BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang KKL/PPL
Program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dan Praktek
Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan kegiatan yang harus diikuti oleh Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin dan DakwahJurusan
Ushuludin. Program Kuliah Kerja Lapangan dan Praktek Pengalaman Lapangan kali
ini diadakan bersamaan dalam satu waktu di daerah Semarang pada tanggal 11
September 2012. Adapun objek atau lembaga yang dituju dalam program KKL/PPL
kali ini adalah:
1.
Balai LITBANG Kementrian Agama Semarang
2.
Klenteng Sam-Poo-Kong
3.
Masjid Agung Jawa Tengah
4.
Kampoeng Percik
Semua objek atau lembaga yang dituju
berkaitan dengan fokus kajian yang ada di Jurusan Ushuludin prodi Aqidah
Filsafat dan Tafsir Hadits. Mahasiswa jurusan Ushuluddin yang dikonsentrasikan menjadi
pemikir harus mampu menganalisa fokus kajian dengan menggunakan beberapa
lembaga sebagai acuan problem solving, oleh karena itu program KKL/PPL
melatih kita untuk menganalisa beberapa isu yang ada di masyarakat juga sebagai
praktek kerja sesuai konsentrasi mahasiswa Ushuluddin prodi Aqidah Filsafat
ataupun Tafsir hadits.
B. Tujuan
KKL/PPL
Secara
umum, tujuan dilaksanakan program KKL/PPL ini adalah sejaum mana mahasiswa
mampu mengambil teori dari lapangan. Secara khusus program ini bertujuan antara
lain:
1.
Menambah mahasiswa dalam keilmuan
akademik
2.
Menambah pengalaman belajar para
mahasiswa
3.
Mengembangkan pola pikir mahasiswa dalam
menyeimbangkan antara teoritis dan praktis dalam kehidupan bermasyarakat.
C.
Manfaat KKL/PPL
Lokasi
yang di pilih dalam Program Kuliah Kerja Lapangan kali ini adalah Balai LITBANG
Kementrian Agama Semarang, Lenteng Sam-poo-kong, Masjid Agung Jawa Tengah,
Percik Institute. Di tempat-tampat yang kami tuju banyak sekali manfaat yang
kami peroleh. Adapun manfaat-manfaat yang dapat kami rasakan adalah sebagai
berikut :
1.
Adanya hubungan silaturrohmi antara
lembaga atau fakultas dengan instansi/lembaga lain.
2.
Bagi mahasiswa merupakan sarana dalam
pengembangan diri dan potensi yang sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing.
BAB II
PROFIL
LEMBAGA
A. KAMPOENG
PERCIK
Percik, merupakan lembaga
independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan
sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tahun 1996 (1 Februari 1996) oleh
sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial,
pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat.
Para pendiri ini merupakan
sebagian dari staf akademik sebuah universitas di Salatiga yang terpaksa keluar
dari universitas tersebut karena menolak beberapa kebijakan dari pengurus
yayasan dan pimipinan universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis
serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk
mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokrastis dan
berkeadilan sosial.
Kelahiran Percik juga tidak
dapat dilepaskan dari tuntutan yang semakin luas dalam masyarakat Indonesia
tentang perlunya proses demokratisasi dilaksanakan dengan segera di berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan tersebut muncul sebagai
bagian dari keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap sistem politik yang
semakin sentralistik, hegemonik, opresif, dan tidak toleran. Sistem politik
yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan partisipasi
politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan terjadinya pertukaran
wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya lembaga-lembaga demokrasi, lemahnya
penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), serta birokrasi pemerintahan yang
korup. Di lain pihak perkembangan masyarakat menunjukan kecederungan kearah
masyarakat plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya mengandung potensi konflik
horisontal yang besar.
Kondisi politik yang tidak
sehat tersebut melanda kehidupan politik baik pada aras nasional, maupun pada
aras lokal. Keterlibatan panjang staf Percik dalam berbagai penelitian dan
studi pada aras lokal yang dimiliki secara individual oleh staf Percik dan
dilandasi pula oleh keyakinan bahwa bagi masa depan Indonesia arena politik
pada aras lokal ini justru semakin penting dan menentukan, maka lahirnya Percik
merupakan perwujudan dari keinginan untuk ikut menggulirkan proses demokratisasi
politik pada aras lokal.
Percik menempatkan kegiatan
penelitian sebagai salah satu pilar utama disamping kegiatan advokasi dan
refleksi. Kegiatan penelitian dilaksanakan berdasar minat dari dalam lingkungan
Percik sendiri, kerjasama dengan lembaga lain, ataupun atas 'pesanan'dari pihak
luar. Khususnya terhadap penelitian pesanan. Percik berusaha secara kritis
mempertimbangkan kandungan kepentingan dan kemanfaatan dari penelitan yang
dipesan.
Untuk mengembangkan kegiatan
di bidang penelitian Percik mengembangkan dua pusat penelitian, yaitu Pusat
Penelitian Politik Lokal (P2PL), serta Pusat Studi Transformasi Praktek-praktek
Keagamaan Lokal. Kampoeng Percik ini berlokasi di
Kabupaten Salatiga Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Jl. Patimura Km 1, Kampoeng
Percik, Dusun Turusan Salatiga Jawa Tengah Indonesia.
B. KLENTENG
SAM-POO-KONG
Seperti yang telah dijelaskan dalam sejarah,
kltenteng Sam-Poo-Kong merupakan tempat ibadah bagi masyarakat sekitar yang mempunyai kepercayaan Tiong Hoa,
atau hanya sekedar berziarah dan kirim doa pada leluhur mereka. Masyarakat
sekitar mempercayai seorang Laksamana yang dating dari seberang dan sempat
menetap di daerah Simongan pada saat pelayaran keliling dunianya. Suatu musibah
menimpanya dan mengharuskan ia untuk menetap sementara dan membantu masyarakat
sekitar. Ia seorang laksamana yang bernama Cheng Ho/Zheng He dari China. Nama
Sam-Poo-Kong bukan hanya sekedar nama dari sebuah klenteng melainkan sebuah
gelar yang diberikan oleh masyarakat sekitar untuk sang Laksamana. Sam-Poo
berarti tiga arca, dan Kong berate engkong.
Klenteng Sam-Poo-Kong dengan bentuk bangunan yang
tidak jauh berbeda dengan klenteng-klenteng lainnya. Fungsi klenteng tersebut
juga tidak jauh beda digunakan sebagai tempat pemujaan leluhur dan sebagai tempat
wisata. Bangunan klenteng tersebut terdiri dari berbagai macam bangunan yang
diantaranya, Klenteng suci Sam-Poo-Kong sebagai klenteng utama. Gerbang/pintu
masuk sebelah utara merupakan gerbang Sam-Poo-Kong. Saat ini juga sedang
dilakukan pembangunan gerbang sebelah timur sebagai gerbang utama. Tempat-tempat
ibadah yang ada diantaranya, Kyai Tumpeng, Kyai Juru Mudi, Kyai Jangkar, dan
Kyai Cundrik Bumi.
C. BADAN
LITBANG SEMARANG
Kemenag
mempunyai tugas membantu Presiden
dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan. Tugas ini
bermakna, bahwa Kemenag
memiliki tanggung jawab sebagai penjaga
moral, mental, dan kualitas
beragama masyarakat Indonesia yang diharapkan
mampu memberikan dorongan dan
teladan bagi terwujudnya
penyelenggaraan negara yg bersih dan
bebas KKN. Pembentukan Kemenag
juga dimaksudkan dlm rangka memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan
UUD 1945, khususnya pasal 29. Karena
itu, Kemenag
bertugas melindungi kepentingan agama dan umat beragama.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara pasal 3 disebutkan bahwa Kementerian Negara berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden;
Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara pada pasal 97 angka 5 mengatur tentang susunan Organisasi
Kementerian Agama.
KEBIJAKAN BALITBANG
·
Peningkatan
Kualitas Kahidupan Beragama
·
Peningkatan
Kualitas Kerukunan Umat Bergama
·
Peningkatan
Kualitas RA, madrasah, PTA, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
·
Peningkatan
Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji
·
Penciptaan
Tata Kelola Kepemerintahan yang Bersih dan Berwibawa
b)
Kebijakan
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Th. 2004-2009
Langkah-langkah kebijakan teknis bidang kelitbangan :
1)
Peningkatan
relevansi topik-topik penelitian dengan
program pembangunan nasional dan kebutuhan unit-unit pelayanan Kementerian
Agama, di tingkat pusat dan daerah.
2)
Peningkatan
mutu hasil penelitian, melalui peningkatan kualitas SDM peneliti dan pengembangan jaringan
kemitraan penelitian.
3)
Peningkatan
diversivikasi metodologi penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan semakin kaya dan teruji dari segi
metode, dan hasilnya dapat dijadikan pijakan bagi pemantapan kebijakan pimpinan
Kementerian Agama.
4)
Peningkatan
komunikasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian dengan para pimpinan di lingkungan
Kementerian Agama Pusat dan Daerah maupun masyarakat luas.
5)
Perluasan
jaringan kerjasama dengan lembaga penelitian dan lembaga-lembaga lainnya baik
di lingungan instansi pemerintah, perguruan tinggi, maupun lembaga-lembaga non
pemerintah.
6)
Pengembangan
budaya akademis bagi para tenaga fungsional peneliti.
7)
Pengembangan
akses data dan informasi keagamaan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi
(internet).
c)
4
(Empat) Kebijakan Bidang Strategik Balai Litbang Agama Semarang
·
Bidang
Penelitian
·
Bidang
Pengembangan
·
Bidang Penguatan Kelembagaan
·
Bidang Pengembangan Jaringan
d) Arah dan Sasaran Kelitbangan
·
Meningkatkan
kualitas hasil penelitian melalui peningkatan SDM peneliti dan penggunaan
standar kualitas laporan penelitian.
·
Meningkatkan
keserasian antara program kelitbangan dengan program pembangunan nasional dan
kebutuhan unit pelayanan di lingkungan Kemenag.
·
Meningkatkan
penguatan jaringan kelitbangan dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
·
Meningkatkan
intensitas sosialisasi dan informasi hasil-hasil kelitbangan kepada pimpinan Kemenag dan kepada masyarakat.
e)
Arah
dan Sasaran Kelembagaan
·
Program
penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik dan akuntabel.
·
Program
pengelolaan SDM aparatur yang kredibel dan baik.
·
Meningkkatkan
intensitas dan kualitas kerjasama lembaga internal kementerian maupun di luar Kementerian.
f)
Arah
dan Sasaran Jaringan
·
Meningkatkan
komunikasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian dan kegiatan pengembangan
dengan para pimpinan Kementerian Agama di tingkat Pusat, Daerah, lembaga sosial dan
keagamaan di masyarakat.
·
Memperluas
jaringan kerjasama dengan lembaga
penelitian dan lembaga lainnya di lingkungan instansi pemerintah, perguruan
tinggi, dan lembaga non-pemerintah dalam
rangka peningkatan kualitas SDM dan hasil penelitian dan pengembangan Balai Litbang
Agama Semarang.
·
Intensitas
komunikasi dan sinergi kegiatan antar lembaga terutama di bawah Kepartemen Agama.
·
Pemanfaatan
hasil-hasil penelitian oleh pimpinan Kementerian Agama, stakeholder dan masyarakat luas.
·
Terjalinnya
kerjasama yang saling mensinergi dan menguntungkan antara Balai Litbang Agama Semarang dengan pihak-pihak eksternal.
g)
Strategi
Capaian
·
Penciptaan
lingkungan dan budaya ilmiah-akademis: menggerakkan kegiatan diskusi berkala,
seminar dan semacamnya.
·
Pengkajian
dan pendalaman metodologi dan teori-teori sosial yang aplikatif.
·
Peningkatan
kualitas penelitian dengan efektivitas pembimbingan.
·
Peningkatkan
jenjang karier akademik dan kepangkatan melalui pelatihan-pelatihan, bantuan
belajar, dan/atau kursus-kursus keterampilan.
h)
Capaian
Tahun 2010
·
Melanjutkan
program tahun sebelumnya.
·
Peningkatan
kualitas SDM melalui kerja sama pihak Perguruan Tinggi dan Lembaga
Penelitian dengan sistem pemagangan
·
Peningkatan
Pengelolaan data dan Informasi melalui Internet (Website) Balai Litbang Agama
Semarang
·
Peningkatan
kuantitas dan kualitas data-data keagamaan dan pengorganisasi-annya dalam database keagamaan
·
Peningkatan
kualitas pelayanan perpustakaan.
i)
Capaian
Tahun 2011
·
Melanjutkan
program tahun sebelumnya.
·
Peningkatan
komunikasi dan koordinasi dengan pimpinan di lingkungan Kementerian Agama dan
Instansi terkait.
·
Peningkatan
sosialisasi hasil-hasil penelitian kepada
pimpinan Kementerian Agama baik
pusat maupun di daerah, dan juga kepada instansi terkait dan masyarakat umum.
·
Peningkatan
intensitas kerja sama penelitian dengan
lembaga penelitian lainnya.
·
Pemberlakuan managemen penelitian secara
proporsional dan prospectif mutu .
j)
Capaian
Tahun 2012
·
Melanjutkan program tahun sebelumnya.
·
Pelaksanaan
penelitian aksi: eksperimen, PAR, penelitian dampak sosial (SIA) dan sebagainya sebagai upaya rekayasa sosial keagamaan.
·
Mengembangkan penelitian Mandiri dalam skala yang lebih besar.
k)
Capaian
Tahun 2013
·
Melanjutkan
program tahun sebelumnya.
·
Peningkatan
kualitas jurnal, majalah dan website Balai Litbang Agama Semarang
·
Peningkatan kualitas hasil penelitian dan pengembangan
sebagai rujukan perekayasaan sosial keagamaan.
·
Menyediakan
SDM yang handal.
l)
Capaian
Tahun 2014
Sebagai unit pelaksana teknis dari Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama posisi Balai Litbang Agama sangat strategis, karena
merupakan ujung tombak dalam penyediaan data dan informasi keagamaan untuk
kepentingan pengambilan Kewbijakan.
Jadi
kegiatan kelitbangan dilakukan dengan
mensingkronkan kebijakan dan progam pemerintah secara nasional.
D. MASJID
AGUNG JAWA TENGAH
Masjid Agung Jawa Tengah adalah masjid yang terletak
di jalan Gajah Raya, Kelurahan Sambirejo, kecamatan Gayamsari, Kota Semarang
Jawa Tengah. Masjid ini sangat megah dengan luas lahan mencapai 10 Hektar dan
luas bangunan induk untuk shalat 7. 669 meter persegi, dan mempunyai gaya
arsitektur perpaduan antara Jawa, Arab dan Roma.
Masjid Agung Jawa Tengah ini dibangun pada hari
jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang panca perdana
yang dilakukan Mentri Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husaen al-Munawar, KH. MA
Sahal Mahfudz dan Gubenur Jawa Tengah, H. Mardiyanto, akhirnya Masjid Agung
Jawa Tengah ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 14 November 2006.
Meskipun baru diresmikan pada tanggal 14 November
2006, namun masjid yang telah difungsikan sebagai tempat ibadah jauh sebelum
tanggal peresmian. Masjid megah ini telah digunakan untuk ibadah shalat Jumat
pertama kalinya pada tanggal 19 Maret 2004 dengan Khatib Drs. H. M. Chabib
Thoha, MA, Kakanwil Depag Jawa Tengah.
Dikomplek Masjid Agung Jawa Tengah ini terdapat
Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah di Tower Asmaul Husna Lantai 2 dan 3,
Hotel Graha Agung di sebelah utara dan resto yang memiliki view terbaik di Kota
Semarang ini di Tower Asmaul Husna lantai 18.
BAB III
MAKNA SIMBOL DAN AKULTURASI BUDAYA
Indonesia dengan banyak
dan beragamnya budaya yang di miliki kini mengalami masa kritis di mana
kedudukan budaya yang dulunya diagung-agungkan kini tergeser dengan budaya
barat. Terlebih lagi anak muda jaman sekarang yang menjadi penerus bangsa
mengikuti budaya lain dan meninggalkan budaya tanah air dan mengatakan budaya
ini lebih kuno dan kaku serta tidak mengikuti perkembangan jaman.
Mereka yang terlalu
mengikuti alur modernitas dari budaya bangsa asing tanpa bisa menyaringnya
menjadi faktor utama mereka semakin melupakan dan mengabaikan budaya bangsanya
sendiri. Terjadi proses pengurangan dan penambahan yang memungkinkan pasang
surutnya makna kehidupan dan kebudayaan. Misalnya, semua orang Jawa berbudaya
satu, dengan memakai bahasa jawa dalam pembicaraan ataupun percakapan tanpa
disadari akan mengalami proses asimilasi dengan bahasa nasional nantinya. Proses
ini sebagai fenomena budaya yang saling mempengaruhi. Di zaman modern saat ini
identitas tersebut telah banyak berubah seiring dengan pengaruh budaya luar,
sehingga menyebabkan budaya jawa mengalami erosi. Banyak sekali orang jawa yang
kehilangan identitas primernya, seperti tradisi budaya, dan penggunaan bahasa. Seperti
yang dikatakan oleh orang jawa sendiri, “wong jowo ilang jowone”, ialah orang Jawa yang hilang
kejawaannya. Melihat kondisi seperti itu jika kita terus membiarkannya terkikis
oleh jaman, maka kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia khususnya
orang Jawa akan tergeser oleh jaman bahkan bisa dikatakan budaya itu akan punah.
Dengan adanya kebudayaan manusia berusaha, menguasai, melihat, dan memahami
lingkungan. Manusia berusaha untuk mengklasifikasikan gejala yang tampak
sekaligus menentukan strategi terhadap lingkungannya[1].
Tidak semua unsur
budaya itu bersifat adaptif, karena yang menjadi dasar hanyalah inti kebudayaan
tersebut. Masayarakat modern pun butuh waktu untuk beradaptasi dengan suatu
kebudayaan tersebut. Kebudayaan selalu berkaitan dengan simbol-simbol dengan
makna dan arti tertentu. Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan
yang merupakan pengantar pemahaman terhadap obyek. Untuk mempertegas pengertian
simbol atau lambang ini di bedakan antara pengertian-pengertian isyarat, tanda
dan simbol atau lambang[2].
Kebudayaan merupakan image kuat yang melekat pada negara
indonesia,yang mana dengan ragam kebudayaannya indonesia menjadi negara yang
kaya akan adat istiadat,suku bangsa serta flora dan fauna yang ada di indonesia. Seiring berjalannya waktu,suatu kebudayaan
akan selalu di hadapkan pada sebuah akulturasi budaya baru,yang mana dalam
berkembangnya budaya baru ini, akan mempengaruhi budaya-budaya lainnya yang
sudah ada dan melekat pada masyarakat Indonesia.
Akulturasi sendiri adalah sebuah perpaduan antara satu
budaya dengan budaya lainnya yang berjalan seimbang dan serasi. Akulturasi terjadi
ketika sebuah kebudayaan masuk dan berpadu terhadap budaya yang telah ada di
suatu wilayah. Masuknya kebudayaan lain ini tentunya secara terkendali dan
tidak menghilangkan dominasi kebudayaan yang sudah ada atau menghilangkan unsur
dari salah satu kebudayaan itu.
Pembahasan inti dalam laporan PPL & KKL kami ini adalah mengenai “Makna
Simbol dan Akulturasi Budaya” Adapun badan lembaga yang ada kaitannya dengan tema diatas ialah Klenteng Sam Poo Kong
dan Masjid Agung Jawa Tengah.
1.
KLENTENG SAM-POO-KONG
Bangunan yang berarsiktektur cina ini berdiri megah
di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang dengan corak merah cerah. Bangunan
ini berumur sudah ratusan tahun yang didirikan oleh seseorang sebagai tempat
sembahyang, tempat pemujaan dan tempat berziarah bagi leluhur-leluhur bagi
mereka yang masih mempunyai keturunan cina/Tiong Hoa. Orang Indonesia keturunan
cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng,
mengingat bentuknya berarsitektur cina sehingga mirip dengan sebuah kelenteng. Masyarakat
sekitar juga mempercayai bahwa Laksamana Cheng Ho merupakan titisan dewa yang
akan memberikan pertolongan pada mereka. Untuk menghormati jasa-jasa beliau
semenjak meninggalnya beliau, didirikanlah sebuah patung besar dan masyarakat
mempercayai orang yang sudah meninggal akan terus memberikan pertolongan. Melihat
sejarah yang menjelaskan bahwa laksamana Cheng Ho atau Zheng He adalah seorang
muslim, mereka tidak mempermasalahkan dengan didirikannya patung dan bangunan
sebagai tempat pemujaan. [3]
Dimulai dari bangunan fisik, aksesoris yang melekat,
maupun lingkungan dalam dan luar klenteng mempunyai arti simbol tertentu. Seperti
halnya bangunan klenteng, nama klenteng itu sendiri, patung-patung yang ada didalam lingkungan
klenteng, mempunyai makna filosofis tersendiri, diantaranya :
Klenteng Sam Poo Kong dikenal juga dengan sebutan
Gedong Batu. Ada yang mengatakan nama ini dipakai karena asal mula tempat ini
adalah sebuah gua batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu. Tetapi ada
sebagian orang yang mengatakan bahwa sebenarnya asal kata yang benar adalah
Kedong Batu, alias tumpukan batu-batu alam yang digunakan untuk membendung
aliran sungai. Karena memang dulunya daerah tersebut adalah tepat di bibir
pantai laut Utara Jawa. Klenteng Sam Poo Kong
Semarang terdiri
atas sejumlah anjungan.
Bangunan
pemujaandi dalam klenteng terdapat beberapa tempat pemujaan diantaranya
ialah klenteng utama ialah Klenteng Besar dan gua suci Sam Po Kong, Klenteng
Tho Tee Kong : tempat - tempat pemujaan Kyai Juru Mudi, Kayai Jangkar, Kyai
Cundrik Bumi dan mbah Kyai Tumpeng. Klenteng Besar dan gua merupakan bangunan
utama dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan di komplek tersebut. Gua
yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan
dan dibangun sebagai duplikat tempat yang pernah ditinggali. [4]
Bangunan klenteng
merupakan bangunan tunggal beratap susun. Berbeda dengan type klenteng yang ada
di Pecinan, klenteng ini tidak memiliki serambi atau balai gerbang yang
terpisah. Bagian atap ditiap-tiap sudut yang melengkung keatas merupakan simbol
yang berarti bahwa falsafah hidup orang China selalu bersemangat untuk lebih
tinggi dan lebih maju dalam urusan ekonominya.
Diatas tiap lengkungan terdapat beberapa patung beberapa binatang dengan ukuran
yang kecil, diyakini bahwa mereka itulah sebagai binatang penjaga klenteng. Pada
bagian tengah terdapat ruang pemujaan Sam Po. Gua batu sebagaimana tersebut di
atas terdapat di dekatnya. Facade gua berlukisan sepasang naga dengan bola api
yang terletak di atas ambang pintu masuk yang sempit. Klenteng Tho Tee Kong
atau Toapekong Tanah atau Ho Tek Tjin Sin yang terletak di belakang pintu
gerbang, merupakan yang paling populer.
Didepan bangunan utama klenteng sebelah
kiri terdapat tempat khusus untuk menyalakan lilin-lilin raksasa, asap yang
keluar dari lilin tersebut sebagai perlambang untuk membawa doa mereka sampai
pada Yang Kuasa. Di kalangan masyarakat yang agraris, Dewa Bumi ini sangat dihormati dan selalu dimintai berkahnya. Klenteng
Cap Kauw King, tempat pemujaan Tho Tee Kong pula, berkaitan dengan klenteng ini.
Tidak pula dijumpai serambi seperti pada klenteng di Pecinan. Tempat pemujaan
Kyai JuruMudi dipercaya sebagai makam Wang Jing Hong, wakil Zheng He dalam
pelayarannya. Disebut juga Kyai Juru Mudi Dampo Awang, disamping makam itu
terdapat sepasang bunga yang bermakna sebagaimana orang Islam menabur bunga
diatas kubur.
Bangunan makam merupakan bangunan
sederhana beratap pelana. Pintu masuknya terletak di tengah dan di kedua
sisinya terdapat jendela bundar. Di bawah kedua jendela bundar terdapat lukisan
berwarna yang mengisahkan perjalanan pelayaran Sam Po untuk mengenang jasa
perjuangan dari Zheng He.
Anjungan Kyai Jangkar memiliki tiga
altar, yaitu altar Hoo Ping, yaitu para pelaut dan pembantu Zheng He yang gugur
pada saat menunaikan tugasnya; altar Nabi Kong Hu Cu di tengah; dan altar pemujaan mbah Kyai Jangkar di sebelah kanan. Anjungan Kyai Cundrik
Bumi merupakan petilasan tempat anak buah Zheng He menyimpan segala macam
senjata. Sedangkan anjungan Kayi Tumpeng yang terletak di ujung selatan komplek
dipercaya sebagai tempat anak buah Zheng He bersantap pada masa lalu. Bangunan
ini sekarang dipakai untuk bersemedi atau menyepi.
Patung raksasa Laksamana Agung Zheng Hesetinggi
10,7 meter berbahan perunggu dengan berat sekitar 3,7 ton yang terdapat tepat
didepan Klenteng utama melambangkan kegagahan Zheng He dan kebesaran
perjuangannya.
Patung-patung dan lukisan binatang yang terdapat
dikomplek Klenteng Sam Poo Kong mengandung arti bahwa binatang-binatang itulah
yang menjaga klenteng, bukan merupakan shio-shio yang kita kenal dalam
penanggalan China.
Klenteng Sam Poo Kong kental akan nuansa China,
mulai dari warna merah yang mendominasi seluruh bangunan, patung-patung dan
lukisan serta arsitektur bangunan secara keseluruhan. Terdapat akulturasi
budaya antara Budaya China dengan Budaya Indonesia, Jawa dan Islam, misalnya
adanya sebuah bedug besar yang merupakan salah satu budaya khas Islam Jawa,
sebagaimana jika kita menjumpai masjid-masjid besar dan masjid-masjid
bersejarah sebagian besar masih mempertahankan adanya bedug sebagai penanda
masuknya waktu sholat.
Nama Sam Poo Kong merupakan gelar bagi Laksamana
Cheng Ho dalam menyelamatkan dan membentu rakyat sekirat. Laksamana baru 7 kali
melakukan pelayaran keliling dunia dan pelayaran ke 4-nya ini mengalami musibah
dan terdampar di bibir pantai Simongan, yang kini nama tersebut diabadikan
menjadi nama jalan Simongan. Laksamana Cheng Ho sudah 2 kali berkunjung di
Jawa, yang pertama tahun 1405 dan yang kedua pada tahun 1416. Setiap bulan
Juli-Agustus diadakan uapcara untuk memperingati hari datangnya Laksamana Cheng
Ho ke Jawa. Apabila dalam kalender cina upacara tersebut diadakan setiap
tanggal 26/29. Tidak hanya itu setiap malem selasa kliwon dan jumat kliwon
banyak warga sekitar maupun dari kota lainnya berkunjung ke Klenteng untuk
berziarah dan mencari berkah. Di tahun kedua ini karena kena musibah memaksa
beilau untuk tinggal sementara di simongan dan para awak kapal yang ikut serta
dalam pelayarannya ikut tinggal dan bebrapa menikahi orang sekitar. Sehingga
banyak warga sekitar yang masih ada garis keturunan orang cina/Thiong Hoa.
2.
MASJID AGUNG JAWA TENGAH
Kemegahan dan keindahannya tanpa disadari oleh masyarakat
tampak seperti bangunan megah dan bangunan tersebut digunakan sebagai tempat
ibadah umat muslim. Akan tetapi dibalik kemegahan bangunan tersebut Masjid
Agung Semarang mempunyai bebrapa makna simbolis yang khusus. Diantaranya
serambi masjid yang terdiri dari 25 tiang yang membentuk setengah lingkaran
melambangkan kepercayaan umat Islam yang meyakini 25 nabi dan rosul. 6 tiang
juga berfungsi sebagaimana payung otomatis mempunyai makna filosofis
kepercayaan umat Islam tentang 6 rukun Iman. 5 air mancur yang berada didepan
pintu masuk komplek masjid melambangkan 5 Rukun Islam. Menara Al Husna (Al
Husna Tower) dengan ketinggian 99 meter. Menara yang dapat dilihat dari
radius 5 km ini terletak di pojok barat daya masjid. Menara tersebut
melambangkan kebesaran dan kemahakuasaan Allah dan 99 nama yang baik atau
Asmaul Husna.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Agung Jawa
Tengah juga merupakan obyek wisataterpadu dalam pendidikan,
religi, pusat pendidikan, dan pusat aktivitas syiar Islam. Dengan berkunjung ke
masjid ini, pengunjung dapat melihat keunikan arsitektur masjid yang merupakan perpaduan
antara arsitektur Jawa, Roma dan Arab.
Arsitektur Jawa terlihat pada beberapa bagian,
misalnya pada bagian dasar tiang masjid menggunakan motif batik seperti tumpal,
untu walang, kawung, dan parang-parangan serta batu prasasti yang asli berasal
dari Gunung Merapi Jawa Tengah. Ciri arsitektur Timur Tengah (Arab) terliat
pada dinding masjid yang berhiaskan kaligrafi. Selain itu, di
halaman Masjid Agung Jawa Tengah terdapat 6 payung hidrolik raksasa
yang dapat membuka dan menutup secara otomatis yang merupakan adopsi arsitektur
bangunan Masjid Nabawi yang terdapat di Kota Madinah. Masjid ini juga sedikit
dipengaruhi gaya arsitektur Roma. Gaya itu nampak pada desain interior dan
lapisan warna yang melekat pada sudut-sudut bangunan.
3.
KAMPOENG PERCIK
Beralamat di Kabupaten Salatiga Provinsi Jawa
Tengah, tepatnya di Jl. Patimura Km 1, Kampoeng Percik, Dusun Turusan Salatiga
Jawa Tengah Indonesia. Merupakan suatu komunitas yang berkecimpung dalam
kehidupan sosial masyarakat. Komunitas ini menamainya dengan sebutan “Kampoeng
Percik”, yang bermakna suatu lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan. Lembaga ini
berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dari instansi pemerintahan. Komunitas ini
bertujuan membantu masyarakat sekitar dalam masalah sosial maupun masalah hukum
yang menjeratnya.
Salah satu tempat yang menjadi kunjungan dalam
kegiatan KKL/PPL yang diadakan oleh Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Jurusan
Ushuluddin, IAIN Surakarta, ini mendapat antusias cukup serius bagi para
peserta. Disamping maraknya kemajuan teknologi dan persaingan dalam kehidupan sosial,
komunitas ini berbanding terbalik dengan membantu masyarakat yang kurang mampu
dalam segala hal kaitannya dengan pendidikan dan Hak Asasi Manusia. Bangunan-bangunan
yang didirikan didalamnya mempunyai arti khusus dengan latar belakang kehidupan
orang jawa yang sederhana. Seperti misalnya bangunan utama yang menjadi tempat
pertemuan/diskusi bergaya arsitektur jawa asli. Bisa dikatakan gaya bangunan
itu mirip dengan rumah Joglo rumah adat jawa, dan diwarnai dengan ukiran-ukiran
tangan yang sangat halus setiap tiangnya.
Salah satu yang menjadi perhatian penyusun adalah
sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah orang muslim. Bangunan itu
bernuansa tradisional dengan atap yang terbuat dari ijuk dan dindingnya terbuat
dari anyaman bambu. Nuansa islami dan ke-pondok-an sangat tersirat seakan-akan
kita berada dilingkungan aslinya. Pencahayaannya menggunakan lampu dengan
cahaya redup/tidak terang, ini menambah nuansa perdesaan yang begitu kental. Bisa
dikatakan sekitar komunitas itu membawa kita kembali kejaman dahulu sebelum
diterangi oleh cahaya listrik. Nuansa perkampungan itu benar-benar tersirat. Orang
awam yang tidak tahu akan mengira Kampoeng Percik itu adalah sebuah kampung
yang bernama Percik dengan nuansa perdesaannya. Setelah berkunjung dan melihat
lingkungan sekitarnya maka mereka akan mengerti bahwa Kampoeng Percik ini
merupakan suatu komunitas yang bergerak di bidang sosial masyarakat dengan
nuansa perdesaan disekelilingnya. Mulai dari bangunan-bangunan dan konsep
pencahayaannya akan membawa kita kembali kemasa lampau.
“Sebuah nama yang sederhana tapi mendunia” satu
kalimat dari Kampoeng Percik yang sangat menjunjung nilai sosial
kemasayarakatan.
BAB III
PENUTUP
Dari penjabaran Kuliah
Kerja Lapangan (KKL)/Praktek Pengalaman Lapangan (PKL) yang diadakan oleh Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, serta dilaksanakan oleh mahasiswa Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah khususnya Jurusan Ushuluddin Prodi Aqidah Filsafat dan
Prodi Tafsir Hadist.
a.
KESIMPULAN
·
Budaya Indonesia yang beragam dan
memiliki ciri khas tertentu mewakili setiap wilayah maupun suku yang ada di
Nusantara ini. Setiap budaya yang tidak dapat dipisahkan sari berbagai ritual
dan symbol-simbol yang ada. Salah satunya adalah budaya Indonesia yang berpadu
sehingga memunculkan nuansa cantik nan eksotis adalah budaya China dengan
Indonesia khususnya Jawa dan ditambah taburan-taburan buansa islami menambahkan
makna khusus. Perpaduan budaya ini seperti yang terdapat dalam Klentang Sam Poo
Kong di daerah Simongan, Semarang.
·
Akulturasi merupakan suatu cara untuk
memadukan suatu budaya sendiri dengna budaya lain dan untuk menjelaskan makna,
symbol yang terdapat dalam budaya tersebut.
·
Setiap lembaga yang dikunjungi dalam
studi PPL dan KKl ini memberikan ciri khusus dan mencerminkan makna sosial
dalam masyarakat yang masih dijaga dan dipertahankan agar tidak mengalami
benturan jaman.
·
Kampus memiliki peran besar sebagai
lahan pembentuk mahasiswa dan mahasiswi yang berpengetahuan luas, berfikiran
bebas, serta menghargai dan menghormati hubungan antar umat beragama, dan yang
terlebih adalah menjaga dan melestarikan setiap budaya yang ada agar tidak
menjadi rebutan dengan orang lain yang mengganggapnya sebagai budaya mereka.
b.
SARAN
Saran bagi panitia
pelaksana KKL/PPL, untuk menunjang pencapaian tujuan KKL/PPL. Diharapkan dalam
pembekalan agar diberikan persiapan pengarahan lebih detail mulai dari
penjelasan apa itu KKL/PPL, tugas dan langkah kerja peserta sampai pada
penyusunan laporan yang mengacu pada panduan akademis Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah. Mahasiswa dalam penyusunan laporan agar tidak mengalami kebingungan dan
kesulitan pada saat dilapangan selama mengikuti kegiatan KKL/PPL. Pengamatan
dari setiap peserta dan penyusun sendiri, bahwa pelaksanaa KKL/PPL kemarin
kurang dalam pencapaian tujuan. Kegiatan KKL/PPL kemarin lebih banyak muatan
rekreasi dari pada edukasinya.
Tujuan kunjungan yang
terlalu banyak dan dalam waktu yang sangat terbatas, yaitu 4 tempat dalam waktu
sehari dirasa kurang efektif. Peserta kurang focus dan kurang detail dalam
menggali informasi pada lembaga yang dikunjungi.
c.
PENUTUP
Mengucap syukur
alhamdullillah, mulai dari pemberangkatan dan akhir dari kunjungan dalam
kegiatan KKL/PPL ini memuncak pada penyelesaian laporan KKL/PPL. Peserta sangat
menikmati dan mengucap syukur pada akhirnya kegiatan KKL/PPL dapat berjalan
sesuai agenda dan peserta dapat menyusun laporan KKL/PPL sesuai dengan materi
yang didapat dari setiap lembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Acmadi,
Asmoro. Filsafat dan Kebudayaan Jawa (Upacara membangun keselarasan ilam dan
budaya jawa). Cedrawasih. Sukoharjo:2004.
Budiyono,
Herusatoto. Simbolis Budaya Jawa. Hanandita Graham Wijaya. Yogyakarta:1985.
file://localhost/D:/file%20word/sam%20poo%20kong/Klenteng_Sam_Po_Kong.
htm,
di download Minggu, 28 Oktober 2012, 06. 16 PM.
Horvatq,
Pilz evagertraad (Nyi Hidayu Hananingtiyas) Sesaji dan Wilujengan,
tatacara-upacara Kraton Hadiningrat Surakarta. Suarakarta: Poeger. 2006.
Khadziq.
Islam dan Budaya Lokal. Teras. Yogyakarta:2009.
Rama
Sudiyatmana. Upacara Penganten (Tatacara-Kewilujengan). Semarang: Aneka.
1986.
Sudarto.
Metodelogi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo persada. 2002.
Koentjaraningrat,
Prof. Dr. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta.
Wawancara
dengan tour guide Klenteng Sam Poo Kong dengan Bapak Rahmat.
[1] Achmadi,
Asmoro. Filsafat dan Kebudayaan Jawa(upacara membangun keselarasan islam
dan budaya jawa). Cendrawasih. Sukoharjo:2004.
[2] Budiyono,
Herusatoto. Simbolis Budaya Jawa. Hanandita Graham Wijaya. Yogyakarta:1985.
[3]file://localhost/D:/file%20word/sam%20poo%20kong/Klenteng_Sam_Po_Kong.
htm, di download
Minggu, 28 Oktober 2012, 06. 16 PM.
[4] Wawancara dengan tour guide
Klenteng Sam Poo Kong dengan Bapak Rahman.