Rabu, 16 Juli 2014

PERKEMBANGAN ISLAM MODERN-M. ARKHOUN



MUHAMMAD ARKHOUN




Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Perkembangan Islam Modern
dosen pengampu : Dr. Nurisman,


Disusun oleh :
Ade Setiawan
Khoirun nisa
Siti munirotun na’im


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
JURUSAN USHULUDDIN PRODI AQIDAH FILSAFAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


A.     PENDAHULUAN
Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, kajian “pemikiran Islam” model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang berbeda dengan corak pemikiran para pendahulunya. Telaah pemikiran Islam Arkoun tidak saja berbeda dengan corak telaah pemikiran orientalis, tetapi juga berbeda  dengan  telaah  pemikiran  Islam  model  Hassan Hanafi yang bobot kalam  dan filsafatnya sangat kental, juga berbeda dengan gaya pemikiran Seyyed  Hossein Nasr, yang materi pemikiran tasawuf dan filsafatnya sangat mencolok, dan lebih-lebih lagi bukan seperti pemikiran ke-Islaman model Ismail al-Faruqi dan Syeh Muhammad Naquib al-Attas, yang nuansa pemikiran Islamisasi pengetahuannya sangat kental.
Pada prinsipnya, gaya pemikiran yang dibawa oleh Arkoun dalam beberapa hal justru dekat kepada pemikiran Fazlur Rahman dengan Muhammad Iqbal dengan alur pemikiran keduanya yang sangat kritis terhadap warisan intelektual Islam. Kalau kedua-duanya menganjurkan adanya upaya rekonstruksi isi pemikiran Islam terutama dalam hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat dan ilmu-ilmu sosial, maka Arkoun lebih banyak menyentuh ”bangunan pemikiran” Islam secara menyeluruh, baik yang menyangkut pemikiran kalam, tasawuf, fiqhi, akhlak maupun tafsir.
Pendekatan baru yang ditawarkan oleh Arkoun yang melampaui batas studi Islam, didasari dengan adanya pemikiran Islam yang sama sekali tidak mengalami perubahan, dengan kata lain terjadi stagnasi dalam struktur pemikiran Islam, sementara tuntutan zaman sangatlah kompleks yang membawa hal-hal baru dalam setiap kurun waktu tertentu.
Pada  dasarnya apa yang diinginkan Arkoun  adalah pemaduan dari unsur yang paling mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran barat modern. Dalam konteks inilah konsep Arkoun tentang “Islamologi Terapan” tidak dapat dinafikan.
Islamologi terapan yang dicanangkan oleh Arkoun, sesungguhnya adalah konsekuensi dari “kevacuman” pemikiran Islam setelah masa pertengahan yang “nyaris tidak terdengar lagi”. Kekosongan dalam dinamika pemikiran Islam abad scholastik (pertengahan) tersebut berbuntut pada penerimaan produk pemikiran Islam sebagai harga mati, paten, tidak boleh dilirik, diteliti bahkan sampai pada pensejajaran pemikiran Islam sebagai doktrin agama yang tidak boleh diganggu gugat.


B.     BIOGRAFI
Mohammed Arkoun lahir tanggal 1 Februari 1928 di Taorirt Mimoun di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah Timur Aljir. Wilayah Kabilia (al-Qabail) terbagi kepada dua , yaitu Kabilia Besar (dengan luas sekitar satu juta hektar) dan Kabilia kecil. Penduduknya hidup dari hasil pertanian (buah tin dan zaitun), menggembala ternak, dan berdagang kerajinan tangan. Sedangkan Berber adalah panggilan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara, dari Libya sampai Samudera Atlantik.
Latar belakang sosial tersebut, membuat Arkoun bergelut dalam tiga bahasa, yaitu bahasa kabilia, bahasa Arab dan bahasa Perancis. Pertama, adalah salah satu bahasa Berber yang diwarisi Afrika Utara dari Zaman pra-Islam dan pra-Romawi. Kedua, adalah bahasa  yang dibawa oleh arus ekspansi Islam sejak abad pertama hijriyah. Ketiga, adalah bahasa Perancis yang dibawa oleh bangsa yang yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 sampai dengan 1862.
Muhammad Arkoun mengawali pendidikannya di sekolah dasar di desa asalnya, Kabilia. Kemudian ia melanjutkan sekolah menengahnya di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Al-Jazair bagian barat jauh dari Kabilia. Dari tahun 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar bahasa arab pada sebuah sekolah menengah atas di al-Haurach di daerah pinggiran ibu kota Aljazair.
Di tengah perang pembebasan Aljazair dan pemerintah kolonial perancis (1954–1962), Arkoun mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris. Sejak itulah ia menetap di Perancis. Pergaulannya dengan peradaban Perancis yang sudah dimulai ketika duduk di sekolah dasar yang berpola Perancis di desa kelahirannya, kini berlanjut semakin intensif, namun, bidang utama studi dan penelitian (area of concern) Arkoun tidak berubah, yaitu bahasa dan sastra Arab. Pada proses perkembangannya ia semakin mempertinggi kuantitas perhatiannya terhadap pemikiran Islam. Karena itu ciri utama pemikiran Arkoun adalah pemaduan khas antara Barat dan Islam.
Pada tahun 1969 Muhammad Arkoun mengakhiri pendidikan formalnya dengan meraih gelar Doktor bidang sastra dari Universitas Sorbonne di Paris  tempat ia mengajar sekarang, dengan disertasi mengenai Humanisme dalam Pemikiran Etis Miskawaih, seorang pemikir muslim Persia dari akhir abad ke-10 dan awal abad ke 11 Masehi yang begelut dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain kedokteran dan filsafat dan mendalami persamaan dan perbedaan antara Islam dan tradisi pemikiran Yunani.
Pada 1969 – 1972 ia pindah mengajar ke Universitas Lyon dan kemudian kembali ke Paris serta menjabat Professor bahasa Arab dan peradaban Islam di Universitas Paris (1972-1977), ia juga sering menjadi dosen tamu di University of  California di Los Angeles, lembaga Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma; Universitas Katolik Louvain la-Nenue di Belgia, Primeton University dan Temple University di Philadelphia, Arkoun juga pernah memberikan kuliah di Rabut Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Teheran, Berlin, Kolumbia, dan Denver.[1]
Karya-karya Arkoun yang paling penting adalah Contribution a l`etude de l`Humanisme Arabe au IV/X siecle : Miskawayh philosophe et historien ; La pensee Arabe. Karya-karya lain Arkoun merupakan kumpulan artikelnya dan telah dipublikasikan dalam beberapa majalah, antara lain Lectures du Coran (Telaah tentang Qur`an), Pour une crithique de la raison Islamiqhue; Essais sur lapensee Islamiqhue. Sedangkan buku-buku Arkoun selain yang disebutkan diatas antara lain Aspects de la pensee musulmane classique
Adapun karya Arkoun bersama dengan cendekiawan lain antara lain L`Islam, hier, demain  (Islam, Kemarin dan Hari Esok). Buku ini merupakan karya bersama Louis Gardet; L`Islam, Religion et  Societe  
Ada juga beberapa karyanya yang diterjemahkan dan dikomentari  oleh murid sekaligus sahabat terdekatnya yaitu Hasyim Shalih anatara lain : Al-Fikr al-Islamy : Qiraah Ilmiyyah; AL-Fikr al-Islamy: Naqd wa al-Ijtihad; Al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah; Min Faishal al-Tafriqah ilaa fasl al-Maqal…. Aina huwa al-Fikry al-Islamy al-Muashir; Tarikhy al-fikr al-Araby al-Islamy. [2]

C.     PEMIKIRAN MUHAMMAD ARKHOUN
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur Jeffery dalam  mendekontruksi  al-Quran. Arkoun dalam melakukan serangan terhadap  otensitas al-Quran menggunakan dua konsep yaitu konsep dekonstruksi dan  konsep historitas
Konsep Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai  sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti  sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci”. Strategi ini  berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab  suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya  itu merupakan sebuah ijtihad
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan  menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya  bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap  al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Quran,  dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran yang selama  ini telah ada.
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah al-Quran menjadi dua  peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul Kitab, dan peringkat  kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan al-Quran. Pada peringkat  pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya di luar jangkauan manusia,  karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz. Wahyu (Preserved Tablet)  dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa diketahui manusia hanya pada  peringkat kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” (editions terrestres) namun menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah  mengalami modifikasi dan revisi dan subsitusi.
Konsep Historitas
Dan tentang konsep historitas, Arkoun mengatakan “bahwa pendekatan  historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya sesuai untuk  warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua  sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu  kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa Strategi terbaik untuk memahami historisitas  keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga  menurutnya, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi,  antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari  sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan  saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini  untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang  kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang secara tuntas mencoba menggunakan  hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya,  Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan  tiga level tingkatan wahyu.
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui  oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.   Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an,  hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam  bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai  macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang  dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua.  Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Qur’an lebih suci,  lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk  tertulis. Sebabnya, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status  al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan  menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu tidak layak  untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma baru tentang hakikat  teks al-Qur’an. Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun justru  menggiring­nya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun  mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga  mengakui .kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Qur’an, tetapi bentuk  itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Dan  bisa kita simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun  justru menggiringnya kepada sesuatu yang tidak historis. Sesuatu yang tidak  mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang zaman  fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan  datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf `Uthmani.
Pendapat Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di Lauh al-Mahfudz  diikuti oleh Dawam Raharjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi  Islam di Indonesia pada tahun 1960-an, ia menyatakan: “Ketika turun kepada  Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami  transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula  dalam bentuk transkip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku.
Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah  Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam  surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun disitu terdapat peranan dan  campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat  sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu yang semula tersimpan di Lauh  al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits yang mengandung  ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah  memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang  controversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang  sangat controversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang  benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu  terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui  kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”
Sekularisasi Islam dalam Pemikiran M. Arkoun
Istilah sekularisme bermakna “sesuatu yang bukan agama”. Ia berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti “masa” atau “generasi” dalam arti waktu temporal. Kata ini kemudian menjadi bermakna segala hal yang berhubungan dengan dunia ini, dan dibedakan dengan hal-hal yang berbau agama.[3]
Salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern adalah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Dalam konteks pengalaman negara-negara eropa, ide tersebut merupakan pembalikan terhadap kecenderungan dan pola yang sangat umum di sana sebelum zaman modern, berupa kekuasaan absolut raja-raja dan para penguasa agama. Karenya tidak heran gagasan itu pun disambut hangat kalangan sekularis Islam seperti Kemal Ataturk, dan Muhammad Husain Haikal dan Thaha Husain yang secara agresif menganjurkan ide-ide dan superioritas budaya Barat selama tahun 1920-an. Pada 1925, ‘Ali Abd al-Raziq, seorang ulama, berpendapat bahwa islam tidak mempunyai prinsip-prinsip politik dan membolehkan kebebasan berpendapat serta demokrasi.
Berbeda dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam yang lahir dari tradisi modernisme, Muhammad Arkoun justru seorang yang lahir dari tradisi postmodernisme.[4] Pada masanya, teori postmodernisme berkembang pesat dengan munculnya tokoh-tokoh posmo seperti Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard dan Pierre Bordieu. Ia juga dipengaruhi dan merupakan produk dari tradisi pemikiran Prancis, khususnya linguistik struktural, poststruktural Paul Ricoeur dan Michel Foucault serta dekonstruksionisme Derrida. Leonard Binder, mengatakan bahwa pemikiran Muhammad Arkoun itu termasuk dalam kategori eklektik. Karenanya tidak heran kalau dia mendukung kalangan sarjana Barat yang berusaha menggunakan metode postmodernisme dalam membaca teks Islam Klasik. Dengan proyek Kritik Nalar Islam-nya, Arkoun berusaha memahami episteme pemikiran Islam yang masih didominasi oleh nalar modernisme yang positivistik. Salah satunya adalah kritik terhadap proyek orientalisme yang cenderung memahami Islam terjebak ke dalam historisisme; kritik terhadap keterjebakan umat islam pada pertarungan ideologis antara wacana keagamaan internal dengan wacana sekular; karena itu, proyek ambisiusnya adalah bahwa ilmu-ilmu humaniora dapat merekatkan tradisi islam yang mengalami split dan menggesernya menjadi dunia yang selalu menjadi bagian dari Islam. Arkoun mengatakan:
[....pemikiran klasik, sebagai bentuk konstruksi intelektual yang sempurna, telah menghasilkan sesuatu yang tidak terpikirkan sejalan dengan susunannya. Sebagai contoh, teologi, lebih menempatkan strategi berpolemik daripada sebagai struktur yang sesuai untuk investigasi terbuka: hal ini telah membuat luasnya bidang yang masih tidak terpikirkan dalam pemikiran arab kontemporer]. Cara pembacaannya yang cenderung dekonstruktif juga terlihat ketika umat Islam terjebak ke dalam logosentrisme pemikiran. Salah satu ciri logosentrisme dalam pemikiran islam adalah mementingkan wacana yang lahir dan diproyeksikan dalam ruang bahas yang terbatas, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan cenderung mengulang-ulang yang lama. Untuk itu, dia mengatakan:
[...Semua usaha untuk memahami kebenaran (al-haqq) terdiri dari, dalam hal ini, taklid kepada orotitas teks Al-Quran yang mana imanensi bahasanya bercampur dengan transendensi Kehendak Tuhan...Akibatnya, penggunaan struktur gramatikal dan leksikologi bahasa Arab yang benar memberikan jaminan kepada validitas signifikansi yang permanen.[5]

D.    PENUTUP
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
  1. Mohammed Arkoun adalah sosok pemikir Muslim yang lahir dari dua komunitas yaitu Islam dan Barat. Sehingga, gagasan-gagasannya yang muncul merupakan perpaduan antara dua dunia tersebut sebagaimana yang tertuang dalam karya-karyanya. 
  2. Inti dari pikiran-pikiran Arkoun adalah kritik epistemologis, karena menurutnya, proses pembakuan dan kejumudan pemikiran Islam ditandai dengan krisis epistemologis meminjam bahasa Foucault yang sama sekali tidak berdenyut dari periode pertengahan. 
  3. Kegelisahan Arkoun tidak hanya terpaku pada kejumudan pemikiran Islam, tetapi juga mengarah pada Islamologi Klasik (pemahaman Barat terhadap Islam atau Orientalisme) yang menurutnya belum sampai pada standar ilmiah. Hal ini dapat dilihat dengan masih berlakunya etnosentrisme Barat terhadap studi Islam serta pemahaman mereka tentang Islam  masih bersifat parsial. Mereka tidak meneliti Islam sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan lain kata, teks-teks menjadi obyek utamanya tanpa memperhatikan aspek sosial, politik dan budaya yang melingkupinya. 
  4. Gagasan Arkoun tentang “Islamologi Terapan” lahir sebagai respon terhadap Islamologi klasik. Menurutnya, kekurangan-kekurangan yang ada pada Islamologi klasik semestinya diisi dengan gagasan-gagasan Islamologi terapan. 



DAFTAR PUSTAKA
Charles D. Smith, “Sekularisme”, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, penj. Eva YN., dkk., Jld. 5 (Bandung: Mizan, 2001)
             


[3] Charles D. Smith, “Sekularisme”, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, penj. Eva YN., dkk., Jld. 5 (Bandung: Mizan, 2001), h. 128.             

[4] Postmodernisme adalah aliran filsafat mutakhir yang mendekonstruksi aliran pemikiran modernisme. Salah satu orientasinya mengembalikan nilai-nilai dan konsep-konsep yang selama dmarjinalkan oleh pola pikir meodernisme, seperti dunia metafisika, spiritual, mitos dan lain sebagainya.
[5] Charles D. Smith, Op. Cit., h. 131.

logika mantiq (analogi)



ANALOGI

A.     PENDAHULUAN
Setelah kemarin kita membahas  tentang generalisasi, kami sekarang akan menccoba membahas tentang analogi. Semua kata dan semua kalimat membutuhkan sebuah penjelasan dan penyimpulan, agar kata atau kalimat mudah di pahami, mengerti bahkan tau maksud apa tujuan yang di sampaikan dari kata, ide dan gagasan tersebut.
Maka dari ini kami akan menjelaskan bagaimana analogi itu, macam-macamnya, cara menilai analogi dan analogi yang baik dan buruk (pinjang).

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian analogi
Analog dalam bahasa Indonesia ialah ‘kias’(Arab,qasa = mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain dan dua hal itu di bandingkan yang satu dengan yang lain. Contoh, kalau kambing dibandingkan dengan sapi, maka kedua-duanya adalah binatang, akan tetapi yang satu berbeda dengan yang lainya, dari warna, besarnya dan sebagainya[1].
Dalam penyimpulan generalisasikita bertolak dari sejumlah peristiwa pada peyimpulan, analaog kita bertolak pada dari satu atau sejumlah peristiwa menuju kepada satu peristiwa lain yang sejanis. Apa yang terdapat pada fenomena peristiwa pertama, disimpulkan terdapat pula pada peristiwa yang yang lain, karena keduanya mempunyai persamaan prinsipal.
Analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejanis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain. Dengan demikian dalam setiap tindakan penyimpulan analogi terdapat tiga unsure yaitu pristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan prinsipal yang menjadi  pengikat dan ketiga, fenomena yang akan dianalogkan. Contoh, jika kita membeli hp (peristiwa), dan kita merasa hp itu wantek dan aplikasinya lengkap (fenomena yang dianalogkan), karena hp yang dulu dibeli dikonter yang sama (persamaan peinsipal) wantek dan aplikasinya lengkap maka penyimpulan serupa adalah penalaran analogi.    
2.      Macam-macam analogi
Analog dibagi menjadi dua bentuk, sebagai berikut:
a.      Analog induktif
Adalah analog yang disusun berdasarkan persamaan principal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Benruk argumen ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran mutlak.[2]
Analogi induktif  tidak hanya menunjukkan persamaan diantara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Contoh dari sajak chairil anwar:
 “Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang……..”
bukan sekedar perumpamaan, akan tetapi suatu penalaran yang didasarkan analogi. Disini Chairil tidak hanya menbuat perbandingan diantara dirinya sendiri dengan binatang jalang, akan tetapi juga menarik kesimpulan atas dasar analogi itu yaitu: (aku ini) dari kumpulannya terbuang. Prinsip yang menjadi dasar penalaran analogi induktif ini dapat disimpulkaan demikian:
karena D itu analog dengan A,Bdan C, maka apa yang berlaku untuk A,B dan C dapat diharapkan juga akan berlaku untuk D.
Jadi analogi induktif tidak hanya menunjukkan persamaan diantara dua hal yng berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Chairil tidak hanya membandigkan dirinya dengan binatang jalang, akan tetapi karena binatang jalang itu selalu diasingkan oleh kumpulannya, maka disimpulkannya pula, aku pun terbuang dari kumpulanku.
Berbeda dengan generalisasi induktif yang konklusinya berupa proposisi universal, konklusi analogi induktif tidak selalu berupa proposisi universal, akan tetapi tergantung pada sunyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi. Dan subyek itu dapat individu, particular, atupun universal. [3] 
b.      Analogi deklaratif
Merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Sejak zaman dahulu analogi deklaratif merupakan cara yang amat bermanfaat untuk menjelaskan masalah yang hendak diterangkan. [4]
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan. Seperti contoh seorang pujangga cinta dibawah ini:
“Sulur-sulur hijau membangkitkan kenanganku kepada tubuhmu,
Pada mata kijang terkejut kulihat main matamu,
Melihat bulan kuingat kepada sinar pipimu,
Rabutmu kulihat pada ekor merak,
Pada riak sungai yang tenang kulihat permainan keningmu.”
3.      Cara menilai analogi
Sebagaimana generalisasi, keterpercayaannya tergantung kepada terpenuhi tidaknya alat-alat ukur, demikian pula analogi. Untuk mengukur derajat keterpcayaan sebuah analogi dapat diketahui dengan cara berikut ini:
a.       Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogkan. Semakin besar peristiwa sejanis yang dianalogkan, semakin besar pula taraf kepercayaannya. Contoh, suatu ketika umi makan diwarung si- A dan teryata umi kecewa dengan masakannya yang tidak enak, maka atas dasar analog umi meyarankan kepada kawannya untuk tidk makan di warung si-A. analog umi menjadi semakin kuat ketika nisa juga merasakan hal yang sama, dan analognya menjadi semakin kuat lagi ketika semua temannya juga mengalami hal yang serupa.
b.      Sedikit banyaknya asperk-aspek yang menjadi dasar analogi. Seperti contoh tentang sepatu yang telah kita beli pada sebuah toko. Bahwa sepatu yang baru saj kita beli akan awet dan enak dipakai karena sepatu yang dulu dibeli ditoko yang sama juga awet dan enak dipakai.
c.       Sifat dari analog yang kita buat. Apabila sugi mempunyai mobil dan satu liter bahan bakarnya dapat menempuh 10km, kemudian dia menyimpulkan bahwa mobilnya naim yang sama dengan mobilnya juga bisa menempuh jarak 10 km tiap satu liternya, maka analog demikia cukup kuat. Analog ini akan lebih kuat jika sugi mengatakan bahwa mobil naim akan menempuh 8 km setiap liter bahan bakarnya. Dan menjadi lemah jika sugi mengatakan bahwa mobil naim akan menempuh 15 km setiap liter bahan bakarnya. Jadi semakin rendah taksiran yang kita analogikan semakin kuat analog itu.
d.      Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda semakin kuat keterpercayaan analoginya.kongklusi yang kita ambil adalah awang pendatang baru di IAIN Surakarta akan menjadi sarjana yang ulung karena beberapa tamatan dari IAIN juga merupakan sarjana ulung. Analog ini menjadi lebih kuat jika kita mempertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para lulusan sebelumnya.
e.       Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogkan. Bila tidak relevan sudah tentu analognya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Kita menyimpulkan bahwa leptop yang saya beli batrenya bisa bertahan selama 3 jam, berdasarkan analog leptopnya hasna yang sama modelnya, serinya, ternyata batrenya dapat bertahan 3 jam. Maka analog serupa adalah analog yang tidak relevan, seharusnya utuk menyimpulkan demikian harus didasarkan atasa unsur-unsur yang relevan yaitu banyaknya aplikasi, dan yang lainnya.
Analog yang mendasarkan pada suatu hal yang relevan jauh lebih kuat dari pada analog yang medasarkan pada selusin persamaan yang tidak relevan. Penyimpulan seorang dosen untuk mengatasi mahasiswa D adalah sebagaimana yang telah dilakukan terhadap mahasiswa A karena kedua-duanya mempunyai masalah yang sama dan latar belakang pendidikan yang sama, pernyataan ini jauh lebih kuat dibanding jika mendasarkan pada persamaan lebih banyak tetapi tidak relevan, seperti karena sepeda motornya yang sama, satu kost, filem yang disukai dan seterusnya.
Analog yang relevan bisanya terdapat pada peristiwa yang mempunyai hubungan kausal. Meskipun hanya mendasarkan pada satu atau dua persamaan, kita mengetahui bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak dapat untuk menjaga kemungkinan mengembangnya bila kena panas, rel tetap pada posisinya, maka kita akan mendapat kemanatapan yang kuat bahwa rangka rumah yang kita buat dari kerangka besi juga akan lepas dari bahaya melengkung bila kena panas, karena tukang sudah memberi jarak pada tiap sambungannya. Disini kita hanya mendasarkan pada satu hubungan kausal bahwa besi memuai bila kena panas, maka jarak yang dibuat antara dua sambungan besi akan menghindarkan bangunan dari bahaya melengkung. Namun begitu analog yang bersifat kausal memberikan keterpecayaan yang kokoh.     
4.      Analogi yang pincang
Meskipun analog merupakan corak penalaran yang popular, manun tidak semua penalaran merupakan penalaran induktif yang benar. Ada maslah yang tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima, meskipun sepintas sulit bagi kita menunjukkan kekeliruannya. Keliuran ini terjadi karena membuat persamaan yang tidak tepat.
Kekeliruan pertama adalah kekeliruan pada analogi induktif, contohnya:
Saya heran mengapa orang takut bepergian dengan pesawat terbang, karena terjadi kecelakaan pesawat terbang dan tidak sedikit memakan korban. Bila demikian orang jangan tidur hampir semua manusia menemui ajalnya ditempat tidur.
Disini naik pesawat ditakuti karena sering menimbulkan petaka yang menyebabkan kematian. Sedangkn orang tidak takut tidur di tempat tidur karena jarang sekali atau boleh dikatakan tidak ada orang menemui ajalnya karena kecelakaan tempat tidur. Orang meninggal di tempat tidur bukan disebabkan karena kecelakaan tempat tidur tetapi karena penyakit yang diidapnya.
Kekeliruan kedua adalah pada analogi deklaratif, misalnya:
Khutbah itu tidak perlu diterjemahkan dalam bahasa kita, biar dengan bahasa aslinya, yaitu Arab. Bila diterjemahkan dalam bahasa kita tidak bagus lagi sebagaimana kopi susu dicampur terasi. Kopi susu sendiri sudah lezat dan bila kita campur dengan terasi tidak bisa diminum bukan? Karena itulah saya tidak mau khutbah dengan terjemahan karena saya tahu saudara semua tidak mau minum kopi susu yang dicampur dengan terasi.
Disini pembicara yang dikritik khutbahnya karena selalu mengunakan bahasa Arab membuat pembelaan bahwa khutbah dengan terjemahan adalah sebagaimana kopi susu dicampur terasi. Sekilas pembelan ini benar, tetapi bila kita amati mengandung kekeliruan yang serius.  Analogi yang digunakan timpang karena hanya mempertimbangkan kedudukan bahasa Arab dan bahasa terjemah. Padahal ada yang lebih penting dari hal itu yang harus diperhatikan yaitu pemmahaman pendengar. Apakan dengan bahasa Arab tujuan khutbah menyampaikan pesan bisa dimengerti oleh sebagian besar pendengar? Alasan pembicara diatas dapat dibantah dengan analogi yang tidak pincang, misalnya:
Berkhutbah mengunakan bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh pendengar sama halnya dengan member kalung emas pada ekor ayam. Ukankah ayam suka diberi beras daripada diberi kalung. Ayam akan memilih beras sebagaimana pendengar tentu akan memilih khutbah dengan bahasa yang dimengerti.  [5]
C.     KESIMPULAN
Dari pemaparan pemakalah kami di atas, kami akan mencoba menyimpulkan sedikit tentang analogi. Analogi adalah suatu perbandingan yang dipakai untuk mencoba membuat suatu idea dapat dipercaya atau guna membuat suatu konsep yang sulit menjadi jelas. Analog ini kadang-kadang juga di sebut analogi induktif yang dimana proses penalarannya dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain.
Analogi ada 2, yaitu analogi induktif, analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan apa yang ada pada fenomena pertama yang akan terjadi pula pada fenomena kedua. Analogi deklaratif yaitu merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan Sesuatu yang belum di kenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah di kenal.
Analogi juga mempunyai cara-cara tersendiri untuk memahaminya, yaitu sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan, sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi, sifat dari analogi yang kita buat, mempertimbangkan ada tidaknya unsure-unsur yang berbeda pada peristiwa yang di analogikan dan relevan tidaknya masalah yang akan di analogikan.
Analogi kadang-kadang juga ada yang tidak benar atau disebut palsu bahkan juga dikatakan pincang bila mana analogi tersebut yang akan mencoba membandingkan ide dan gagasan lain yang tidak ada hubungannya dengan ide atau gagasan tersebut, analogi seperti ini bisa membuat orang yang memahami sesuatu menjadi salah arah atau tujuan.
 
    
D.    DAFTAR PUSTAKA
Mundiri, 1994, logika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soekadijo, 1983, Logika Dasar, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Poespoprodjo, 2006, Logika Ilmu Menalar. Bandung: CV Pustaka Grafika.











ANALOGI

logo iain











Makalah ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah
LOGIKA MANTIQ
Dr. H. AMIR HUFRON


Disusun Oleh:
SUGIYANTO
SITI MUNIRATUN NA’IM
UMI HANIFAH


AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011










[1]  Soekadijo, logika dasar , Jakarta, PT gramedia pustaka utama, 1983, hal. 139
[2]  Mundiri, logika, Jakarta, PT rajagrafindo persada, 1994, hal. 137
[3] Ibid, hal 140
[4] Ibid, hal 137
[5] Ibid, hapoespoprodl 137-143