, oleh karena itu mereka
tidak meyakini adanya kelanjutan hidup sesudah mati. Penelitian ini lebih
memfokuskan pada proses kebangkitan manusia setelah kematian, sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri lebih memfokuskan pada hakekat
kematian manusia itu sendiri.
Penelitian Etik Listiana Rahmawati (2007)
dengan judul Konsep Hidup Sesudah Mati (Kajian Komparatif Normatif antara Islam
dan Kristen). Penelitian ini menjelaskan tentang konsep hidup sesudah matinya
seseorang dan membandingkannya dengan keyakinan. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Etik membandingkan keyakinan antara Islam dan Kristen. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri lebih menekankan pada arti kematian
manusia itu sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Sunaidi
Erfatra (2000) dalam penelitian Tesis-nya berjudul Kematian Paradok antara ada
dan tiada (Analisis kritis terhadap pemikiran Martin Heidegger). Penelitian ini
menjelaskan tentang pemikiran Heidegger tentang makna “ada”. Menurutnya Being
tidak lagi dimaknai dengan Ada, melainkan Mengada. Artinya, manusia tidak
semata-mata dipandang sebagai pelaku pasif dalam memahami dan menyelidiki Ada,
tetapi manusia justru sebagai pelaku aktif dalam memaknai Ada. Bagi Martin
Heidegger, pengalaman tentang Ada yang dimaknai oleh Kierkegaard masih berbau
moralitas dan religius. Manusia belum dipandang sebagai subyek yang mampu
berdiri sendiri dalam memaknai hidupnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti sendiri adalah hakekat kematian manusia menurut Martin Heidegger.
Bagaimana ia menjelaskan kematian manusia secara jelas dan mudah dimengerti
oleh semua orang. Penelitian ini menfokuskan pada pemikiran Heidegger tentang
kematian.
Penelitian ini yang membedakan dengan
penelitian tentang Heidegger ataupun yang berkaitan dengan kematian adalah
penelitian ini lebih memfokuskan pada pemikiran Heidegger tentang kematian
manusianya yang kemudian dikaitkan dengan Agama Islam sebagai dasar pemikiran
peneliti sendiri. Karya-karya tersebut akan memberikan inspirasi pada penulis
untuk menyelesaikan penelitian yang berkaitan dengan makna kematian manusia.
F. Kerangka Teori
Membahas tentang kematian manusia dalam
penelitian ini menggunakan teori yang berkaitan dengan keberadaan manusia itu
sendiri yakni eksistensi. Disamping itu peneliti juga menggunakan teori
ketuhanan yang akan dikaitkan dengan keyakinan manusia sebagai makhluk yang religious. Keyakinan yang pada
hakikatnya adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah satu atau
merupakan kesatuan hidup. Dengan demikian, kehidupan manusia merupakan sebuah
perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman religious.
Eksitensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi
adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.[20]
Pengertian ini dapat diartikan sebagai dasein,
dalam bahasa Jerman. Eksitensi
adalah filsafat yang tumbuh sebagai reaksi terhadap idealisme dan materialisme.
Eksistensi merupakan suatu filsafat yang memusatkan pada deskripsi-deskripsi
dan kemungkinan konkret dari kehidupan manusia yang spontan, sepanjang
deskripsi itu sesuai dengan syarat-syarat dari metode phenomenology.
Eksitensi bersifat teknis dan ada beberapa
sistem atau watak yang membedakan satu dengan yang lainnya:[21]
1. Yang disebut eksistensi yaitu adalah cara
manusia itu berada, dan hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah
cara khas manusia menujukan keberadaannya dan menjadikannya sebagai pusat
perhatian. Maka dari itu eksistensi tidak jauh beda dengan humanistik.
2. Bereksistensi merupakan menciptakan dirinya
secara aktif, setiap manusia menjadi lebih kurang dari keberadaannya bukan
sebagai sesuatu yang ada. Pada hekekatnya eksistensi terikat oleh ruang dan
waktu. Waktu secara eksistensial bergerak bukan dari masa lampau, sekarang dan
akan datang secara berurutan. Melainkan daru masa lampau menuju masa sejarang,
dan masa sekarang merupakan batas waktu yang tipis. Bagi para penganut
eksistensi masa lampau merupakan waktu yang sangat penting dan masa depan
merupakan objek.
3. Manusia di pandang sebagai realitas yang
belum selesai dan masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat oleh
dunia sekitar terutama pada sesamanya, keterikatannya ini berarti berada dalam
lingkungan yang tidak menghilangkan eksistensinya secara individual.
4. Filsafat eksitensialisme memberikan
penekanan pada pengalaman yang kongkrit, dan pengalaman ini berbeda-beda.
Misalnya pengalaman tentang kehidupan yang terjadi setiap waktunya.
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak
dapat hidup sendiri tanpa adanya yang lain. Begitu halnya manusia hidup di
dunia ini yang saling berkaitan. Ada dan tiada merupakan salah satu unsur pokok
yang harus dipelajari sebelum kita membahas tentang kematian manusia.
Eksistensialis sebagai dasar utama dalam mempelajari tentang ada dan tiada.
Antara ada dan tiada disebabkan karena yang
mengadakan. Adanya manusia yang hidup di dalam dunia karena Adanya Tuhan yang
mencipatakannya. Tuhan menurut manusia yang menciptakan alam beserta isinya.
Dialah yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Pengabdian manusia terhadap Tuhan
sang pencipta merupakan kebutuhan eksistensial setiap manusia.[22]
Kepercayaan terhadap Tuhan memiliki banyak aliran dan satu tujuan yang sama
yakni percaya terhadap Tuhan yang satu yang menciptakan alam semesta beserta isinya.
Kepercayaan terhadap Tuhan disebut juga sebagai teis. Dalam Qur’an sudah dijelaskan bahwa, “Katakanlah Muhammad Dia
(Allah) adalah satu”. (QS. 112:1).
Sebagian besar kaum teisme percaya bahwa
materi alam adalah nyata dan yang lain adalah tidak nyata, itu semua karena
berada dalam alam ide.[23]
Tuhan merupakan pencipta bumi dan seisinya ini merupakan bukti kebesaran-Nya,
bukti ini menjadi nyata sebagaimana menjelaskan tentang keberadaan penciptanya.
Seperti yang tertera dalam firman Tuhan sebagai berikut, QS. al-A’raf ayat 54:
“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam diatasnya
Arsy.”
Tuhan yang mempunyai sifat transcendent dan immanent menjadi dasar setiap makhluk dalam meyakini keberadaannya.
Transcendent karena Tuhan berada jauh
dari alam dan immanent Dia berada di alam
ini. Setiap makhluk yang hidup di dunia ini meyakini adanya satu Tuhan dan
mereka percaya bahwa Dia Maha Melihat dan Mendengar. Dasar inilah yang
menyebabkan antara kehidupan dan kematian setiap makhluk. Mereka yang
diciptakan oleh Tuhan dan mereka akan kembali pada-Nya bila waktu itu sudak
tiba yakni kematian.
Kematian merupakan suatu hal yang tiada, unsur
yang terkuat yang ada dalam pikiran manusia bahwa ia akan mati. Mereka merasa
takut dan cemas dalam menghadapi siklus alam seperti ini. Setiap manusia akan
selalu menyibukkan dirinya untuk menghindari kematian yang menghampirinya. Manusia
selalu berada dalam situasi terbatas, yakni kesengsaraan ataupun kematian.
Kematian ini menyebabkan rasa takut akan tetapi juga menyempurnakan eksistensi
manusia itu sendiri.
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (Library
Research), jenis penelitian ini adalah kualitatif, penelitian ini mengikuti
cara dan arah pikiran seorang tokoh filsuf dalam karyanya maupun yang membahas
konsep tersebut. Sumber data yang diperlukan untuk penyusunan skripsi ini
terdapat di dalam buku-buku primer dan sekunder.
2. Sumber Data
Untuk melakukan penelitian ini diperlukan dua jenis
sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data
primer dalam penelitian ini antara lain:
a. Martin Heidegger. Being and Time.
Diterjemahkan oleh John Macquuarrie and Edward Robinson. New York:
Harper & Row, 1962. (Seind und Zeit, 1927).
b.
Martin
Heidegger, Existence and Being di
edit dengan introduksi, oleh Warner Brock, Chicago: Henry Regnery Company, 1949.
c.
Martin Heidegger, An Introduction to Metaphysics. Diterjemakan oleh Ralph Manhheim. Garden City, New York: Doubleday-Anchor Books, 1961. (Einfurung
in die Metaphysik, 1953).
Sedangkan sumber data sekunder yaitu semua buku yang
berhubungan dengan judul yang peneliti teliti.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Pertama, diadakan pelacakan dan pencarian literatur
yang bersangkutan dengan penelitian. Kemudian dari literatur tersebut diadakan
pemilahan sumber data primer dan skunder.
b.
Setelah literatur terkumpul, diadakan penelaahan yang disesuaikan
dengan aspek-aspek yang akan dibahas.
c.
Pemilahan dilakukan atas pokok-pokok permasalahan, sehingga
pemikiran yang dibahas tersusun sitematis.
d.
Tahap pengumpulan data yang terakhir dilakukan pengolahan data.
4. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah-langkah yang
penulis lakukan ialah melakukan klasifikasi disesuaikan dengan bahan yang akan
dibahas dan dilanjutkan dengan pengolahan data. Tehnik pengolahan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini yaitu menggabungkan metode penelitian dengan
filsafat.
a.
Metode deskripsi
Menguraikan
dan membahas secara teratur pemikiran tokoh yang dimaksud, tentunya berkenaan
dengan judul tersebut dengan tujuan mendapatkan suatu pemahaman yang benar dan
lebih jauh diharapkan dapat melahirkan suatu pemahaman baru dari pemikiran
tersebut.
b.
Metode Kesinambungan Historis
Menganalisa
sejarah seorang tokoh serta menguraikan perjalanan hidup seorang tokoh dan pemikiran
yang melatar belakangi munculnya sebuah pemikiran dan ideologi dari tokoh
tersebut, serta pemaknaan yang berhubungan dengan dunia diluar, yakni filsafat
dan ideologi lainnya.
c.
Metode Interpretasi
Metode
ini dipakai untuk menginterpretasikan suatu makna dalam pemikiran seorang tokoh. Metode ini merupakan bagian dari suatu presentasi
atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu
kumpulan pemikiran.[24]
d.
Metode Verstehen (memahami)
Metode yang digunakan untuk memahami bangunan pemikiran dan pemaknaan
seorang tokoh, dokumen dan yang lain secara mendalam tanpa ada keterlibatan
peneliti untuk menafsirkannya. Metode ini akan digunakan peneliti untuk
memahami pemikiran Martin
Heidegger.
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika skripsi secara substansial
terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu bagian awal, bagian isi/inti, dan bagian
akhir. Setiap bagian terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan harus
ada di dalam naskah skripsi. Berikut bagian-bagian yang ada di dalam naskah
skripsi dengan judul; Hakekat Kematian Manusia Menurut Martin Heidegger.
Terdiri dari Halaman Sampul, Halaman Judul,
Halaman Pernyataan Keaslian, Nota Dinas, Halaman Pengesahan, Pedoman
Transliterasi, Abstrak, Motto, Persembahan, Kata Pengantar, Daftar Isi
Bab I Pendahuluan dengan sub pembahasan
Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika
Pembahasan.
Bab II Pemikiran dan Karya Martin Heidegger
yang terdiri dari sub pembahasan Biografi Martin Heidegger, Pemikiran Martin
Heidegger dan Beberapa Karya-Karyanya.
Bab III Kematian yang terdiri dari sub bab
pembahasan tentang Pengertian Kematian, Dasar Kematian, Alam Kematian serta Ada
dan Tiada.
Bab IV Dasein
is Sein Zume Tode yang terdiri dari sub pembahasan tentang Dasein, Sein Zume Tode serta Dasein is Seind Zume Tode Relevansi
dengan Islam.
Bab V Penutup dengan sub bab Kesimpulan dan Saran, Daftar
Pustaka dan Curriculum Vitae
[3]Zubaedi, dkk. Filsafat Barat Dari Logika Baru Descartes hingga
Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 154.
[5]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thes Sampai James (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 191.
[11]Muhammad
Sholikhin, Sambut Kematian dengan Tersenyum, h. 32.
[15]Komaruddin
Hidayat, Psikologi Kematian
(Jakarta: Noura Books, 2012), h. 83.
[24] Anton
Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar