Kamis, 24 Mei 2012

KARL MARX

proposisi dan oposisi


PROPOSISI
A.    PENDAHULUAN
Telah kita ketahui, logika mempelajari cara bernalar yang benar dan kita tidak bisa melaksanakannya tanpa memiliki terlebih dahulu pengetahuan yang menjadi premisnya. Dengan menggunakan premis yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui proses penalaran yang sah akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Premis-premis di mana logika bergelut berupa pernyataan dalam bentuk kata-kata, meskipun dalam penyelidikan lebih lanjut dijumpai pernyataan dalam bentuk rumus-rumus. Pernyataan manusia yang ingin mengungkapkan sebuah keinginan, perintah, harapan, kaguman, dan penggunaan realitas tertentu baik dikatakan dalam bentuk positif maupun negatif. Dalam makalah ini kita akan mempelajari lebih lanjut apa itu proposisi, bagaimana bentuk-bentuk dan contohnya.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian
Pernyataan logika berurusan dengan sebuah pernyataan pikiran dalam bentuk terakhir, seperti:[1]
Hasan adalah manusi penyabar.
Agus Salim adalah seorang diplomat.
Besi tidak lebih ringan dari pada selembar kertas.

Melihat dari beberapa pernyataan tersebut dan memperhatikannya  maka dapat di simpulkan, sebuah pernyataan dalam bentuk kalimat yang dapat dinilai benar dan salahnya, atau bisa disebut dengan proposisi.
Proposisi merupakan bentuk terkecil dalam pikiran yang mengandung maksud sempurna. Proposisi disini masih bisa dianalisis menjadi kata-kata, tetapi kata-kata hanya dapat menghadirkan pengertian sesuatu, bukan pemikiran sesuatu. Contoh: Ambilkan aku segelas air.
2.      Pembagian Proposisi
Berdasarkan sumbernya, proposisi dibedakan menjadi dua macam, yakni:
a.      Proposisi Analitik
Proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian atau sudah terkandung dalam subjeknya.
Contoh: Gajah adalah binatang mamalia.
Karena kata ‘binatang mamalia’ pada contoh tersebut sudah terkandung pengertiannya pada subjek ‘gajah’. Jadi, proposisi analitik ini tidak memberikan pengertian yang baru dalam predikatnya. Bisa dikatakan proposisi analitik disebut juga proposisi a priori.
b.      Proposisi Sintetik
Proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian yang bukan menjadi keharusan bagi subjeknya.
Contoh: Gadis itu berbadan besar.
Karena kata ‘berbadan besar’ pada contoh tersebut pengertiannya belum terkandung pada subjek, yaitu ‘gadis’. Karena bisa dikatakan tidak hanya gadis yang berbadan besar, seekor gajah juga memiliki badan besar. Jadi proposisi sintetik merupakan lukisan kenyataan empirik yang menguji kebenarannya dan diukur berdasarkan kenyataan empiriknya sesuai atau tidak. Proposisi ini juga bisa disebut proposisi a posteriori.
Berdasarkan bentuknya, proposisi dibagi menjadi 3 macam, yakni:
a.      Proposisi Kategorik
Proposisi kategorik adalah proposisi yang mengandung pernyataan tanpa adanya syarat.
Contoh: Anak-anak yang tinggal di asramah adalah mahasiswa.
Proposisi kategorik, yang paling sederhana terdiri dari satu term subjek, satu term predikat, satu kopula dan satu quantifier.[2]
Kopula adalah kata yang menyetakan hubungan antara term subjek dengan term predikat. Quantifier adalah kata yang menunjukkan banyaknya satuan yang diikat oleh term subjek.
Contoh: sebagian manusia adalah pemabuk
Sebagian=quantifier, manusia=term subjek, adalah=kopula, pemabuk=term predikat

Apabila quantifier suatu proposisi menunjukkan pada permasalahan universal, seperti; seluruh, semua, segenap, maka proposisi itu disebut proposisi universal. Apabila menunjukkan permasalah partikular, maka disebut proposisi partikular. Dan apabila menunjukkan pada permasalahan singular, maka disebut proposisi singular.
Perlu diketahui, apabila dalam sebuah kalimat tidak dinyatakan quantifier-nya, belum tentu subjek tidak mengandung pengertian banyaknya satuan yang diikatnya. [3]Untuk dapat mengetahuinya tanpa ada quantifier kita dapat mengetahui lewat subjek dan predikat, seperti:
·         Proposisi universal      : Semua tanaman membutuhkan air.
·         Proposisi partikular     : Sebagian mannusia dapat menerima pendidikan.
·         Proposisi singular        : Seorang yang bernama hasan adalah seorang guru.
Proposisi tersebut dapat dinyatakan quantifier-nya tanpa mengubah kuantitas proposisinya:
·         Proposisi universal      : Tanaman membutuhkan air.
·         Proposisi partikular     : Manusia dapat menerima pendidikan.
·         Proposisi singular        : Hasan adalah guru.
Kopula seperti yang sudah dijelaskan adalah kata yang menjelaskan hubungan subjek dan predikat, baik yang mengiakan maupun yang mengingkari. Kopula menentukan kualitas proposisinya. Bila ia mengiakan disebut proposisi positif, dan bila ia mengingkari disebut proposisi negatif.[4]
Dari beberapa kombinasi antara kuantitas dan kualitas proposisi maka kita mengenal beberapa macam proposisi, yaitu:
v  Universal positif, contoh: Semua manusia akan mati.
v  Partikular posistif, contoh: Sebagian manusia adalah guru.
v  Singular positif, conttoh: Susi susanti adalah pemain bulu tangkis.
v  Universal negatif, contoh: Semua kuda bukan burung.
v  Partikular negatif, contoh: Beberapa siswa SMP tidak naik kelas.
v  Singular negatif, contoh: Fatimah bukan gadis pemalu.
Lambang permasalahan dan rumusan proposisi
Lamabang
Permasalaha
Rumus
A
Universal positif
Semua S adalah P
I
Partikular positif
Sebagian S adalah P
E
Universal negatif
Semua S bukan P
O
Partikular negatif
Sebagian S bukan P

b.      Proposisi Hipotetik
Proposisi yang mengandung persyaratan dalam sebuah kalimat. Kalau proposisi kategorik kopulanya selalu ‘adalah’,’bukan’, atau ‘tidak’; maka proposisi hipotetik kopulanya berupa ‘jika, apabila, manakala’ yang kemudian dilanjutkan ‘maka’, meskipun yang terakhir ini sering tidak dinyatakan dalam kalimat.
Contoh: Jika permintaan bertambah maka harga akan naik.
Pada dasarnya kalimat itu terdiri dari dua proposisi kategorik ‘Permintaan bertambah’ dan ‘Harga akan naik’. Kata ‘jika’ dan ‘maka’ dalam kalimat tersebut merupkan kopula dari proposisi hipotetik. ‘Permintaan bertambah’ disebut juga antecedent dan ‘harga akan naik’ disebut sebagai akibat atau konsekuen.
Proposisi hipotetik dibedakan menjadi dua macam bentuk:
Petama, bila A adalah B maka A adalah C. seperti: Bila Hasan rajin ia akan naik kelas.
Kedua, bila A adalah B maka C adalah D. seperti: Bila hujan saya naik becak.
Antara sebab dan akibat dalam proposisi hipotetik mempunyai hubungan adakalanya merupakan hubungan kebiasaan dan keharusan.
Proposisi hipotetik dalam hubungan kebiasaan
Contoh: Jika hujan turun, saya tidak akan pergi.
Proposisi hipotetik dalam hubungan keharusan
Contoh: Bila sesuatu itu hidup maka ia membutuhkan air.

c.       Proposisi Disyungtif[5]
Proposisi yang mempunyai persyaratan tertentu dalam sebuah kalimat. Seperti halnya proposisi hipotetik, proposisi disyungitif juga terdiri dari dua proposisi kategorik. Proposisi jika tidak benar maka salah; jika dianalisis menjadi: ‘Proposisi itu benar’ dan ‘Proposisi itu salah’. Kopula dalam proposisi disyungitif berupa ‘jika’ dan ‘maka’ yang mengubah proposisi kategorik menjadi permasalahan disyungitif.
Contoh: Hidup kalau tidak bahagia adalah susah.
Dalam proposisi hipotetik kopula menghubungkan sebab dan akibat, sedangkan dalam proposisi disyungitif kopula menghubungkan dua alternatif. Dalam proposisi disyungitif terdiri dari dua bentu, yakni: Proposisi disyungitif sempurna dengan alternatif kontradiktif
Contoh: A mungkin B mungkin non B
Budi mungkin masih hidup mungkin sudah mati.
Proposisi disyungitif tidak sempurna dengan alternatif tidak berbentuk kontradiktif
Contoh: A mungkin B mungkin C
Budi di toko atau di rumah.

C.    PENUTUP
Sebagaiman pemaparan diatas bahwa membicarakan tentang Logika tidak akan pernal lepas dari apa yang disebut sebagi sebuah keputusan. Sementara dalam mengekspresikan sebuah keputusan, tentunya dibutuhkan kata-kata, lalu kata-kata itu pada akhirnya membentuk sebuah ungkapan. Dari ekspresi ungkapan kata muncul apa yang disebut dengan proposisi atau dalam bahasa mantik disebut dengan istilah qadliyah.
Sebarnya antara ilmu logika secara umum dan ilmu mantiq secara khusus, keduanya mempunyai substansi dan esensi yang sama yakni sebuah disiplin keilmuan yang berusaha mengarahkan untuk berfikir secara logis dan sistematis.

DAFTAR PUSTAKA
Mundiri. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Saipudin. Diklat Perkuliahan Ilmu Mantik (Logika). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Pres, 2004.
Hasan, M. Ali. Ilmu Mantik Logika, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

PROPOSISI
logo iain.JPG

Makalh ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah:
LOGIKA MANTIK
Dosen pengampu Drs. H. Amir Ghufron, M. Ag

Disusun oleh:
Arif Setiawan            : 26.09.4.2. 007
Awang Yulias Supardi : 26.09.4.2.008
Farid Hermanto : 26.09.4.2.009

PRODI AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN USHULUDDIN

FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


[1] Mundiri. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
[2] Ibid hal.50
[3] Hasan, M. Ali. Ilmu Mantik Logika, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
[4] Saipudin. Diklat Perkuliahan Ilmu Mantik (Logika). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Pres, 2004.\
[5] Ibid hal.60

KONSEP IMAN


KONSEP IMAN
PENDAHULUAN
Persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah iman. Persoalan itu pertama kali dimunculkan oleh kaum Khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi saw yang dianggap telah berbuat dosa besar, antara lain Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Hasan al-Asy’ari, dan lain-lain. Masalah ini lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir.
Aliran lain seperti Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah turut ambil bagian dalam masalah tersebut bahkan tidak jarang terdapat perbedaan pandangan di antara sesama pengikut masing-masing aliran.
Perbincangan konsep iman tiap-tiap aliran teologi Islam, seringkali lebih menitik beratkan pada satu aspek saja, yaitu iman. Lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iman
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan kufur – juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan). Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1.      Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2.      Amal, perbuatan baik atau patuh.
3.      Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4.      Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
Kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman ini terpilih menjadi tiga pendapat:
1.      Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati, akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep iman semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
2.      Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
3.      Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.
Di samping masalah konsep iman, pembahasan di dalam ilmu tauhid/kalam juga menyangkut masalah apakah iman itu bisa bertambah atau berkurang atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat.
1.      Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
2.      Iman bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini terbagi pula kepada dua golongan:
a.       Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq dan amal.
b.      Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiqnya.
Pada umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq dan amalnya. Tashdiq yang bertambah tentu diikuti oleh pertambahan frekuensi amal.
Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq seseorang tergantung kepada:
1.      Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya;
2.      Diri pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya. Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun bisa lemah pula;
3.      Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan merasakan kekuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.
B. Perbandingan Antar Aliran tentang iman
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Adapun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1.      Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan. Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir. Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir. Wajib diperangi dan boleh dibunuh, dan boleh dirampas hartanya.[1]
Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuatan dosa adalah kafir, karena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini terbatas pada dosa.
2.      Murji’ah
Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 sub-sekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[2]
3.      Mu’tajilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.[3]
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).
4.      Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal.[4] Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).
5.      Al-Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Sama berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al Hajj (22:14)
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260.
Dan ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap Allah berfirman: " ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. : "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
6.      Ahlus Sunnah
Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota, itulah iman yang sempurna menurutnya. Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga. Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
PENUTUP
Dari beberapa pemaparan diatas, serta segala penjelasan-penjelasan, yang kami dapat mengambil kesimpulan, yaitu iman merupakan suatu bentuk urusan hati yang mendorong seseorang untuk melakukan amaliah-amaliah serta iman merupakan dasar atau pondasi seseorang untuk dapat dekat dengan Allah.
Konsep iman yang dibakukan oleh setiap aliran teologi dalam islam mengandung dimensi ahlak. Kandungan dimensinya pun berbeda-beda dari setiap aliran dan tergantung pada elemen yang dimasukkan dalam wilayah iman. Iman yang tidak didasarkan pada iman kepada Tuhan akan menuai kerapuhan dan kehancuran.
DAFTAR PUSTAKA
Muthohar, Ahmad. Teologi Islam, Konsep Iman Antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Yogyakarta: Teras. 2008
Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1998



KONSEP IMAN
logo iain.JPG

Makalh ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah:
PERBANDINGAN KALAM
Dosen pengampu Drs. H. Amir Ghufron, M. Ag

Disusun oleh:
Ahmad Muklis : 26.09.4.2.002
Awang Yulias Supardi : 26.09.4.2.008

PRODI AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN USHULUDDIN

FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011



[1] Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1998, h. 143
[2] Ibid, h. 231
[3] Ahmad Muthohar. Teologi Islam, Konsep Iman Antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Yogyakarta: Teras. 2008, h. 07
[4] Ibid, h. 62