Kamis, 24 Mei 2012

Sains Berparadigma Baru Tentang Tuhan


Sains Berparadigma Baru Tentang Tuhan
A.    PENDAHULUAN
Islam sering kali diberikan gambaran sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Islam juga dikatakan tidak menggalakkan umatnya menuntut dan menguasai berbagai lapangan keilmuan. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan saja tidak benar tetapi bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya.
Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam bidang falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan, dan sebagainya. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekedar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda, tetapi dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan. Dalam situasi yang dikuasai oleh arus pemikiran tersebut, dapat terjadi arus balik secara terang-terangan menabrak arus yang sedang bergerak. Pada hakekatnya merupakan implikasi dari sains yang berparadigma baru tentang dunia sains dalam membangun sebuah tradisi ilmiah yang kemudian menimbulkan sebuah problema metafisik dan ketuhanan.
Ketertinggalan dan kelemahan bangsa-bangsa Muslim tersebut terbukti semakin membelenggu kemerdekaan dan kemandirian bangsa-bangsa muslim baik secara ekonomi, politik maupun sosial-budaya, sejak era kolonialisme-imperialisme sampai ini era postkolonialisme kini. Dampak ikutan lainnya ialah ketika filsafat dan paradigma sains-teknologi modern, yang dikembangkan dunia Barat dan Timur Non-Islam itu, ternyata telah membawa juga ekses negatif dalam pola pikir dan budaya, kerusakan di bidang lingkungan hidup dan tragedi kemanusian secara global.
B.     PEMBAHASAN
1.      Tokoh Sains dalam Islam

Salah satu tokoh terkemuka sainstis dari dunia Islam di akhir abad 20 yang sangat memprihatinkan kondisi sains-teknologi umat Islam ini adalah Prof. Dr. M. Abdus Salam (wafat 21 November 1996 dalam usia 70 tahun). Menurutnya pengakuannya ada beberapa hal yang menyebabkannya begitu mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk memajukan ilmu pengetahuan di dunia ke-tiga (yang mayoritas adalah bangsa-bangsa Muslim). Hal itu: pertama, karena ia adalah seorang muslim. Baginya persaudaraan sesama Muslim sangatlah penting, dan yang kedua karena sejak usianya yang masih muda ia sudah terlibat dalam kerangka kerja PBB.
Yang harus mendapat perhatian adalah jurang perbedaan antara Utara dan Selatan, atau negara maju dan negara berkembang. Kedua belah pihak memiliki masalah yang berbeda. Negara-negara Utara menghadapi ancaman perlombaan senjata dan perang nuklir, sedangkan Selatan menghadapi ancaman kelaparan dan kemiskinan yang akut. Masalah ini timbul, menurut Abdus Salam, karena satu pihak memiliki jalur ilmu pengetahuan sedangkan yang lainnya tidak.
Kunci permasalahannya adalah harus ada pemerataan ilmu pengetahuan secara adil. Bukan sekedar alih teknologi. Menurut satu-satunya Muslim pemenang hadiah Nobel bidang Fisika ini, teknologi hanyalah aplikasi pengetahuan ilmiah terhadap masalah-masalah manusia. Keliru kalau ada asumsi bahwa alih teknologi akan dapat menyelamatkan dunia ketiga. Dunia ketiga seharusnya lebih meminta alih atau merebut ilmu-ilmu pengetahuan dasar yang dapat menumbuhkan teknologi sesuai dengan kebutuhan bangsanya yang asli dan domestik.
Abdus Salam memberi contoh Jepang misalnya. Bertahun-tahun lamanya mereka menyerap ilmu pengetahuan dasar dari dunia Barat. Sekarang kita dapat melihat bagaimana Jepang mampu menghasilkan teknologi tinggi. Kecenderungan yang sama tengah berlangsung di Brazil, Korea Selatan, India, Argentina dan Cina.
Abdus Salam adalah fisikawan Muslim yang paling menonjol abad ini. Dia termasuk orang pertama yang mengubah pandangan parsialisme para fisikawan dalam melihat kelima gaya dasar yang berperan di alam ini, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya kuat yang menahan proton dan neutron tetap berdekatan dalam inti, serta gaya (arus) lemah yang antara lain bertanggung jawab terhadap lambatnya reaksi peluruhan inti radioaktif.
Selama berabad-abad kelima gaya itu dipahami secara terpisah menurut kerangka dalil dan postulatnya yang berbeda-beda. Adanya kesatuan dalam interaksi gaya-gaya dirumuskan oleh trio Abdus Salam, Seldon Lee Glashow dan Steven Weinberg dalam terorinya “Unifying the Forces.” Menurut teori yang diumumkan 1967 itu, arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat. Dua belas tahun kemudian hukum itulah yang melahirkan Nobel Fisika 1979.
Eksistensi tiga partikel telah dibuktikan secara eksperimental tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin oleh Carlo Rubia, direktur CERN (Centre European de Recherche Nucleaire) di Jenewa, Swiss. Ternyata rintisan Abdus Salam itu kemudian mengilhami para fisikawan lain ketika mengembangkan teori-teori kosmologi mutakhir seperti Grand Unifying Theori (GUT) yang dicanangkan ilmuwan AS dan Theory Everything-nya Stephen Hawking. Melalui dua teori itulah para fisikawan dan kosmolog dunia kini berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh.
2.      Keberadaan Tuhan Menurut Saintisisme[1]
Para ilmuan memberikan tanggapan yang berbeda tentang sains dan dalam menanggapinya berbagai macam pendapat tentang alam semesta dan keindahannya. Bahkan mereka pun mempunyai firasat bahwa alam semesta itu terlalu sederhana untuk diterangkan sebagai sebuah realitas yang didalamnya berlangsung interaksi bersifat kebetulan saja. Dari berbagai definisi, persepsi dan tolok ukur mengenai keindahan dari satu mesyarakat ke masyarakat lain berbeda, namun tetap konsensus terhadap apa yang disebut sebagai keindahan, keelokan atau segala sesuatu yang meninggalkan pesona, lebih sering dapat dicapai kesepakatannya. Keindahan ini menjadi faktor intuitif yang penting yang menunjukkan adanya Tuhan. Kita semua pasti pernah terpesona dengan keindahan matahari yang terbenam, keelokan gunung-gunung yang dilatari oleh langit biru, atau gerhana matahari yang diselimuti dengan suasana mistis. Demikian pula menyaksikan alam semesta ini yang begitu cantik, serba teratur, yang mampu memelihara dirinya sendiri dengan mengatasi berbagai gangguan lewat hukum-hukum fisikanya yang sederhana tetapi berlaku universal. Tidak mengherankan apabila banyak orang yang berintuisi akan adanya sang arsitek dari kosmos ini.
Harus diakui bahwa segala argument mengenai keindahan, keteraturan, dan kebesaran dari alam semesta ini pada dasarnya belum begitu meyakinkan untuk membuktikan adanya Tuhan. Meski demikian semunya tetap mengisyaratkan akan suatu kekuatan yang begitu superior dalam diri manusia dan segala sesuatu yang ada disekitar manusia. Bagaimana pun juga pendekatan intuitif dapat dijadikan titik pijak untuk melangkah lebih jauh.
3.      Tuhan-Pencipta Menurut Para Ahli Sains
Paham tentang Tuhan-pencipta ini bisa dilihat dalam masalah asal mula alam semesta dan batas-batas metodologi sains. Pada abad 20, sains bercirikan pada determinisme, yang mana abad ini nampak adanya dua posisi yang dominan.[2] Pertama, bila hipotesis Tuhan tidak diabaikan. Bagian ini para ilmuan cenderung menyamakan Tuhan dengan tukang arloji, yang mempertanggung jawabkan aturan-aturan tertentu yang dalam arloji (alam semesta). Posisi Tuhan hanya sebagai pengamat atau penonton saja tanpa adanya daya inofatif dan yang berlangsung berdasarkan suatu proses yang mutlak. Kedua, jika hipotesis Tuhan ditolak. Penolakan ini dikarenakan adanya pendapat bahwa materi bersifat kekal dan mutlak. Seperti yang dijelaskan oleh Engels, bahwa materi tetap tinggal untuk selama-lamanya ditengah semua transformasinya, dia tidak bisa kehilangan satu pun dari semua atribut-atributnya. Teori ini bisa diintegrasikan dalam konsepsi kuno tentang suatu alam semesta yang kekal dan siklis, dan yang menciptakan dirinya sendiri.
Kedua paham tersebut mampu menjadikan adanya ciri khas bagi ahli sains, dimana kata Tuhan menunjukkan dunia sendiri misalnya dalam istilah Roh Utama, Realitas dalam dirinya sendiri, Alam, Kesadaran. Gnose dari Princeton adalah salah satu contoh tipikal dari kecenderungan yang ekstrim tersebut.
Terdapat sejumlah ilmuan yang memunculkan secara eksplisisif tentang  asal mula kosmos, dalam arti suatu permulaan waktu tertentu. Gagasan tentang sesuatu permulaan yang mutlak tersebut terdapat diluar sains dan tidak dapat dijangkau oleh akal. Beberapa ilmuan Hawking misalnya, menambahkan bahwa: “selama kosmos mempunyai suatu asal mula, kita boleh mengandaikan bahwa kosmos itu mempunyai seorang Pencipta.”
Disisi lain beberapa ilmuan ingin menghindari suatu paham yang sangat religious seperti ilmuan sebelumnya. Mereka berpaling pada gagasan yang “samar samar kuantik”, tetapi pembuktiannya tentang alam semesta mengalami ketidakpastian. Karena alam semesta yang tidak bisa diukur dan dideskripsikan gerakannya sebagaimana mengukur gerak atom secara pasti. Walaupun menggunakan alat yang sangat canggih sekali pun, karena ketidakpastian tersebut terikat pada kegiatan pengukuran itu sendiri.

C.    PENUTUP
Berbagai pendekatan untuk memahami femomena keberadaan Tuhan, secara ,meyakinkan dijelaskan berbagai fakta dan data yang terus mendesak dari berbagai sudut-dari yang bernada intuitif dan terlepas dari uraian yang begitu mempesona yang baru saja kita bahas. Jadi menurut para sains menjelaskan Tuhan-Pencipta tidak serupa sebagaimana menjelaskan gerak atom yang dapat dideskripsikan geraknya. Argument teologis secara gambalang menjelaskan Tuhan, bahwa secara tidak kita sadari kita sudah mengakui bahwa Tuhan itu ada dan yang menciptakan alam semesta ini. Dengan keindahan, keelokan dari alam itu sendiri yang tidak bisa dijelaskan secara pasti walaupun menggunakan alat yang sangat canggih. Karena pada dasarnya kemampuan manusia yang sangat terbatas dan akal yang tidak bisa menjangkau akan keberadaan Tuhan itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Leahy, Louis, Jika Sains Mencari Makna, Yogyakarta: Kanisius. 2006
Ahwani, Ahmad Fuad al, Filsafat Islam. Pustaka Firdaus. 1996

Sains Berparadigma Baru Tentang Tuhan

Tugas ini disusun guna memenuhi matakuliah
Perkembangan Teologi Modern
Dosen pengampu: Drs. H. Kasmuri, M. Ag

Disusun oleh:
Awang Yulias Supardi
Khoirun Nisa’
Siti Munirotun Na’im

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011




[1] Lihat artikel tentang Sains dan keberadaan Tuhan, yang berjudul “Sains Berparadigma Baru dan Keberadaan Allah: Sebuah Argumentasi Teologis. h. 102-103
[2] Louis leahy, Jika Sains Mencari Makna, Yogyakarta: Kanisius (2006), h. 53-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar