Sabtu, 15 Februari 2014

kematian heidegger bag. pertama



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pemikiran yang mendasar pada salah satu aliran yang dikenal oleh dunia yakni eksistensialisme, membuat ia dikenal dunia dengan satu kalimatnya. “Bukan apanya yang didahulukan (esensi) tetapi bahwanya yang didahulukan (eksistensi)”. Martin Heidegger merupakan seorang filsuf muda yang berasal dari Jerman, dengan pemikirannya tentang eksistensi. Ayahnya merupakan seorang pendeta dari gereja Katolik Santo Martinus yang bernama Friedrich dan Johanna Heidegger sebagai ibunya. Pada tanggal 26 September 1889 ia dilahirkan di kota kecil Messkirch.
1
Awalnya Heidegger belajar teologi di Feirdburg, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan alam serta ilmu pengetahuan manusia. Feirdburg pada waktu itu dipimpin oleh Heinrich Rickert dan ia yang berwenang penuh pada fakultas filsafat. Setelah Rickret meninggal kemudian digantikan oleh Edmund Husserl yang terkenal dengan aliran fenomenologi itu. Kedatangan Husserl membawa perubahan penuh bagi Heidegger. Husserl sangat mengagumi kecerdasan Heidegger hingga sampai ia diangkat untuk menjadi asistennya, Husserl beranggapan bahwa ia yang akan meneruskan pemikiran fenomenologinya.[1]
Banyak filsuf yang menyamakan antara Being (sein; diartikan ada, manusia) dengan be ing (seined; diartikan benda)[2], sehingga mereka akan menganggap bahwa manusia itu sama halnya dengan benda. Antara “Ada” (being) dengan “a” besar dan “adaan” (be ing). “Ada” merupakan sesuatu yang melampaui dan menyelubungi “adaan”. “Ada” diartikan sebagai manusia yang mengada, dan “adaan” merupakan benda yang diadakan. Jadi “Ada” merupakan manusia, dan “ada” merupakan benda.
Menurut Heidegger pertanyaan tentang hakekat Ada itu dapat dijawab secara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologi yang ia pelajari dari Husserl. Metode ini digunakan Heidegger untuk menjelaskan tentang kesadaran kepada “kemanusiaannya” dan berbanding terbalik dengan Husserl yang menggunakan metodenya untuk menjelaskan “kesadaran” manusia.[3]
Mengapa Heidegger menjadikan “ada” (being) sebagai dasar filsafatnya. Pertama, situasi zamannya yang kosong akan kesadaran Tuhan disebabkan karena kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya mengerti Sang Ada saja, eksistensi manusia akan menjadi sejati. Kedua, ketidakmampuan manusia dalam memahami Tuhan dan tidak mampu menangkap kehadiran-Nya disebabkan bahasa lisan mengenai “ada” tidak didengarkan dan tidak dikembangkan lagi, sehingga harus berusaha menemukan sang Eksistensi yaitu “ada” untuk dibahasakan kembali dan diberi arti baru.[4] Dua struktur “ada” ini dibahas dalam adanya manusia dengan metode fenomenologi Husserl. Cara berada manusia menunjukkan kesatuan dengan alam jasmani. Manusia selalu mengkontruksikan dirinya dalam alam jasmani menjadi satu susunan. Dengan kata lain, manusia selalu membelum, menyedang dan menyudah. Sartre menyatakan bahwa hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan/sedang). Jadi, manusia selalu membangun ada-nya.[5]
Upaya manusia dalam memahami keberadaannya di antara semua makhluk yang tergelar di jagat raya membawa manusia dalam perjalanan pengembaraan yang tidak pernah berhenti. Pertanyaan tentang dari mana dan mau ke mana membuat perjalanan semua makhkuk terus berlangsung dari zaman ke zaman.[6] Pertanyaan ini menjadi beban manusia untuk terus berpikir dan menemukan jawaban yang masih abstrak untuk dijelaskan.
Manusia hidup di dunia dibedakan atas dua jenis yakni, laki-laki dan perempuan. Begitu halnya nilai dalam kehidupan berupa baik-buruk, indah-jelek, benar-salah, serta hidup dan mati. Dalam kehidupan di dunia manusia dibebaskan memilih untuk melakukan semua hal. Begitu halnya melakukan kebaikan dan keburukan setiap waktu. Banyak sekali manusia yang mementingkan kehidupan dunia daripada kehidupan akherat.
Dunia bagi mereka adalah yang terpenting dan utama untuk mewujudkan semua keinginan, tetapi bila sudah sampai pada pertanyaan, siapkah mati sekarang? Mereka terus berusaha untuk menghindar dan mencari cara untuk hidup abadi. Tidak sedikit dari mereka yang menuhankan sesuatu yang mistis dan keramat selain Allah. Maka dari itu, manusia diberi akal untuk berpikir dan memutuskan sesuatu sebelum melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, kematian sering menjadi momok yang menakutkan. Manusia sering bertanya dalam hati, bila sudah mati berarti akhir dari kehidupan dan sudah tidak ada kehidupan yang lainnya.
Menurut Agama pertanyaan seperti itu salah besar, karena kematian bukanlah akhir dari kehidupan melainkan fase menuju kehidupan selanjutnya yakni alam akherat. Banyak yang mengartikan alam akherat adalah kehidupan yang sebenarnya. Di mana manusia mendapat balasan dengan apa yang telah dilakukannya selama di dunia. Mereka berpikir, bagi mereka yang beramal shaleh ditampakkan sebuah potret kebahagiaan dan kehidupan enak di surga. Sedangkan, mereka yang sering melakukan kemaksiatan dan bergelimang dosa akan mendapatkan siksaan sampai hari kiamat kelak tiba. Masalah kebahagiaan dan siksaan di alam akherat nantinya merupakan hal yang ghaib dan hanya Allah yang mengetahuinya.
Bagi mereka yang berpikir praktis dengan keilmuan yang terus berkembang, kematian adalah suatu siklus kehidupan yang akan dialami oleh semua makhluk yang hidup di dunia. Alam akherat merupakan alam dimensi lain yang abadi dan berbeda dari kehidupan di dunia sebelumnya. Manusia sangat menakuti kematian karena mungkin mereka berpikir akan mengalami kehidupan yang berbeda dari dunia sebelumnya dan itu dipastikan. Mereka harus melupakan antara baik-buruk, indah-jelek, benar-salah. Mereka akan melupakan semua orang-orang yang didekatnya dan berpikir untuk dirinya sendiri.
Kematian merupakan konsekuensi kehidupan bagi manusia maupun makhluk lainnya yang ada di alam semesta dan jagat raya. Dalam kematian, manusia dihadapkan dua hal yakni, kematian merupakan resiko kehidupan dan karenanya tidak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Selanjutnya, makin banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, makin ringan sentuhan di hati mereka. Sedangkan, malapetaka kematian menyentuh semua orang dan seharusnya tidak menimbulkan kesedihan yang berlarut-larut.[7] Manusia diciptakan Allah dengan tujuan utama bahwa ia berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya. Adanya kematian merupakan jalan menuju kehidupan yang sebenarnya, yakni kehidupan yang asal, kehidupan  yang tidak terkena maupun tersentuh oleh kematian seperti orang jawa mengatakan “urip tan keno ing pati”.[8]
Tidak hanya manusia yang mengalami kematian, jin dan semua makhluk-Nya termasuk malaikat akan mengalami kematian. Hanya saja yang akan mendapatkan hisab hanyalah manusia dan jin. Kematian seseorang merupakan salah satu dari lima hal yang mutlak dan menjadi hak Allah, yakni: (QS. al Luqman [31] 34 juz 21)[9]
“Sesungguhnya Allah, pada sisi-Nya pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tidak satu jiwa pun yang dapat menegtahui apa yang akan diusulkan-Nya besok. Dan tidak satu jiwa dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyayang.”

Manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya. Namun demikian mereka diwajibkan untuk berusaha.[10] Kematian manusia dibedakan menjadi dua hal yakni, kematian Su’ul khatimah dan kematian Khusnul Khatimah. Seperti halnya perbuatan baik buruk manusia mempengaruhinya dalam kematian nanti. Semua itu didasarkan pada keyakinan manusia itu sendiri. Banyak yang meyakini kematian Khusnul Khatimah akan mendapatkan kebahagiaan hingga tiba hari kiamat kelak. Begitu sebaliknya dengan Su’ul Khatimah siksaan dan penderitaan yang terus-menerus. Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia kelak di akherat tidaklah gratis dan tidak mungkin mengandalkan doa dan kasih sayang Allah.
Persoalan kematian, dengan sebab dan akibatnya, serta surga dan neraka, harus terus-menerus diingat dan direnungkan agar menjadi pondasi kita dalam menjalani kehidupan. Kematian dan kehidupan di alam akherat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, serta mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kehidupan manusia di dunia. Dapat dinyatakan bahwa kematian yang terjadi dalam kehidupan, tidak hanya sebagai proses peralihan dari kehidupan di suatu alam yang lain, yang pada puncaknya berada dalam kehidupan abadi, atau alam akhirat.[11] Selama kita masih di dunia, marilah kita terus berupaya untuk mendapat kehidupan yang bahagia di akherat nantinya.
Dalam hidupnya Heidegger ingin mengetahui keadaan manusia sebelum keadaan itu sendiri, kemudian ia melakukan penelitian secara ilmiah dalam wujudnya yang belum ditafsirkan. Hasil usahanya ini menemukan dasein berarti “berada di dalam dunia”?[12] Maka dari itu manusia dapat memberi tempat pada benda-benda disekitarnya, dan dapat berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Keberadaan manusia ini merupakan sebuah “situasi terlempar”nya itu ke dunia atau Gowerfenheid. Manusia yang lebih mementingkan kebahagiaan di dunia yang bersifat sementara dan selalu menyibukkan dengan kesibukan duniawi tanpa memikirkan kehidupan nantinya setelah mati. Dalam realita yang ada, banyak manusia yang terus mengejar impian dan pekerjaan yang menunjang kehidupan. Mereka terus mencari harta kekayaan dan berpikir dengan banyaknya harta yang dimilikinya mereka akan bisa hidup tenang dan bahagia. Realita seperti ini merupakan salah satu contoh, kesibukan manusia dengan urusan dunia dan melupakan adanya akhir dari hidup di dunia ini yakni mati.
Seperti yang sudah disediakan oleh Allah bahwa setiap waktu siang dan malam mereka mengatur jasad, malam untuk beristirahat atau menentramkan diri, dan siang untuk bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan “hidup”. Hidup itu sendiri sebenarnya dalam alam dunia ini hanya untuk “menunda kematian”. Menentramkan diri tidak berarti harus bersantai dan memanjakan tubuh, melainkan harus merenungkan arti hidup yang sebenarnya untuk menemukan jalan hidup sejati.[13]
Kematian yang dikaitkan dengan eksistensi bukan berarti manusia itu akan mati, melainkan mendahului dari kematian itu sendiri. Jalan yang menuju kepada hidup yang sejati, kepada keputusan yang pasti, kepada pengetahuan yang benar, kepada eksistensi yang sebenarnya, terletak dalam suatu kepastian yang temporal, dalam menanggung kepastian yang terakhir, yaitu kematian.[14]
Manusia harus menyadari akan kematian itu dengan merenungkan kematian itu sendiri. Hidup manusia merupakan suatu kehadiran yang tertuju pada kematian.[15] Maka dari itu ia, memikirkan kematian hingga membuatnya harus berpindah dari Jerman setelah perang pada tahun 1945, dan tidak dibolehkan mengajar sampai tahun 1951. Hingga akhir hayatnya ia mengasingkan diri hidup dalam kesepian di sebuah pondok di Freiburg pada tahun 1976.[16] Heidegger terus memikirkan bagaimana caranya keluar dari belenggu oleh “pendapat orang banyak” dan menemukan dirinya sendiri. Andai dilihat dari segi waktu, manusia harus merencanakan dirinya sampai pada kemungkinan terakhir yang tidak dapat dielakan, yakni kematian. Kematian merupakan batas terakhir dari keberadaan kita sebagai eksistensi.[17]
Menyibukkan diri dengan kehidupan duniawi secara tidak langsung kita telah melupakan kematian yang akan dijalani oleh setiap mahluk hidup. Pemikiran Heidegger yang di antaranya adalah kehidupan, kematian dan lahirnya manusia di dunia ini merupakan sebuah terlempar-nya, yang tidak mengetahui “dari mana” asal-nya dan “akan kemana” tujuannya. Semua itu akan terjadi bila kita (manusia) mulai berpikir, “dari mana” dan “akan kemana”.
Pemikiran Heidegger tentang kematian membuatnya ia harus hidup sendiri dalam keterasingan. Kematian di sini bukan akhir hidup yang biasa, seperti jalan yang ditentukan akhirnya atau seperti buku sampai pada penutupnya, yakni tamat. Kematian ini merupakan suatu akhir yang hadir setiap saat. Ketakutan, kecemasan, membuat manusia untuk menyibukkan diri dan ingin membungkam suara kamatian itu sendiri dan melupakannya.[18]
Kematian merupakan kepastian secara psikologis dan mempunyai pengaruh sangat besar dalam bawah sadar kehidupan seseorang dalam setiap perilaku manusia. Menurut keyakinan berbagai filsuf, kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Mati bukanlah suatu terminasi tetapi merupakan garis transisi untuk memulai hidup baru di alam yang baru.[19] Pemikiran kematian dari Heidegger inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti lebih lanjut arti/makna dan menggali lebih dalam. Apa yang menjadi ketakutan dan menjadi kecemasan setiap manusia dalam menghadapi kematian yang merupakan salah satu rangkaian dari siklus kehidupan itu sendiri.
B.     Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah yang dipaparkan diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana hekekat kematian manusia menurut Martin Heidegger?
2.      Bagaimana relevansi pemikiran Martin Heidegger tentang kematian manusia terhadap Agama Islam?
C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui hakekat kematian manusia menurut Martin Heidegger.
2.      Mengetahui relefansi pemikiran Heidegger tentang kematian manusia terhadap Islam.
D.    Manfaat Penelitian
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini, memberikan manfaat secara praktis maupun akademis bagi para pembaca maupun bagi peneliti sendiri. Adapun manfaat praktisnya adalah
1.      Memberikan informasi pada pembaca maupun pada masyarakat umum tentang arti dari kematian manusia.
2.      Menggembangkan keilmuan dan memperkaya khasanah untuk memperbaiki kehidupan di masa depan.
Selain manfaat praktisnya, penelitian ini juga memberikan kegunaan secara akademis diantaranya.
1.      Mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentang hakekat kematian manusia.
2.      Memahami lebih jelas dari pemikiran Martin Heidegger tentang kematian manusia.
E.     Tinjauan Pustaka
Berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengungkap makna kematian maupun kehidupan sering dilakukan oleh peneliti lain diantaranya:
Penelitian yang dilakukan oleh Syahirul Alim (2006) yang meneliti tentang Konsepsi Kebangkitan Manusia dari Kematian dalam Al Qur’an (Studi Tafsir Tematik). Penelitian ini menjelaskan tentang kebangkitan setelah kematian itu adalah roh dan jasad saja. Dan kematian ini merupakan hancurnya atom-atom yang membentuk manusia, oleh karena itu mereka tidak meyakini adanya kelanjutan hidup sesudah mati. Penelitian ini lebih memfokuskan pada proses kebangkitan manusia setelah kematian, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri lebih memfokuskan pada hakekat kematian manusia itu sendiri.
Penelitian Etik Listiana Rahmawati (2007) dengan judul Konsep Hidup Sesudah Mati (Kajian Komparatif Normatif antara Islam dan Kristen). Penelitian ini menjelaskan tentang konsep hidup sesudah matinya seseorang dan membandingkannya dengan keyakinan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Etik membandingkan keyakinan antara Islam dan Kristen. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri lebih menekankan pada arti kematian manusia itu sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Sunaidi Erfatra (2000) dalam penelitian Tesis-nya berjudul Kematian Paradok antara ada dan tiada (Analisis kritis terhadap pemikiran Martin Heidegger). Penelitian ini menjelaskan tentang pemikiran Heidegger tentang makna “ada”. Menurutnya Being tidak lagi dimaknai dengan Ada, melainkan Mengada. Artinya, manusia tidak semata-mata dipandang sebagai pelaku pasif dalam memahami dan menyelidiki Ada, tetapi manusia justru sebagai pelaku aktif dalam memaknai Ada. Bagi Martin Heidegger, pengalaman tentang Ada yang dimaknai oleh Kierkegaard masih berbau moralitas dan religius. Manusia belum dipandang sebagai subyek yang mampu berdiri sendiri dalam memaknai hidupnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri adalah hakekat kematian manusia menurut Martin Heidegger. Bagaimana ia menjelaskan kematian manusia secara jelas dan mudah dimengerti oleh semua orang. Penelitian ini menfokuskan pada pemikiran Heidegger tentang kematian.
Penelitian ini yang membedakan dengan penelitian tentang Heidegger ataupun yang berkaitan dengan kematian adalah penelitian ini lebih memfokuskan pada pemikiran Heidegger tentang kematian manusianya yang kemudian dikaitkan dengan Agama Islam sebagai dasar pemikiran peneliti sendiri. Karya-karya tersebut akan memberikan inspirasi pada penulis untuk menyelesaikan penelitian yang berkaitan dengan makna kematian manusia.
F.     Kerangka Teori
Membahas tentang kematian manusia dalam penelitian ini menggunakan teori yang berkaitan dengan keberadaan manusia itu sendiri yakni eksistensi. Disamping itu peneliti juga menggunakan teori ketuhanan yang akan dikaitkan dengan keyakinan manusia sebagai makhluk yang religious. Keyakinan yang pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Dengan demikian, kehidupan manusia merupakan sebuah perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman religious.
Eksitensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.[20] Pengertian ini dapat diartikan sebagai dasein, dalam bahasa Jerman. Eksitensi adalah filsafat yang tumbuh sebagai reaksi terhadap idealisme dan materialisme. Eksistensi merupakan suatu filsafat yang memusatkan pada deskripsi-deskripsi dan kemungkinan konkret dari kehidupan manusia yang spontan, sepanjang deskripsi itu sesuai dengan syarat-syarat dari metode phenomenology.
Eksitensi bersifat teknis dan ada beberapa sistem atau watak yang membedakan satu dengan yang lainnya:[21]
1.      Yang disebut eksistensi yaitu adalah cara manusia itu berada, dan hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia menujukan keberadaannya dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka dari itu eksistensi tidak jauh beda dengan humanistik.
2.      Bereksistensi merupakan menciptakan dirinya secara aktif, setiap manusia menjadi lebih kurang dari keberadaannya bukan sebagai sesuatu yang ada. Pada hekekatnya eksistensi terikat oleh ruang dan waktu. Waktu secara eksistensial bergerak bukan dari masa lampau, sekarang dan akan datang secara berurutan. Melainkan daru masa lampau menuju masa sejarang, dan masa sekarang merupakan batas waktu yang tipis. Bagi para penganut eksistensi masa lampau merupakan waktu yang sangat penting dan masa depan merupakan objek.
3.      Manusia di pandang sebagai realitas yang belum selesai dan masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat oleh dunia sekitar terutama pada sesamanya, keterikatannya ini berarti berada dalam lingkungan yang tidak menghilangkan eksistensinya secara individual.
4.      Filsafat eksitensialisme memberikan penekanan pada pengalaman yang kongkrit, dan pengalaman ini berbeda-beda. Misalnya pengalaman tentang kehidupan yang terjadi setiap waktunya.
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya yang lain. Begitu halnya manusia hidup di dunia ini yang saling berkaitan. Ada dan tiada merupakan salah satu unsur pokok yang harus dipelajari sebelum kita membahas tentang kematian manusia. Eksistensialis sebagai dasar utama dalam mempelajari tentang ada dan tiada.
Antara ada dan tiada disebabkan karena yang mengadakan. Adanya manusia yang hidup di dalam dunia karena Adanya Tuhan yang mencipatakannya. Tuhan menurut manusia yang menciptakan alam beserta isinya. Dialah yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Pengabdian manusia terhadap Tuhan sang pencipta merupakan kebutuhan eksistensial setiap manusia.[22] Kepercayaan terhadap Tuhan memiliki banyak aliran dan satu tujuan yang sama yakni percaya terhadap Tuhan yang satu yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Kepercayaan terhadap Tuhan disebut juga sebagai teis. Dalam Qur’an sudah dijelaskan bahwa, “Katakanlah Muhammad Dia (Allah) adalah satu”. (QS. 112:1).
Sebagian besar kaum teisme percaya bahwa materi alam adalah nyata dan yang lain adalah tidak nyata, itu semua karena berada dalam alam ide.[23] Tuhan merupakan pencipta bumi dan seisinya ini merupakan bukti kebesaran-Nya, bukti ini menjadi nyata sebagaimana menjelaskan tentang keberadaan penciptanya. Seperti yang tertera dalam firman Tuhan sebagai berikut, QS. al-A’raf ayat 54:
“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam diatasnya Arsy.”
Tuhan yang mempunyai sifat transcendent dan immanent menjadi dasar setiap makhluk dalam meyakini keberadaannya. Transcendent karena Tuhan berada jauh dari alam dan immanent Dia berada di alam ini. Setiap makhluk yang hidup di dunia ini meyakini adanya satu Tuhan dan mereka percaya bahwa Dia Maha Melihat dan Mendengar. Dasar inilah yang menyebabkan antara kehidupan dan kematian setiap makhluk. Mereka yang diciptakan oleh Tuhan dan mereka akan kembali pada-Nya bila waktu itu sudak tiba yakni kematian.
Kematian merupakan suatu hal yang tiada, unsur yang terkuat yang ada dalam pikiran manusia bahwa ia akan mati. Mereka merasa takut dan cemas dalam menghadapi siklus alam seperti ini. Setiap manusia akan selalu menyibukkan dirinya untuk menghindari kematian yang menghampirinya. Manusia selalu berada dalam situasi terbatas, yakni kesengsaraan ataupun kematian. Kematian ini menyebabkan rasa takut akan tetapi juga menyempurnakan eksistensi manusia itu sendiri.
G.    METODE PENELITIAN
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (Library Research), jenis penelitian ini adalah kualitatif, penelitian ini mengikuti cara dan arah pikiran seorang tokoh filsuf dalam karyanya maupun yang membahas konsep tersebut. Sumber data yang diperlukan untuk penyusunan skripsi ini terdapat di dalam buku-buku primer dan sekunder.
2.      Sumber Data
Untuk melakukan penelitian ini diperlukan dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain:
a.       Martin Heidegger.  Being and Time. Diterjemahkan oleh John Macquuarrie and Edward Robinson. New York: Harper & Row, 1962. (Seind und Zeit, 1927).
b.     Martin Heidegger, Existence and Being di edit dengan introduksi, oleh Warner Brock, Chicago: Henry Regnery Company, 1949.
c.      Martin Heidegger, An Introduction to Metaphysics. Diterjemakan oleh  Ralph Manhheim. Garden City, New York: Doubleday-Anchor Books, 1961. (Einfurung in die Metaphysik, 1953).
Sedangkan sumber data sekunder yaitu semua buku yang berhubungan dengan judul yang peneliti teliti.
3.      Metode Pengumpulan Data
a.       Pertama, diadakan pelacakan dan pencarian literatur yang bersangkutan dengan penelitian. Kemudian dari literatur tersebut diadakan pemilahan sumber data primer dan skunder.
b.      Setelah literatur terkumpul, diadakan penelaahan yang disesuaikan dengan aspek-aspek yang akan dibahas.
c.       Pemilahan dilakukan atas pokok-pokok permasalahan, sehingga pemikiran yang dibahas tersusun sitematis.
d.      Tahap pengumpulan data yang terakhir dilakukan pengolahan data.
4.      Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah-langkah yang penulis lakukan ialah melakukan klasifikasi disesuaikan dengan bahan yang akan dibahas dan dilanjutkan dengan pengolahan data. Tehnik pengolahan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu menggabungkan metode penelitian dengan filsafat.
a.       Metode deskripsi
Menguraikan dan membahas secara teratur pemikiran tokoh yang dimaksud, tentunya berkenaan dengan judul tersebut dengan tujuan mendapatkan suatu pemahaman yang benar dan lebih jauh diharapkan dapat melahirkan suatu pemahaman baru dari pemikiran tersebut.
b.      Metode Kesinambungan Historis
Menganalisa sejarah seorang tokoh serta menguraikan perjalanan hidup seorang tokoh dan pemikiran yang melatar belakangi munculnya sebuah pemikiran dan ideologi dari tokoh tersebut, serta pemaknaan yang berhubungan dengan dunia diluar, yakni filsafat dan ideologi lainnya.


c.       Metode Interpretasi
Metode ini dipakai untuk menginterpretasikan suatu makna  dalam pemikiran seorang tokoh. Metode ini merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan pemikiran.[24]
d.      Metode Verstehen (memahami)
Metode yang digunakan untuk memahami bangunan pemikiran dan pemaknaan seorang tokoh, dokumen dan yang lain secara mendalam tanpa ada keterlibatan peneliti untuk menafsirkannya. Metode ini akan digunakan peneliti untuk memahami pemikiran Martin Heidegger.
H.    SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika skripsi secara substansial terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu bagian awal, bagian isi/inti, dan bagian akhir. Setiap bagian terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan harus ada di dalam naskah skripsi. Berikut bagian-bagian yang ada di dalam naskah skripsi dengan judul; Hakekat Kematian Manusia Menurut Martin Heidegger.
Terdiri dari Halaman Sampul, Halaman Judul, Halaman Pernyataan Keaslian, Nota Dinas, Halaman Pengesahan, Pedoman Transliterasi, Abstrak, Motto, Persembahan, Kata Pengantar, Daftar Isi
Bab I Pendahuluan dengan sub pembahasan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Pemikiran dan Karya Martin Heidegger yang terdiri dari sub pembahasan Biografi Martin Heidegger, Pemikiran Martin Heidegger dan Beberapa Karya-Karyanya.
Bab III Kematian yang terdiri dari sub bab pembahasan tentang Pengertian Kematian, Dasar Kematian, Alam Kematian serta Ada dan Tiada.
Bab IV Dasein is Sein Zume Tode yang terdiri dari sub pembahasan tentang Dasein, Sein Zume Tode serta Dasein is Seind Zume Tode Relevansi dengan Islam.
Bab V Penutup dengan sub bab Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka dan Curriculum Vitae










[1]K, Bertens. Filsafat Barat Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 155.
[2] Zaprulkhan. Filsafat Umum sebuah Pendekatan Tematik (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), h. 145.
[3]Zubaedi, dkk. Filsafat Barat Dari Logika Baru Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 154.
[4]Ibid, h. 157.
[5]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thes Sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 191.
[6] Rangkai Wisnumurti, Sangkan Paraning Dumadi (Yogyakarta: Diva Press, 2012), h. 16.  
[7] Muhammad Sholikhin, Sambut Kematian dengan Tersenyum (Solo: Tiga Serangkai, 2009), h. 22.
[8]                               , Manunggaling Kawula-Gusti (Jakarta: Narasi, 2008),  h. 360.
[9] Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Dep. Agama RI, 1978).
[10] M Qurasyhab, Tafsir Al Syihab (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 165.
[11]Muhammad Sholikhin, Sambut Kematian dengan Tersenyum, h. 32.
[12]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisus, 1980),  h. 150.
[13] Muhammad Sholikhin, Manunggaling Kawula-Gusti, h. 361.
[14]Ibid, h. 366.  
[15]Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 83.
[16]K, Bertens. Filsafat Barat Kontemporer, h. 159.
[17]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, h. 154.
[18]Ibid, h. 155.  
[19] Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, h. 83.
[20] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales samapi James, h. 191.
[21]  Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, h. 149.
[22] Zaprulkhan, Filsafat Umum sebuah pendekatan tematik, h. 91.
[23] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 81.
[24] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 51.