Kamis, 24 Mei 2012

konsep manunggaling kawua gusti menurut syech siti jenar


PENDAHULUAN
Aliran kebatinan merupakan agama orang jawa yang bersifat mistis selain agama yang diakui oleh pemerintah. Aliran ini disamakan dengan kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa agama yang terdapat di Indonesia selain yang sudah diakui oleh pemerintah.
Konsep mistisisme jawa dalam hakikat tujuan hidup manusia adalah mencapai penghayatan Manunggaleng Kawulo Gusti (bersatu dengan Tuhan). Yaitu Tuhan imanen dalam diri manusia dan bersemayam dalam diri manusia. Maka dengan demikian dapat di katakana juga bahwa ajaran mistisisme jawa mengarah pada manunggaleng kawulo gusti.
Kata “kawulo gusti” termasuk kata kunci dalam ajaran kejawen. Manusia harus bersikap dhepe-dhepe, mendekat pada Tuhan (supadjar, 2001: 277). Dengan jalan ini akan mencapai tingkatan jumbuh antara kawulo dan gusti. Jadi ada titik temu yang harmonis antara manusia dengan Tuhan. Manusia merasa seakan menghadap Tuhan melalui batin. Hal menunjukkan bahwa mistik kejawen adalah pengetahuan metafisika terapan yang bersifat transcendental didalamnya trdapat aturan-aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin manusia yang didasarkan pada analisis intelektual. Karena itu, praktek mistik dilandasi dengan kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung atau bahkan bersatu dengan Tuhan (kesunyatan agung) melalui tanggapan batin di dalam meditasi.
Tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan. Persatuan kawulo gusti dapat dilakukan di dunia dengan jalan menekung, yaitu mengucapkan kata-kata atau ungkapan kawulo gusti. Namun persatuan yang lebih sempurna adalah setelah manusia mati. Jika manusia mampu manunggal, ia akan “sakti” maksudnya dengan kaitan ini. Tuhan tetap theis, bukan kosong atau awang-uwung atau manusia itu sendiri. Tuhan tetap Tuhan, begitu pula manusia.
Kalau boleh disamakan antara mistisisme jawa dengan tasawuf sangat dekat sekali, tasawuf sering disejajarkan dengan mistisisme. Bahkan ada juga yang menyebut mistik islam kejawen. Tasawuf merupakan bentuk mistisisme islam seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang berjudul “Falsafah dan mistisisme dalam islam” dan yang mana oleh kaum orientalis barat disebut dengan istilah sufisme. Kata sufisme dalam islam orientalis barat khusus dipakai untuk mistisisme islam. Dan sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Dan tasawuf ini berupaya agar hati manusia menjadi benar dan lurus dalam menuju Tuhan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam mistisisme jawa itu sendiri yaitu pada upaya pendekatan diri pada sang khalik (Tuhan), tetapi ada juga pada alur pikir yang melandasi jalan mistik yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan mistik tersebut.
Adapun tahapan-tahapan yang dilalui dalam mistisisme jawa merupakan latihan kejiwaan dan kebersihan rohani menjadi syarat utama. Oleh karena itu perlu dihindari berbagai macam sikap-sikap tercela serta mengutamakan budi luhur, berbuat baik dengan mengekang hawa nafsu. Kontemplasi ini dilakukan dengan melalui aktivitas sujud, meditasi atau cara berdzikir. Penghindaran atau pengambilan jarak dari dunia materi (distansi) pada mistisisme jawa dilakukan dengan asketik, tapa brata, mengurangi dahar dan guling (makan, minum, dan tidur) puasa pati geni dan ain-lain yang bertujuan untuk mensucikan batin, dengan cara melemahkan jasmani yang istilahnya dalam islam kejawen itu “nutupi babahan howo songo” yang ada dalam tubuh manusia.
Manunggaling Kawula Gusti dalam ajarannya Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi.
Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan :
1.      Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll)
2.      Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu.
3.       Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.
4.      Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia "Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya” (QS. Shaad; 71-72) Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Adapun ajaran tentang Manunggaling Kawula Gusti, mengajarkan tentang beberapa hal yakni:
1.      Hati dan pikiran manusia yang tidak sama, yakni pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
2.      Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri dan melepaskan nafsu ingin memiliki akan kemauan sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.
3.      Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati. Hati yang rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dan dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, sehingga batin menjadi wening (jernih). Rasa hati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta dan dapat diartikan sebagai makna kebatian.
4.       Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti, berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta ; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat hatinya tertekan). Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining gesang (menghargai makna kehidupan). Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan.
5.       Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak hanya dipikirkan. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Misalnnya, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan tanpa memaksakan pikiran, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.
6.       Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban. Ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur.
7.       Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Hasilnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatif.

1 komentar: